Jujur, Jajar lan Jejer Manembah Gusti Ilahi

Duk Djaman Semono, Kandjeng Edjang Boeyoet Ing Klero nate paring wewarah,".. Djoedjoer Lahir Bathin Berboedi Bowo Leksono Adedhasar Loehoering Agomo, Djedjer Welas Asih Sasamoning Titah Adedhasar Jiwo Kaoetaman Lan Roso Kamanoengsan, Lan Djadjar Manoenggal Wajibing Patrap Bebrayan Agoeng Adedhasar Endahing Tepo Salira Manembah Ngarsaning Goesti Allah Ingkang Moho Toenggal, Ngrenggo Tjiptaning Koesoema Djati Rila Adedharma Mrih Loehoering Bongso, Agomo, Boedoyo, Lan Sasamining Titahing Gesang Ing Ngalam Donya, Ikoe Lakoening Moekmin Sadjati.." [Wewaler KRT. Hasan Midaryo,1999]

Senin, 12 April 2010

Menelusuri Sejarah Kyai Ageng Somongari

Menelusuri Jejak Sejarah, Budaya Dan Trah Kanjeng Kyai Ageng Somongari



Mengenai nama Bagelen dan Bagawanta menurut seorang sejarawan yang menghubungkan keduanya dengan nama “Bharga” dan “Bhaga”. Nama Bhaga yang sekeluarga dan seisi dengan nama kedua kata tadi, dipakai misalnya dengan nama julukan untuk savitri (pembangunan kehidupan), dewa langit yang menjelmakan gaya menghidupkan matahari. Nama ini diberikan kepada salah satu dari para Aditya, dewa kesejahteraan dan cinta kasih, pendiri perkawinan. Diberikan pula kepada binatang bulan Phalguni.


Kata ini berarti kemurahan hati, keuntungan, kesuburan, kesejahteraan, kehormatan, kecantikan, cinta kasih dan kasmaran. Lalu setiap dewa atau manusia yang secara aktif maupun pasif bersifat “ber-bhaga” disebut “bhagavat” juga pernah digabungkan dengan dewa siva dan bhagavati dengan durga, secara primer pengertian ini sesuai dengan apa yang disifatkan oleh visnu-krisna dan laksmi-sri.



Menurut sejarawan tersebut, sesuai dengan tradisi jawa tentang nenek moyang bangsa jawa, maka menurut pendapat Ratu Sanjaya memindahkan kratonnya. Kraton tersebut dihias dengan nama “bharga”, kraton yang dulu terletak di wilayah sekitar pegunungan Dieng, menurut sejarawan tersebut mungkin dipojok utara wilayah itu, yang pernah bernama “ Bagelen”, suatu nama yang berhubungan dengan “Bhaga”. Dikatakan pula nama kraton kuno yang oleh berita-berita Tionghoa diberi bentuk “Ho-ling” seharusnya berbentuk “Bagelen”.


Nama Bagelen ini tidak berasal dari kata “Bhagalina”, melainkan dari “Bhaga-halin” yang berarti warisan (bagian, untung), bagi si pembajak ini dikaitkan dengan Babad Tanah Jawi, putra sulung dan kandi awan (wisnu) panuhun namanya diangkat menjadi raja para petani, yang bertempat tinggal di Bagelen. Diungkapkan pulan nama (gelar) Bhagawanta didapat dari “Prasasti Mangullhi” (Dieng) dari tahun 864, juga dalam “Prasasti Randusari II”, Baghawanta Puncoha.



Bagelen memiliki nilai dan karismatik sebagai sebuah wilayah. Wilayah yang luas terdapat 20 kecamatan jika dibandingkan dengan kondisi administratif saat ini dan terletak di Jawa Tengah bagian selatan (tepatnya di Yogyakarta) itu memiliki peranan yang sangat penting dalam sejarah tanah air. Operasi militer, perlawanan terhadap Kompeni, pembangunan candi (Prambanan dan Borobudur) merupakan beberapa bukti pentingnya wilayah tersebut.


Bukti-bukti kebesaran Bagelen tercatat sebagai berikut:

(1) di era Majapahit, Raja Hayam Wuruk pernah memerintahkan untuk menyelesaikan pembangunan candi makam dan bangunan para leluhur, menjaga serta merawatnya dengan serius (Negarakertagama);

(2) Di era Demak, Sunan Kalijaga (anggota Wali Songo) mengunjungi Bagelen dan mengangkat muridnya, Sunan Geseng untuk berdakwah di wilayah Bagelen;

(3) Di awal Dinasti Mataram, Panembahan Senopati menggalang persahabatan dengan para kenthol (tokoh-tokoh) Bagelen untuk menopang kekuasaannya;

(4) Ditemukannya bukti-bukti sejarah, seperti Lingga = 52 buah, Yoni = 13, stupa/Budhis = 2, Megalith = 22, Guci = 4, Arca = 38, Lumpang = 24, Candi Batu atau berkasnya = 8, Umpak Batu = 16, Prasasti = 3, Batu Bata = 8, temuan lain = 17, dan Umpak Masjid = 20.


Di Jawa Tengah abad VIII – X, ada kerajaan besar, bernama Medang yang terletak di Poh pitu. Kerajaan ini luas, dikenal subur dan makmur. Pusat kekuasaan dibagi menjadi dua; Pertama, negara yang bersifat internasional dengan beragama Budha, diperintah oleh Dinasti Syailendra. Kedua, negara yang diperintah oleh sepupunya yang beragama Syiwa. Kedua kerajaan ini berada dalam satu istana, dan disebut Kerajaan Medang i Bhumi Mataram.


Berdasarkan prasasti berbahasa Melayu Kuno (Desa Sojomerto, Batang) memperkuat pendapat sejarawan Purbacaraka, bahwa hanya ada satu dinasti saja di Jawa Tengah, yakni Syailendra. Raja Sanjaya yang menganut Syiwa di kemudian hari menganjurkan putranya, Rakai Panangkaran untuk memeluk Budha. Menurut catatan Boechori, epigraf dan arkeolog, Syailendra merupakan penduduk asli Indonesia. Hal ini juga diperkuat oleh prasasti Wanua Tengah III (Temanggung) yang memuat silsilah raja-raja Mataram lengkap dengan tahunnya.


Berdasarkan prasasti Canggal (Sleman) menjelaskan: ada sebuah pulau bernama Yawadwipa negeri yang kaya raya akan padi, jewawut, dan tambang emas. Raja pertamanya : Raja Sanna. Setelah dia mangkat, diganti oleh ponakannya: Raja Sri Sanjaya Menurut catatan seorang sejarawan, Raja Sanjaya mendirikan kerajaan di Bagelen, satu abad kemudian dipindah ke Wonosobo. Sanjaya adalah keturunan raka-raka yang bergelar Syailendra, yang bermakna Raja Gunung, Tuan yang Datang dari Gunung. Atau, Tuan yang Datang dari Kahyangan, karena gunung menurut kepercayaan merupakan tempatnya para dewata.


Raja Sanjaya dikenal sebagai ahli kitab-kitab suci dan keprajuritan. Armada darat dan lautnya sangat kuat dan besar, sehingga dihormati oleh India, Irian, Tiongkok, hingga Afrika. Dia berhasil menaklukkan Jawa Barat, Jawa Timur, Bali, Kerajaan Melayu, Kemis (Kamboja), Keling, Barus, dan Sriwijaya, dan Tiongkok pun diperanginya (Cerita Parahiyangan).



Area Kerajaan Mataram Kuno (Bagelen) berbentuk segitiga. Ledok di bagian utara, dikelilingi Pegunungan Menoreh di sisi Barat dan Pegunungan Kendeng di utara dan basisnya di pantai selatan dengan puncaknya Gunung Perahu (Dieng), di lembah Sungai Bagawanta (Sungai Watukura, kitab sejarah Dinasti Tang Kuno 618-906).


