Jujur, Jajar lan Jejer Manembah Gusti Ilahi

Duk Djaman Semono, Kandjeng Edjang Boeyoet Ing Klero nate paring wewarah,".. Djoedjoer Lahir Bathin Berboedi Bowo Leksono Adedhasar Loehoering Agomo, Djedjer Welas Asih Sasamoning Titah Adedhasar Jiwo Kaoetaman Lan Roso Kamanoengsan, Lan Djadjar Manoenggal Wajibing Patrap Bebrayan Agoeng Adedhasar Endahing Tepo Salira Manembah Ngarsaning Goesti Allah Ingkang Moho Toenggal, Ngrenggo Tjiptaning Koesoema Djati Rila Adedharma Mrih Loehoering Bongso, Agomo, Boedoyo, Lan Sasamining Titahing Gesang Ing Ngalam Donya, Ikoe Lakoening Moekmin Sadjati.." [Wewaler KRT. Hasan Midaryo,1999]

Kamis, 05 Agustus 2010

Kanjeng Raden Tumenggung Jogo Negoro



Tumenggung Jogonegoro merupakan tokoh yang tak lepas dari sejarah Wonosobo. Beliau lahir pada hari Minggu Wage, 4 Agustus 1675 dan merupakan salah satu keturunan bangsawan dari Yogyakarta. Tumenggung Jogonegoro merupakan seorang Bupati Kerajaan Mataram, mula-mula sebagai kepala prajurit ia bernama Ng. Singowedono. Karena jasanya terhadap kerajaan beliau mendapat gelar Raden Tumenggung Jogonegoro. Peristiwa ini terjadi pada masa menjelang perang Diponegoro atau pada era pemerintahan Sultan Sepuh atau Sultan Hamengku Buwono II.Tumenggung Jogonegoro sendiri merupakan cucu dari pendiri Wonosobo yaitu Kyai Karim.

Pada waktu perang Diponegoro meletus. Tumenggung Jogonegoro bergerak dan bergabung dengan pasukan Pangeran Diponegoro dan melakukan siasat perang gerilya. Dalam perang ini sampailah Tumenggung Jogonegoro dan prajuritnya di daerah Plabongan. Plabongan menjadi ibu kota Kabupaten Wonosobo pada waktu itu dan dikenal sebagai Wonosobo Plabongan. Di tempat inilah Tumenggung Jogonegoro bertahan hingga mangkatnya. Beliu wafat pada hari Kamis Pon, 6 Februari 1755.

Makam Tumenggung Jogonegoro terletak di desa Pekuncen, Selomerto. Konon ketika beliau wafat, rencana akan dimakamkan di sebelah barat sungai serayu demi keamanannya. Sebab orang-orang Belanda sering melecehkan makam-makam orang terkenal. Namun setelah jenazah dibawa menyebrang Sungai Serayu, tiba-tiba terjadi banjir besar sehingga rombongan harus kembali.

Sampai sekarang Tumenggung Jogonegoro dikenal sebagai tokoh yang sakti dan mempunyai daya linuwih, hingga banyak masyarakat Wonosobo masih menkeramatkan beliau. Dalam berbagai acara seperti mujadahan nama Tumenggung Jogonegoro sering disebut untuk melantarkan hajat bahkan tiap hari Kamis Wage, Jumat Kliwon, Senin Wage, dan hari Selasa Kliwon masih banyak orang berziarah dengan maksud tujuan masing-masing.

Tempat ziarah di Pekuncen ini tidak terlalu jauh dari Kota Wonosobo kira-kira 15 menit perjalanan ke arah Selatan atau ke arah Purwokerto. Untuk menuju ke sana dapat mempergunakan kendaraan pribadi maupun menggunakan angkutan umum jurusan Wonosobo-Sawangan yang banyak tersedia. Jika menggunakan kendaraan umum peziarah akrab berjalan beberapa waktu untuk mencapai makam. Di kompleks makam Pekuncen tidak hanya makam Tumengung Jogonegoro saja yang berada di sana namun juga makam keluarga dan para pembantu setianya seperti Kyai Pulanggeni dan Kyai Sanggageni.

Konon menurut kepercayaan yang masih dipercaya sebagian masyarakat bahwa jika berada di lingkungan makam harus melepas alas kaki dan topi serta tidak boleh membelakangi makam. Juga dilarang melakukan tindakan-tindakan yang buruk maupun tidak sopan karena bisa mendapat “bebendu”. Benar tidaknya Wallahu Alam.

(Sumber dari Legenda Jawa Tengah diterbitkan oleh Pemerintah Daerah Propinsi Jawa Tengah).



2 komentar:

  1. Saya merasa puas dan bangga bisa mendapatkan silsilah KRT Eyang Djogonegoro,memang saya dan keluarga sedang mencari jejak yang Djogonegoro, allhamdullilah achirnya mendapatkan.trima kasih dengan pihak yg terkait

    BalasHapus
  2. Tersebut beliau lahir 1675 (era Amangkurat I) dan wafat 1755 (era Pakubuwono III), artinya Kasultanan Yogyakarta belum berdiri dan Perang Diponegoro baru meletus di tahun 1825 ... Mungkin bisa diperiksa kembali kronologi peristiwanya ...

    BalasHapus