Catatan dinasti Tiongkok tersebut diperkuat juga oleh Van der Meulen yang menggunakan kitab Cerita Parahiyangan dan Babad Tanah Jawi. Bagelen merupakan hasil proses nama yang final. Bermula Galuh/Galih, menjadi Pegaluhan/Pegalihan, menjadi Medanggele, Pagelen, lalu jadilah Bagelen. Dalam prasasti Tuk Mas (Desa Dakawu, Grabag-Magelang) yang menyebut adanya sungai yang seperti sungai Gangga, maka i Medang i bhumi Mataram i bermakna Medang yang terletak di suatu negeri yang menyerupai Ibu lembah Sungai Gangga). Dieng diasumsikan sebagai Himalaya, Perpaduan Sungai Elo dan Progo disamakan sebagai Sungai Gangga, dan pegunungan Menoreh disamakan sebagai Pegunungan Widiya.


Tapi pada akhirnya, Bagelen sebagai sebuah kawasan yang solid akhirnya terpecah seiring dengan ditandatanganinya Perjanjian Giyanti 13 Februari 1755 yang didesain oleh Kompeni Belanda untuk memecah Mataram menjadi dua kerajaan; Kasunanan Surakarta (Solo) dengan Sunan Paku Buwono III sebagai raja pertamanya, dan Kasultanan Yogyakarta dengan Sultan Hamengku Buwono I sebagai rajanya. Sebagian masuk Solo, dan sisanya masuk Yogyakarta. Secara peradaban, Bagelen sudah terbelah.

Abad XIX (1825-1830), Bagelen ikut dalam Perang Jawa. 3000 prajurit Bagelen di bawah kendali Pangeran Ontowiryo menyokong perjuangan Pangeran Diponegoro yang terpusat di Tegalrejo, Magelang. Saking kuatnya perlawanan Bagelen, Kompeni Belanda sampai harus menggunakan taktik Benteng Stelsel, dengan mambangun 25 buah benteng di kawasan Bagelen.


Usaha Belanda untuk semakin memperlemah Bagelen dilanjutkan di tahun 1901. Tanggal 1 Agustus, Bagelen dihapus secara karesidenan dan dilebur ke dalam Karesidenan Kedu. Selanjutnya Bagelen hanya dijadikan sebagai sebuah kecamatan saja. Kemudian Belanda juga membangun jalur transportasi Purworejo-Magelang untuk memudahkan pengawasan. Belanda juga menempatkan batalion militer reguler dengan dibantu serdadu negro (Ambon?). Kebijakan ini sangat nyata untuk menghilangkan jati diri Bagelen sebagai sebuah kawasan yang sangat berakar. Buku ringkas ini merupakan upaya penulis untuk melakukan rekonstruksi suatu aset nasional yang memiliki muatan lokal. Berikut penelusurannya?


Untuk menutup keuangan akibat perang di Eropa maupun Perang Jawa atau Perang Diponegoro yang menyebabkan devisit anggaran sebesar 20 juta gulden, kemudian dilaksanakan suatu kebijakan yang disebut “cultuure stelsel” atau “politik tanam paksa” yang disertai pajak tanah “landrent”. Sebagai daerah yang subur tanah Bagelen dijadikan sebagai salah satu basis perkebunan pelaksanaan sistem tanam paksa. Berbagai tanaman komoditi yang laku di pasaran Eropa di haruskan ditanam oleh para petani di tanah Bagelen, jenis tanaman yang diharuskan antara lain; kopi, teh, tembakau, indigo (nila/tom), dan kayu manis serta tebu. Hasil tanaman tersebut harus diserahkan kepada pemerintah dengan harga yang sudah ditetapkan dan petani masih dikenalkan pajak penjualan 2/3 dari hasil panen kopi.


Sistem tanam paksa yang diajukan oleh Van den Bosch diharapkan akan memberikan keuntungan besar dari daerah-daerah jajahan di seluruh pulau Jawa. Untuk itu Van den Bosch mengeluarkan perintah yang berlaku untuk seluruh penduduk pribumi.Semenjak diterapkan tanam paksa di wilayah Bagelen, daerah subur yang sebelumnya dikenal sebagai salah satu daerah kantong padi dengan cepat berubah menjadi daerah pusat komoditi tanaman ekspor. Penanaman nila di Bagelen sangat memberatkan penduduk, sebab para petani harus meninggalkan desa dan keluarganya untuk bekerja.


Di tahun 1849/1850 seperti yang dikutip oleh Bram Peper dari Geschiedenis van het Cultuursteldsel mengungkapkan bahwa di Bagelen kehilangan 95.000 jiwa. Tahun 1889 Resien Bagelen menyebutkan adanya imigrasi “kuli jawa” ke pantai timur Sumatera, yang berasal dari afdeling Purworejo dan Kutoarjo.

Tanah Bagelen sebagai salah satu kawasan perkebunan penghasil komoditi eksport antara lain; kopi, teh, kayu manis dan nila (indigo). Kayumanis pada tahun 1842 di Bagelen sebanyak 2.821,5 pon. Pelaksanaan penanaman kayu manis terhadap penduduk yang tidak memiliki lahan mereka mendapat upah sekitar f 4,20 sampai f 5/ bulan, sedangkan mandor mendapat upah sebesar f 8,40. Pada tahun 1855 di Ambal dan Purworejo terdapat 284 KK penggarap pada 16 perkebunan dengan 787.788 batang tanaman dengan hasil lebih dari 29.000 pon. Bagelen merupakan daerah penghasil indigo terbaik di pulau jawa.


Tahun 1857 areal perkebunannya seluas 8,435,625 bau dengan hasil 305.934 per bau 36,26 pon Amsterdam. Harga per pon Amsterdam f 1,89 total f 458,901. Indigo dari Bagelen di eksport ke Belanda, Perancis, Inggris, Amerika, Denmark dan Swedia. Tanaman teh terdapat di distrik Wonosobo, menurut data 1856 dari Kultur Verslag Residen Bagelen tanaman ini terdapat di daerah Reco, Kledung, Purwosari, Tegalsari, Kadu Pareng, Bedakah dan Jero. Di distrik Kalialam di lokasi Menjer, Tamparan, Kreo, Serang, Gembaga, Telogo dan Tambi. Untuk distrik Sapuran terdapat di desa Tanjungsari, Semilir, Sunter dan Sundi. Jumlah tanaman tersebut di tiga distrik 4.885.000 batang seluas 740 bau.


Penanaman kopi secara besar-besaran dimulai tahun 1834 di Purworejo dan Ledok. Hasil kopi selama 5 tahun 1854-1858 meliputi 258.233,24 pikul atau setiap tahun sedikitnya menghasilkan kopi 29.924,56 pikul paling rendah dan tertinggi 63.843,47 pikul dengan melibatkan 153.894 keluarga sebagai tenaga kerja. Menurut James R Rush, hingga tahun 1861 sistem tanam paksa di Pulau Jawa sudah menghasilkan kekayaan yang mampu untuk membayar hutang perang Belanda bahkan lebih sehingga digunakan untuk membiayai pembangunan rel-rel kereta api.


Perdagangan Opium di Tanah Bagelen


Pelaksanaan sistem tanam paksa sebagai wujud politik ekonomi kolonial mendapat perlawanan sengit didaerah Bagelen. Sementara di sisi lain sebagai kawasan baru yang masuk dalam kekuasaan Belanda, kemudian muncul perdagangan opium. Opium merupakan komoditi monopoli Pemerintah Kolonial Belanda, yang sudah ada sejak abad ke-17 pada zaman VOC. Pada saat itu opium sudah menjadi komoditi penting di tanah Jawa sebab ada di bawah berbagai perjanjian antara Pemerintah Hindia Belanda dan para penguasa pribumi.


Perdagangan opium Belanda di Jawa ada sesudah perjanjian 1677, menurut perhitungan J.C Baud yang dikutip James R Rush dari tahun 1619-1799 setiap tahun resminya, VOC membawa rata-rata 56.000 kg opium mentah ke pulau Jawa, namun jumlah opium ilegal yang diselundupkan diduga jauh lebih besar.


Menurut Peter Carey tahun 1820 di sekitar Yogyakarta terdapat 372 tempat terpisah yang mempunyai lisensi untuk menjual opium. Sedangkan untuk memperoleh dana yang besar Belanda bekerjasama dengan kelompok elite tertentu memberi hak monopoli untuk memproduksi dan memperdagangkan opium pada tempat-tempat tertentu. Para bandar opium telah memanfaatkan adanya perkembangan penduduk pedesaan yang menyebar di perkotaan dan tinggal di dekat obyek ekonomi seperti pabrik, jalan kereta api dan perkebunan. Mereka datang sebagai kaum urban akibat dari transformasi ekonomi kolonial di Bagelen, Banyumas, Madiun dan Kediri sebagai daerah baru yang dikuasai sepenuhnya oleh Belanda.


Penjualan opium ilegal yang marak dinilai sebagai bagian dari kebijakanan konvensional pegawai kolonial Belanda. Residen Bagelen Christian Castens yang bertugas 1863-1864 ketika melakukan inspeksi mendadak pada gudang lokal bandar opium di tanah Bagelen, ternyata menemukan jumlah opium tiga kali lipat. Pejabat setempat menyatakan bahwa opium tersebut legal, namun tidak dapat menunjukkan barang bukti. Sedangkan komisi penyelidik yang ditugaskan, menurut Castens telah disuap oleh bandar opium sebesar 10.000 gulden. Sehingga kelebihan opium tersebut dapat diselundupkan ke Banyumas.



Sejarah Singkat Kabupaten Purworejo


Purworejo atau yang dikenal dahulu sebagai Bagelen berdiri sejak 5 Oktober 901 Masehi. Bagelen dahulu merupakan mancanegara Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Keduanya saling berkaitan dalam sejarah Babad Diponegoro dan babad Nagari Purworejo, Babad Tanah Jawa dan Kitab Negara Kertagama. Menurut Penemuan Prasasti, Sejarah berdirinya Purworejo, berdasarkan adanya Prasasti “ Kayu Ara Hiwang” atau dikenal sebagai Parasasti “Boro Tengah” Yaitu prasasti tentang peresmian Tanah Perdikan (sima), Kayu Ara Hiwang yang ditemukan di bawah pohon / tanaman Kayu Sono di dukuh Boro Tengah, tepi sungai Bogowonto atau sungai Watukura, sekarang masuk wilayah kecamatan Banyuurip.

Prasasti batu Andesit yang ditulis dalam bahasa Jawa Kuno/lama sebanyak 21 baris. Sejak tahun 1890 prasasti ini telah dipindahkan dan disimpan di Museum Nasional Jakarta Jl Merdeka Barat, dengan inventaris No 78. Prasasti Kayu Ara Hiwang menyebutkan tahun Saka 823, bulan Asuji, hari kelima bulan Paro Petang, Vurukung Senin (wuku) Margasira, bersamaan dengan Siva, atau tanggal 5 Oktober 901 Masehi. Saat itu Raka dari Vanua Poh, Dyah Sala (Mala), putra dari Sang Ratu Bajra yang tinggal di Parivutan, telah menandai Desa Kayu Ara Hiwang yang masuk wilayah Vatu Tihang, menjadi tanah perdikan. Daerah tersebut dibebaskan dari segala pajak, kesemuanya itu untuk memelihara tempat suci Parahyangan. Selain itu, pangeran dari Parivutan mensucikan kejelekan.


Dalam Parasasti tersebut diungkapkan bahwa pembebasan Kayu Ara Hiwang dari kewajiban membayar pajak dan menjadi tanah perdikan , meliputi segala yang dimiliki desa , meliputi : katika, guha, katagan, gaga. Juga disebutkan, Rakaryan dari Vatu Tihang, Pu Sanggrama Surandhara, penduduk Gulak yang masuk wilayah Mahmili menerima pakaian ganja haji patra sisi satu set, perak satu kati dan prasada voring sebanyak satu swarna. Dalam prasasti tersebut juga disebutkan para pejabat dari berbagai tempat antara lain dari Paranggang, Padamuan, Mantyasih, Medang, Pupur, Taji, Watu Tihang Kasugihan, Pakambingan, Varu Ranu, Lampuran, Watu Hyang, Alas Galu, Pakalangkyang, Pagar Vsi, Sru Ayun, Sumumilak, dan Kalungan.


Para Pejabat yang hadir tersebut menerima Pasek-pasek berupa pakaian berwarna dan emas seberat satu swarga, satu masa enam masa dan dua belas masa, atau perak satu kati atau satu karsa dua masa.


Sedangkan sampai detik ini tempat-tempat yang disebutkan dalam parasasti tersebut diantara masih ada dan masih bisa dikenali, antara lain :
Mentyasih = Magelang,
Vatu Tihang = S(e)olo Tiang (daerah Loano),
Taji = Prambanan,
Kalughan = Kalongan Loano
dan sebagainya.


Dilihat dari tahun dikeluarkannya prasasti tersebut, dipastikan bahwa peristiwa tersebut terjadi pada masa kekuasaan, Sri Maharaja Dyah Balitung Watukura, seorang maharaja terbesar pada masa Mataram Kuno. Dan mempunyai wilayah kekuasaan dari Jawa Tengah, Jawa Timur sampai ke Bali. Dyah Balitung dikenal sebagai Pangeran yang memiliki wilayah Palungguhan di lembah sungai Watukura, sungai besar yang mengalir dari Gunung Sumbing sampai kelautan Hindia, pantai selatan Jawa Tengah.


Menurut Van Der Meulen SJ, pendiri Fakultas Sejarah Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, wilayah Bagelen berbentuk segitiga, tempat yang sekarang dikenal bernama Ledok, merupakan pojok paling utara dari Bagelen. Basisnya Pantai Selatan, puncaknya Gurung perahu (Dieng) Sungai yang terutama adalah Bogowonto atau Watukura. Van der Muelen bahkan berpendapat, apa yang dinamakan Holing dalam Tiongkok Kuno seharusnya dibaca Halin, yakni singkatan dari Baghahalin (bagelen), kerajaan yang berlokasi di lembah sungai Bogowonto atau sungai Watukura. Bagelen tersebut sama dengan Pagelen yang disebut dalam Babad Tanah Jawi, kerajaan yang semula diperintah Khulun.


Pendapat Van der Meulen tersebut yang menggali isi Kitab Cerita Parahyangan dan Babad Tanah Jawi tersebut, menurut Dr N. Daljoeni merupakan sumbangan yang telah mengobori pronto sejarah yang gelap abad ke-5 sampai dengan abad ke-7. Sekalipun dalam prassti Kayu Ara Hiwang secara implisit disebutkan nama Sri Maharaja Dyah Balitung Watukura, namun dalam prasasti tersebut disebutkan, nama “Sang Ratu Bajra”. Tokoh ini diduga keras adalah adalah, Rakryan Mahamantri / Maha Patih Hino, Sri Daksottama Bahunbajra Pratipaksaya atau Daksa orang kedua setelah Sri Maharaja Dyah Balitung Watukura. Jadi sebutan “Sang Ratu“ layak diberikan kepadanya karena dalam sejarah perkembangan berikutnya, Daksa adik ipar Balitung naik tahta menjadi raja menggantikan Balitung.


Di sisi lain dalam prasasti “Sipater” parasasti batu yang ditemukan di wuwungan (bagaian dalam atap yg tertinggi) Masjid Jenar Kidul tahun 1981 tidak jauh dari lokasi Boro Tengah mengungkapkan pembuatan sebuah “dawuhan” atau tanggul / dam untuk mengairi persawahan. Dalam prasasti tersebut disebutkan nama seorang Samgat dari Kayu Ara Hiwang yang masuk dalam wilayah (anak wanua) Pariwutan dalam wilayah (watek) Ghaluh. Selain itu dalam prasasti “ Tulanana’” tahun 823 Saka.


Dyah Balitung Watukura juga disebut sebagai Rakai Galuh, penguasa daerah Galuh. Dengan demikian pendapat Profesor Purbatjaraka, bahwa Dyah Balitung Watukura adalah seorang Pangeran berasal dari Kedu Selatan atau Bagelen adalah benar.


Menurut Prof. Purbatjaraka, nama “Pagelen” atau “Bagelen” itu berasal dari kata “Pagalihan” yaitu daerah yang masuk wilayah Galuh.. Kata “Galih” menurut menurut pendapatnya adalah bentuk karama dari kata Galuh. Contohnya kata Pangguh = Panggih, Lungguh=Linggih, Rungkuh=Ringkih. Dengan demikian, Pegaluhan, Pegalihan, Pagelen, dan Bagelen memang merupakan wilayah kekuasaan Sri Maharaja Dyah Balitung Watukura yang ditandai dengan sebuah aliran Sungai Besar, Sungai Watukura yang kemudian dikenal dengan nama sungai Bogowonto, karena dikedua tepinya banyak Begawan berada. Dalam sejarah berikutnya, daerah Watukura masih dikenang. Ini terbukti dalam naskah Negara Kertagama, Raja Hayam Wuruk masih menyebut nama tersebut.


Sedangkan dalam masa kerajaan Demak, Bagelen merupakan suatu propinsi yang dipimpin oleh seorang Tumenggung. Para Kenthol Bagelen memegang peranan penting dalam pembentukan Kerajaan Mataram Islam. Sutawijaya yang kemudian bergelar Sebagai Panembahan Senapati telah mengingat persaudaran dengan para Kenthol Bagelen. Para Kenthol itu pula merupakan pasukan andalan dalam menumpas pemberontaka-pemberontakan maupun dalam operasi operasi militer, termasuk dalam pertempuran melawan VOC di Batavia.

Kesatuan dan kesetiaan orang-orang Bagelen mulai digoyah, tatkala di Kerajaan Mataram timbul pertikaian. Berdasarkan Perjanjian Giyanti , 13 Februari 1755, atas prakarsa VOC Belanda, wilayah Bagelen (Purworejo) dibagi dalam dua bagian sebagian masuk wilayah Surakarta dan sebagian lagi masuk wilayah Yogyakarta. Namun pembagian tersebut tidak jelas batas-batasnya?. Tumpang puruk, campur baur seperti rujak hingga abad ke-19 ketika pecah perang Diponegoro.



Pembangunan Jalan di Purworejo Masa Belanda



Pasca Pangeran Diponegoro ditangkap di Magelang tanggal 25 Maret 1830 dan di asingkan ke Manado yang kemudian di pindahkan ke Makasar, banyak gangguan yang terjadi diwilayah sekitar kawasan wilayah Purworejo, terutama di perbatasan Magelang. Peristiwa ini dianggap membahayakan pemulihan ekonomi maupun keamanan Pemerintahan Hindia Belanda, maka akhirnya dibangun jalan yang hingga kini masih bisa digunakan.


Hal ini dilakukan untuk menghindari wilayah yang menjadi basis pengikut Pangeran Diponegoro yang masih setia bergerilya. Pembangunan sarana transportasi berupa jalan dimulai dari tahun 1836. Pada saat itu dibangun jembatan konstruksi batu bata pada sungai Bengkal di distrik Loano, diperkuat dengan konstruksi kayu jati dan glugu.


Tahun 1838 dibuat pula jembatan pada sungai Bagawanta sepanjang 200 kaki, lebar 24 kaki dan tinggi 9 kaki. Pembangunan sarana jalan baru menurut seorang sejarah adalah akibat pelaksanaan sistem tanam paksa. Jalur ke arah utara ini dengan rute di luar daerah pengaruh Pangeran Diponegoro dari Loano melintasi bukit Cacaban, Bener, Kalijambe, Margoyoso, Salaman terus ke Magelang. Jalan baru alteratif ini dilaksanakan dengan wajib kerja umum oleh petani tanpa imbalan upah. Alasannya karena, jalan tersebut untuk kepentingan rakyat sendiri yang sudah sejak dahulu dipergunakan oleh para kuli angkut barang dari daerah Bagelen ke Semarang atau sebaliknya.asi untuk meningkatkan produksi pertanian maupun perkebunan.


Berdasarkan prasasti tugu peringatan pembangunan jalan di kecamatan Bener, dinyatakan bahwa jalur jalan baru yang diperingati dengan tugu tersebut dibangun atas perintah penguasa Karesidenan Bagelen Jonkh J.G o.s von Schmidt Auf altenstadh dan R.de Fillietas Bousqet dibantu oleh Raden Adipati Cokronagoro, Regent (Bupati) Purworejo tahun 1845-1850. Pembangunan jalan raya baru disisi lain dilaksanakan selama 3 tahun, dari tahun 1848-1850 dengan mengerahkan petani pada waktu luang dan dibiayai sebesar f 4.000 untuk pembelian peralatan dan dana untuk kenduri atau selamatan.


Dengan adanya jalan baru ini, maka lalu lintas jalan raya dan angkutan barang dialihkan, yang semula lewat jalan tradisional dilewatkan jalan baru yang dianggap lebih aman dari gangguan kraman (pemberontak). Sedangkan jalan tradisional yang ada sengaja dibiarkan terbengkalai dan tersisihkan. Selain itu untuk wilayah barat Purworejo dibangun jalan tepatnya melalui Kedungkebo hingga Gombong dan diteruskan ke Cilacap. Jalan baru tersebut sangat penting bagi mobilitas militer dalam mengamankan politik pemerintah dan memperlancar angkutan komoditi ekspor yang akan diangkut kapal melalui pelabuhan Cilacap, pelabuhan Semarang untuk di ekspor ke pasar Eropa.


Tahun 1830 Perang Jawa atau yang juga dikenal dengan nama Perang Diponegoro telah usai sebab Pangeran Diponegoro telah ditangkap di Magelang 25 Maret 1830 dan di asingkan ke Manado yang kemudian di pindahkan ke Makasar, namun para pengikutnya masih melakukan perlawanan, dengan dukungan para petani yang merasa tertindas dengan diberlakukannya sistem tanam paksa. Salah satu daerah yang paling gigih melakukan perlawanan terhadap Belanda adalah daerah selatan tanah Bagelen.


Sementara di Kutoarjo tahun 1847 muncul pemberontakan yang disusul tahun-tahun berikutnya akibat pemaksaan tanaman indigo (nila). Perlawanan terhadap kolonialisme dan sistem ekonomi liberal tersebut dilakukan secara gerilya yang dinamakan “kraman”, Kraman adalah suatu perang gerilya dengan melakukan penyerangan terhadap kereta gerobak yang melintasi jalan dan kemudian setelah berhasil para penyerang menghilang. Selanjutnya perlawanan tersebut oleh Belanda di sebut “brandal atau “gerombiolan kecu”. Perlawanan tersebut berlanjut kadang-kadang dilakukan secara perseorangan sehingga kemudian sikap perlawanan tersebut merupakan salah satu tolak ukur keberanian laki-laki.



Merenung 147 Tahun Dari Padukuhan Tanjung Anom Sampai Desa Kemanukan, Somongari



Sejarah terjadinya desa kemanukan sampai tahun 2009 ini kurang lebih sudah 146 tahun, yaitu dimulai sekitar tahun 1863. Sebelumnya hanya dimulai dari kelompok masyarakat saja, belum berbentuk desa. Kelompok masyarakat ini dipimpin oleh seorang terkemuka yang bernama Imam Darso, dan oleh kelompok masyarakat dipercaya menjadi pimpinannya dan diberi julukan Kyai Imam Darso. Sedang desa / pedukuhan itu dinamakan Tanjung anom.


Kemudian datanglah seorang baru beserta keluarganya yaitu Wongsonegoro. Wongsonegoro tinggal di Tanjunganom, setelah pindah dari desa asalnya yaitu desa Ngaran. Disana Wongsonegoro berkedudukan sebagai Demang Ngaran. Walaupun pendatang baru, akan tetapi Wongsonegoro dipandang terkemuka oleh masyarakat setempat. Dimuka rumahnya ditanamkan pohon sawo 4 batang, sehingga tempat itu tersohor dan dinamakan Sawo Jajar ( Sawo 4).


Oleh kerena Wongsonegoro merupakan orang yang terpandang, maka kekuasaan pimpinan dan mengatur masyarakat oeleh Kyai Imam Darso lalu diserahkan kepada Wongsonegoro untuk menjadi pipminan masyarakat Tanjunganom. Wongsonegoro yang menjadi pemimpin tanjunganom, akhrirnya menjadi Patih Pertama Kabupaten Purworejo, mendampingi Bupati Cokronegoro I (makamnya di Kayu lawang Purworejo).


Oleh karena itu, sejak wongsonegoro naik menjadi patih kabupaten, maka pada tahun 1863 didirikan dan ditunjuknya R.Sastrosuwongso menjadi Lurah Pertama. Dengan ini maka Tanjunganom diganti menjadi Kemanukan. Tiga (3) tahun kemudian atau lebih tepatnya pada tahun 1866 karena manentang Politik Pemerintahan maka R.Sastrosuwongso lalu dihukum pentheng sehari semalam. Selanjutnya diberhentikan dari jabatan Lurah desa Kemanukan.

Dengan adanya kekosongan Lurah Desa maka ditunjuk R.Sutosemito menjadi Lurah desa Kemanukan sampai tahun 1876 berhentilah Kepala Desa ini. Jadi R.Sutosemito menjabat lurah desa Kemanukan Selama 10 tahun. Berhentinya lurah yang kedua (2) lalu ditunjuk dan diangkat R.Somocitro menjadi Lurah desa Kemanukan yang ketiga (3). R.Somocitro hanya memimpin Kemanukan selama 4 tahun saja. [Raden Kusumo Wicitro] Pemilihan Lurah dengan cara ditunjuk oleh Wedana Cangkrep (Sutonegara) ini kurang efektif dan kerap tidak lama lalu berhenti, maka diadakan perubahan pemilihan Lrah yaitu dengan cara pemilihan dengan melibatkan warga desa.

Kini, seperti yang sebelumnya kita kenal, desa kemanukan merupakan daerah subur yang memiliki struktur kesuburan tanah tinggi. Terlihat dari beraneka ragamnya lahan pertanian, baik kebun, sawah, ladang dan hutan. Dapat dilihat, sungai yang memotong jalan, tepatnya di jembatan ngasinan. Garis lurus merupakan jalan antar desa dari piji-kemanukan. Sawah yang membentang merupakan lahan pertanian warga, kulon ngasinan, pleret, siwatu, penagan, batur miget, sangrahan, njomblangan, malangan, siweru dan lainnya.


Ditengah Pemukiman terlihat perpotongan jalan, yakni perempatan kemanukan. Disitulah pusat pemerintahan, pusat ekonomi, dan pusat rantai kehidupan masyarakat. Disamping perempatan terdapat pasar, balai desa, Puskesmas, bank, koperasi, bahkan sekolahan. Pembagian yang jelas untuk dusun, yakni terlihat dusun krajan kulon, krajan wetan, karang sari, dan sebagian jolotundo, hanya saja karang rejo tidak terlihat.

Kemanukan adalah nama sebuah desa di kecamatan bagelen, kabupaten purworejo, jawa tengah. Atau lebih tepatnya daerah paling utara kecamatan bagelan. Jika kita berjalan keutara maka akan sampai dikecamatan purworejo, dan bila ke timur maka akan sampai dikecamatan kaligesing. Utara berbatasan dengan desa ganggeng, timur desa somongari, selatan desa piji dan barat desa semawung.


Desa Kemanukan mempunyai 5 dusun, yaitu Krajan kulon, Krajan wetan, Karangsari, Karangrejo dan jolotundo. Dari keliama dusun yang ada mempunyai ciri khasa dan pionir tersendiri. Desa kemanukan dipimpin oleh seorang lurah yang dipilih oleh rakyat, inilah wujud demokrasi.


Letaknya tepat di lembah deretan panjang bukit manoreh, atau lebih kerennya "desa hijau lereng menoreh". Tatanan masyarakat yang rapi tidak lepas dari pengaruh geografis desa ini. Betapa tidak, tanah subuh yang membentang luas sepanjang lembah bukit menoreh, sangat cocok untuk bercocok tanam. Terlebih lagi desa ini diapit oleh dua sungai, yakni sungai ngasinan dan sungai bangsan. Ternyata koesplus berkata benar,"tongkat kayu dan batu jadi tanaman".


Inilah kenyataannya. Petanipun menjadi dominan didesa ini, baik petani sawah, ladang, kebun, tegalan dan petani hutan. Tidak terhenti sampai disitu, masih banyak isi perut desa kemanukan. Sekalipun pertanian didesa ini maju, akan tetapi dibagian lain banyak hal yang bisa dipelajari dari tempat ini. Sebut saja kesenian Jidur "dolalak Pria", 3 sanggar seni kuda lumping, incling(mirip reog), ande-ande lumut, karawitan, bahkan shalawatan.


Agama yang dominan didesa ini adalah Islam, akan tetapi ada juga yang beragama, kristen, katholik, budha, hindu bahkan kepercayaan. Akan tetapi, semua penduduknya saling hidup berdampingan.
Ragam cara digunakan masyarakat Jawa dalam mengungkapkan ekspresi rasa kebersyukurannya kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas limpahan karunia keberkahan rezeki serta keselamatan hidup masyarakat pedesaan. Yang lazim, bentuk kegiatan tersebut dilaksanakan melalui suatu upacara ritual spiritual berbasis budaya Jawa dalam waktu yang telah ditentukan.


Penyebutan tradisi tersebut juga bermacam-macam, antara lain “Selamatan Desa”, “Merti Desa”, “Sedekah Bumi”, dan sebagainya. Demikian juga yang dilakukan oleh segenap masyarakat Desa Somongari, Kec. Kali Gesing, Kab. Purworejo, Prov. Jawa Tengah secara periodik dalam menyelenggarakan ritual tradisi merti desa dengan nama “Jolenan”.



Ribuan orang dari berbagai kalangan dan latar belakang keagamaan datang ke Desa Somongari untuk menyaksikan perayaan Jolenan yang digelar setiap dua tahun sekali. Dalam pelaksanaan perayaan Jolenan di Desa Somongari biasanya hadir pula tamu dari jajaran pimpinan Kabupaten Purworejo beserta unsur pimpinan daerah, para pemuka agama, para sesepuh, serta keluarga besar Trah Kyai Ageng Somongari, Kyai Kedana Kedini dari berbagai tempat. Sebagai aset tradisi budaya Jawa, upacara Jolenan Somongari menjadi fenomena aktivitas budaya yang terbesar dan paling meriah di Kabupaten Purworejo.


Kegiatan Jolenan ini sebagai upaya untuk mengangkat Desa Somongari sebagai desa wisata, desa budaya, desa religius serta media silaturahim antar warga masyarakat Somongari dan Trah Kyai Ageng Somongari serta Trah Kyai Kedana Kedini.
Dalam hubungan sosial kemasyarakatannya, warga Somongari terkenal guyub, rukun dan selalu mengutamakan budaya gotong royong sesuai dengan kemampuannya dalam pelaksanaan kegiatan tradisi budaya, maupun dalam kehidupan keseharian.


Dalam kehidupan keberagamaan juga telah kuat tertanam jiwa toleransi yang harmonis, baik warga masyarakat yang Muslim, Kejawen maupun Nasrani.
Pada Upacara Jolenan di bulan Sapar 2010, bertindak sebagai Ketua Panitia Acara Jolenan adalah Bapak Sungkono. Hadir pula Wakil Bupati Purworejo, yakni Bapak Mahsun Zain beserta para pimpinan dari unsur Muspida.


Tradisi Saparan Dan Jolenan Desa Somongari


Peristiwa tradisi Saparan ini rutin dilakukan tiap dua tahun sekali pada bulan Sapar di desa Somongari, sekitar 15 kilometer ke arah selatan dari pusat kota Kabupaten Purworejo. Acara memperebutkan makanan atau ngalap berkah yang disebut Saparan atau Jolenan di Desa Somongari dipercaya masyarakat setempat sebagai wujud upaya tolak bala dengan doa serta ungkapan rasa syukur kepada Gusti Allah Ingkang Murbeng Dumadhi, atas berkah melimpahnya hasil tanaman buah-buahan dan palawija di bumi Somongari.



Selain alasan di atas, Saparan dipergunakan juga sebagai suatu alat silaturahmi antar penduduk Desa Somongari. Begitu berartinya tujuan kekerabatan itu, para perantau selalu memerlukan diri pulang kampung untuk mengikuti acara ini. Bahkan di saat lebaran, pemudik yang datang tidak sebanyak saat saparan tiba. Di Jakarta, ada sebuah paguyuban warga Somongari yang menyediakan bus khusus bagi para warga Desa Somongari yang ingin pulang untuk mengikuti acara Saparan ini.



Saparan atau Jolenan dalam kesejarahan di dalamnya terkandung kenangan terhadap cikal bakal Desa Somongari, yakni Kyai Ageng Somongari [kemungkinan hidup pada sekitar tahun 1700-an] dan Kyai Kedana Kedini [dimungkinkan hidup pada sekitar tahun 1800-an] yang riwayat sejarah hidupnya penuh misteri.
Dalam cerita rakyat yang diyakini masyarakat Desa Somongari, pendiri Desa Somongari bernama Raden Mas Loka Joyo atau Kyai Ageng Somongari yang berasal dari Loano. Loka Joyo adalah menantu dari Kyai Ageng Beluk atau Raden Mas Singo Negoro.



Dikisahkan pada masa itu terjadi pagebluk, banyak musibah yang terjadi dan untuk mengatasi pagebluk itu, Raden Mas Singo Negoro memerintahkan menantunya, yakni Raden Mas Loka Joyo untuk mengatasi wabah pagebluk dengan kemampuan spiritualnya. Raden Mas Loka Joyo kemudian mengadakan upacara Merti Desa bertepatan pada bulan Sapar Jawa guna berdoa bersama warga masyarakat desa untuk memohon pertolongan dan keselamatan dari Gusti Allah Ingkang Murbeng Dumadhi, selanjutnya dikenal sebagai tradisi Saparan yang dilengkapi dengan ngalap berkap melalui tradisi Jolenan.


Apakah istilah “Jolenan” berasal dari kata “Ojo Lenan”?, atau janganlah mudah terlena atau lupa kepada Gusti Allah atas segala keberkahan hidup, saya hanya mencoba mencari keterkaitan hubungan tradisi Jolenan dengan kisah Raden Mas Loka Joyo mengatasi wabah pagebluk di desa tersebut dengan ritual spriritual Merti Desa? Jolenan juga berarti Kerucut, seperti alas tumpengan yang terbuat dari anyaman daun aren.



Setelah berhasil memulihkan keadaan, selanjutnya sebagai ungkapan rasa syukur dan terima-kasinya Raden Mas Singo Negoro meminta Raden Mas Loka Joyo untuk memerintah desa yang terkena wabah pagebluk tersebut dan kini dikenal sebagai Desa Somongari. Maka dikenal pula Raden Mas Loka Joyo sebagai Kyai Ageng Somongari-I, atau cikal bakal Desa Somongari. Besar kemungkinan kara Somongari berasal dari kata Kusumo Asngari yang memperjelas identitas nama asli Raden Mas Loka Joyo?, yakni Raden Mas Kusumo Asngari.


Namun penelusuran saya ini masih memerlukan banyak dukungan masukan informasi, data, bukti dan manuskrip untuk menguak asal-usul dan silsilah jati diri siapa sebenarnya Kyai Ageng Somongari-I yang misterius ini? Insya Allah, akan saya telusuri lebih dalam pada risalah tentang Misteri Somongari selanjutnya. Banyak terdapat peninggalan petilasan, pusaka keraton, peralatan perang berupa keris dan tombak, serta tradisi keagamaan yang masih terjaga kelestariannya, antara lain Saparan atau Jolenan.


Selanjutnya adalah tokoh pepundhen Desa Somongari yang bernama Kyai Kedana Kedini? Banyak kisah tutur yang menjelaskan bahwa Kyai Kedana Kedini merupakan seorang priyagung Mataram dari Kraton Ngayogyakarto Hadiningrat. Kyai Kedana Kedini juga tokoh penting Desa Somongari yang penuh misteri, baik berkenaan dengan nasab silsilah maupun konsep ajaran spiritualnya? Dikisahkan bahwa Kyai Kedana Kedini pergi meninggalkan Kraton Mataram bersama keluarganya dan menetap di Somongari.


Kyai Kedana Kedini dikenal sebagai seorang budayawan yang senang dengan berbagai kesenian daerah, khususnya kesenian khas Bagelenan. Sehingga, dalam perayaan Saparan atau Jolenan di Desa Somongari diwujudkan pula dengan menampilkan seluruh kesenian khas Bagelen yang masih ada. Bahkan menjadi bagian ritual kepercayaan yang hidup di masyarakat Somongari, bagi setiap grup kesenian yang akan pentas telebih dahulu memualai dengan mengunjungi atau berziarah ke makam Kyai Kedana Kedini. Hal itu dimaksudkan untuk mohon izin agar saat melaksanakan pentas selamat dari marabahaya.


Simbah H. Paryono di Dusun Krajan RT.02/RW.01 Desa Somongari, menjelaskan bahwa tradisi “Jolenan” telah dilaksanakan dan berjalan secara turun temurun namun banyak yang tidak mengetahui dimulai sejak kapan? Tradisi ini berdasarkan kepercayaan masyarakat Desa Somongari sebagai ritual ngebani tanaman dan palawija yang tumbuh di desanya.


Dengan harapan, setelah dikebani maka tanaman dan palawija akan tumbuh subur dan berbuah lebat yang akan menjadi sumber rizqi bagi masyarakat Desa Somongari. Pada mulanya kegiatan tersebut sebagai sarana ngebani pohon manggis dan durian yang menjadi tanaman buah ikon produk alam Desa Somongari. Menurut ceritera yang ada, tanaman manggis dan durian sudah ditanam sejak tahun 1700-an. Dengan demikian ritual “Jolenan” diperkirakan diselenggarakan tidak jauh dari tahun tersebut.



Berdasarkan keyakinan masyarakat, masih ada satu kesenian lagi yang tidak boleh ditinggalkan dalam ritual desa, yaitu pagelaran Tayuban yang menjadi salah satu kesukaan Kyai Somongari-I. Kesenian tersebut menurut kepercayaan masyarakat ditampilkan pula sebagai pelengkap kemeriahan acara hiburan. Mengingat kesenian tersebut di Somongari bahkan di Purworejo sudah semakin langka?, maka sebagai gantinya digelarlah Tarian Ndolalak/Dulalak, Tarian Kuda Lumping dan Jathilan.


Saat menjelang malam ditampilkan Tayuban atau Ledhek.
Untuk mendukung kegiatan, khususnya dari segi pembiayaan, masyarakat Desa Somongari di perantauan yang tergabung dalam paguyuban masyarakat Somongari “PAKIS”, yang selalu memberikan bantuan. Anggota PAKIS sendiri diperkirakan sekitar 2000 orang warga Somongari perantauan yang berada di berbagai kota besar di Indonesia, dari jumlah itu terbanyak di DKI Jakarta dan sekitarnya.


Dalam tradisi Jolenan, makanan yang diperebutkan antara lain terdiri dari 3 buah tumpeng lengkap dengan lauknya seperti ayam panggang dan sambal goreng hati, aneka ledre atau kerupuk singkong warna-warni yang berukuran besar, binggelan atau aci goreng yang dibentuk aneka macam, buah-buahan atau bebungaan. Semua makanan ini digantung dalam pikulan kecuali tumpeng yang dibungkus dalam anyaman daun aren berbentuk kerucut atau jolenan. Setiap warga rukun tetangga menyiapkan paling sedikit 2 pikulan Jolenan, hingga dalam satu desa terkumpul sekitar 80 pikulan Jolenan. Luar biasa kebersamaan di Somongari.

Jolenan diwujudkan dalam bentuk gubungan terbuat dari anyaman bambu atau ancak yang ditutup dengan anyaman daun aren muda yang mengandung makna, bahwa segi empat di bawah menggambarkan hubungan sesama manusia di dunia, kemudian ke atas semakin mengerucut dimaksudkan semua kegiatan di dunia ini pada akhirnya menyatu untuk menyembah kepada Tuhan Sang Pencipta, Gusti Allah Azza Wa Jalla.


Gunungan tersebut berisi nasi tumpeng, tiga ekor ayam panggang, berbagai macam sayur, pisang, beserta lauk. Kemudian bagian luar dihias dengan buah-buahan dan makanan kecil. Berbagai buah penghias merupakan hasil dari panenan masyarakat desa tersebut. Makanan kecil berbahan baku dari beras dan tepung yang memberikan makna sebagai wujud hasil bumi Desa Somongari.



Gunungan selanjutnya diarak dari ujung timur hingga ujung barat desa yang dimaksudkan agar merata sehingga berkah dari Gusti Allah Azza Wa Jalla yang berupa panenan hasil tanam dapat dinikmati merata di seluruh Desa Somongari. Gunungan dipikul oleh dua orang dengan menggunakan pakaian keprajuritan Mataram yang di iringi oleh Trah Kyai Ageng Somongari dikawal para prajurit kenthol, sebutan untuk pendekar Bagelen yang menjadi para pengawal setia Joko Tingkir, Sultan Hadi Wijaya di Pajang.


Setelah selesai, dilaksanakan Kenduri Agung, makan tumpeng beserta ugarampenya bersama-sama masyarakat yang hadir di halaman Balai Desa Somongari. Iring-irngan Jolenan, disertai bebagai kesenian yang ada di desa tersebut, sepeti Incling, Barongan, Warokan, Kuda Kepang, Dolalak, Rebana dan lain-lain. Perayaan Jolenan juga sebagai ungkapan terima kasih kepada para leluhur yang telah berjuang mendirikan Desa Somongari.

Jika tujuan acara ini untuk mempererat kekerabatan?, tampaknya benar-benar tercapai! Dapat dibayangkan pada saat prosesi pembuatan ledre untuk keperluan acara Saparan, warga Desa Somongari berkumpul sebulan sebelumnya di rukun tetangga masing-masing berkaitan persiapan acara. Belum lagi hidangan yang lain seperti banyaknya tumpengan, atau nasi tumpeng.


Tepat pada hari upacara Saparan, para warga sudah harus membawa tumpeng pagi-pagi betul ke kantor RT. Selanjutnya, nasi tumpeng dikendurikan dengan pengajian sebelum dihias dalam jolen atau kerucut dari daun aren. Setelah selesai dihias, Jolen di angkat dan dibawa ke tempat kenduri inti di Pendopo Balai Desa Somongari. Di sana puluhan Jolen tersebut didoakan secara khusus oleh para alim ulama dan sesepuh Desa Somongari.

Di Pendopo Balai Desa Somongari ini berkumpullah para undangan dari Kabupaten, Kecamatan, dan Dinas Pariwisata, Keluarga Paguyuban Desa Somongari di Jakarta, tamu dari tetangga desa pun turut meramaikan. Setelah acara sambutan Ketua Panitia dan Tamu Khusus di pelataran makam Kyai Kedana-Kedini. Peringatan Saparan dan Jolenan ini juga dimaksud untuk memperingati Haul Kyai Kedana-Kedini yang menjadi Pepundhen Somongari.


Setelah berziarah dan berdoa bersama dipimpin Sesepuh dan Alim Ulama Somongari, maka selanjutnya arak-arakan Jolen pun dilakukan menuju batas Desa Somongari, sekitar 10 km, dan kembali lagi ke Makam Kyai Kedana Kedini. Dan terakhir arak-arakan Jolenan menuju Balai Desa Somongari. Selama perjalanan arak-arakan itu masyarakat tetangga atau undangan boleh memperebutkan makanan yang digantung di pikulan.


Penduduk Desa Somongari sendiri sebagai tuan rumah mengutamakan para tamu-tamunya memperoleh berkah Jolenan terlebih dahulu. Tak satu pun orang melewatkan kesempatan langka ini. Meski harus usaha keras, biarpun hanya dapat selembar kerupuk, semua orang maju terus meraih makananan yang tergantung. Inilah pertanda bakal mendapat berkah di tahun mendatang. Memperebutkan makanan dan buah-buahan dari jolen memiliki arti ngalap berkah atau mengharapkan berkat atau pahala dari Gusti Allah Azza Wa Jalla. Bila makanan tidak didapat, gagang bambu tempat digantungkannya ledre pun diperebutkan.


Menurut kepercayaan masyarakat Desa Somongari, bambu yang diperoleh dari Jolen saat Saparan bisa digunakan sebagai tempat merambatkan tanaman. Dengan cara ini hasil tanaman tersebut akan melimpah, karena keberkahan dari kekuatan doa para Pepundhen, Sesepuh dan Alim Ulama. Setelah habis diperebutkan, Jolen yang masih berisi tumpeng tersebut di arak kembali lagi ke Pendopo Balai Desa Somongari untuk melanjutkan acara Kenduri Agung, atau kenduri bersama.


Setelah acara kenduri selesai, tumpeng yang sudah didoakan tadi boleh diambil untuk dimakan maupun di bawa pulang para tamu yang warga yang turut hadir dalam acara Kenduren tersebut. Dan uniknya, penduduk Desa Somongari justru tidak diperbolehkan mengambil tumpeng tersebut. Hal ini menyiratkan betapa tinggi bentuk penghormatan kepada para tamu.


Habis sudah tumpeng yang disediakan oleh warga Somongari untuk diperebutkan, namun pesta rakyat Somongari belumlah usai. Selanjutnya digelar acara hiburan untuk bersuka-ria bersama setelah bersusah payah bekerja mempersiapkan acara Jolenan. Serangkaian hiburan pun segera digelar di sekitar Balai Desa Somongari hingga berlangsung sampai dua hari dua malam, namun terkadang juga dilaksanakan sehari semalam saja tergantung cuaca. Acara hiburannya antara lain berupa Tarian Kuda Lumping, Tarian Dulalak, dan Jathilan dan saat menjelang malam ditampilkan Tayuban atau Ledhek.


Tradisi Saparan atau Jolenan ini mengingatkan kita pada tradisi Grebeg Maulud di Kraton Ngayogyakarto Hadiningrat yang selalu digelar pada bulan Mulud Jawa maupun Suran 1 Muharram. Sebuah tradisi budaya yang diwariskan oleh seorang Waliyullah dalam Majlis Wali Songo, yakni Kanjeng Sunan Kali Jogo kepada masyarakat Jawa.


Adakah kaitan kesejarahan antara Kanjeng Sunan Kali Jogo dan Sultan Mataram dengan Kyai Somongari dan Kyai Kedana-Kedini? Dan adakah kaitannya tradisi Grebeg maulud dan Suran dengan tradisi Saparan dan Jolenan di Somongari? Terlepas pertanyaan itu, kebersamaan yang utama.

Aliran Kepercayaan Hardo Pusoro Somongari


Hardo Pusoro adalah salah satu aliran kebatinan berbasis budaya Jawa yang memberikan ajaran kasunyatan dan kasampurnaan berdasarkan kawruh ngelmu. Aliran kepercayaan kejawen didesa ini berkembang pesat diera tahun 80-an. hardo pusoro adalah suatu ajaran mukso. kata jawa mukso berasal dari bahasa sansekerta : moksha yang berarti lepas atau bebas. orang jawa mengartikannya sebagai : luar soko bandhaning donya kalis sakabehing penandhang, artinya lepas dari belenggu dunia ramai ini terhindar dari segala penderitaan. suatu pembebasan spiritual, bebas dari belenggu wadag dan semua hawa nafsunya. manusia menghendaki dirinya bebas, kebebasan menyeluruh dari bermacam-macam batasan yang menekan dengan ketat pada dirinya di dunia ramai ini.


Hardo Pusoro nama kepercayaan itu. Rupanya aliran itu mendapat tempat dihati masyarakat, terbukti penganut (jamaah) dari Hardo Pusoro tersebar diseluruh negeri Indonesia ini. Semua pemahaman itu menuju ke satu titik, di analogikan seperti piramid yang ujungnya adalah Tuhan atau bahasa anda Sang Hiang Widi, memang ajaran Jawa ada yang sangat universal dan setahui saya yang terkenal dan tertua itu adalah “Hardo Pusoro” yang berasal dari Purworejo, dulunya di di rintis oleh Raden Mas Sumowicitro, seorang Teosof yang mengajarkan tentang Kawruh yang ternyata setelah di kaji adalah sangat universal.


Sebenarnya, ajaran ini tidak berbeda dengan yang d ajarkan dalam agam Islam, esensi nya saja yang barangkali ada perbedaan, namun eksistensi itu sendiri dimana-mana sama yakni mencari sebuah kebenaran sejati yang hanya satu, dan terdapat zat-nya di dalam diri kita.


Suronan, Ki Purbo Dan Kurban Wedus Kendhit


Masyarakat Jawa memang kaya akan tradisi dan budaya. Entah berapa banyak tradisi dan ritual adat yang sebagian besar dibalut dengan unsur-unsur spritual. Dan semuanya memiliki akar sejarah panjang karena merupakan warisan nenek moyang. Sebuah tradisi unik menjadi rutinitas warga di Desa Sumongari, Kecamatan Kaligesing, Purworejo. Yakni kenduri massal yang digelar dua tahun sekali menyambut tahun baru Hijriah atau dalam penanggalan Jawa bersamaan dengan upacara suronan. Seperti yang digelar Jumat, 2 Januari 2010. Kebetulan Jumat Kliwon dan dalam kalender Jawa tanggal 5 Suro, minggu pertama di bulan penuh aura magis itu. Sejak pagi buta, masyarakat khususnya kaum ibu desa setempat sudah disibukkan dengan kegiatan memasak untuk keperluan kenduri.


Hajatan besar itu berlangsung di beberapa tempat. Masing-masing dusun menggelar sendiri. Kades Sumongari, Bapak Subagiyo menjelaskan bahwa kenduri massal itu sudah menjadi tradisi yang dipelihara masyarakat setempat sebagai kearifan lokal. Kalau dipadukan dengan ajaran Islam hajatan ini sekaligus untuk menyambut tahun baru Hijriah 1430.


Lewat acara ini, warga berdoa kepada Tuhan Yang Maha Kuasa dengan harapan warga terbebas dari ancaman bahaya. Selain itu agar warga yang sebagian besar tinggal di perbukitan selalu sejahtera dengan hasil bumi yang ada seperti durian, kokosan, dan manggis. Setiap satu keluarga membuat satu tumpeng kecil. Sedang kenduri massal dipusatkan di depan makam cikal bakal moyang warga Somongari yang oleh warga sekitar disebut Eyang Kedhono-Kedhini.


Yang unik dari tradisi ini, warga menyembelih kambing kendit. Yakni kambing yang memiliki bulu berwarna putih pada bagian perutnya. Daging kambing kendit yang sudah disembelih itu tidak boleh dimasak oleh kaum hawa, tapi harus dimasak oleh kaum laki-laki. Kaum perempuan hanya memasak di rumah untuk pembuatan tumpeng masing-masing. Penyembelihan kambing kendit itu juga sudah menjadi tradisi nenek moyang, namun lucunya masyarakat setempat justru tidak banyak yang tahu bagaimana asal-usul mulanya.


Upacara kenduri diawali pertama kali di Mbeji tempat petilasan Ki Purbo di Dusun Sijanur pukul 09.00 WIB malam. Ki Purbo juga menjadi salah satu cikal bakal warga Dusun Somongari. Lalu pada pukul 13.00 WIB, dilakukan kenduri di Dusun Dukuhrejo dan di Krajan, dan terakhir di depan makam Kedhono-Kedhini. Acara kenduri massal itu dilangsungkan dua tahun sekali, berseling dengan upacara merti desa Kebo Polowijo (Jolenan) yang dilangsungkan pada bulan Sapar. Bedanya, untuk Saparan sebelum dilangsungkan kenduri dilakukan arak-arakan Jolenan berupa tumpeng besar dan hasil bumi, sedang Suronan ini hanya kenduri saja.

Tari Ndolalak


Kabupaten Purworejo memiliki salah satu tari kerakyatan yang menjadi ciri khas yaitu tari dolalak. Awal mula kehadirannya tidak diketahui secara pasti namun ada pada zaman penjajahan Belanda. Tari dolalak tercipta karena terinspirasi oleh perilaku serdadu Belanda pada saat beristirahat di camp-camp. Serdadu- serdadu tersebut beristirahat sambil minum-minuman keras, ada juga yang menyanyi dan berdansa ria. Aktifitas sehari-hari para serdadu di kamp ditiru oleh para pengikutnya yang kebanyakan pribumi, oleh sebab itu terciptalah tari dolalak yang bentuknya sederhana dan berulang-ulang.


Tari dolalak ditarikan oleh para remaja putri yang berpakaian mirip serdadu Belanda,dan puncaknya digambarkan saat penari mendem atau kerasukan setan. Pengiring yang digunakan berupa: kendang, rebana dan bedug, sedangkan syair-syairnya tentang keagamaan, pendidikan dan juga berbagai kritik dan sindiran. Tari ini dapat ditarikan bersama penonton sehingga bisa disebut sebagai tari pergaulan. Tari dolalak mempunyai berbagai ragam sesuai dengan daerah asalnya misalnya; gaya Kaligesingan, Mlaranan, Sejiwanan, dan Banyuuripan. Tari dolalak berasal dari kata “do” dan “la-la” yang dimaksud not balok dari do,re,mi,fa,sol,la,si,do, yang diambil dari pendengaran penduduk pribumi yang berubah menjadi lidah jawa dolalak, sekitar tahun 1940.

Tari ini oleh rakyat Indonesia diciptakan sebagai misi keagamaan dan politik untuk memerangi Belanda. Tari ini dipentaskan pada saat-saat tertentu, diantaranya; mantu,sunatan dan syukuran. Biasanya warga mengundang group tertentu yang disebut nanggap dalam bahasa jawa, tari ini ditarikan menjelang hajatan yaitu pada malam hari semalam suntuk. Dalam perkembangan selanjutnya kabupaten Purworejo memperhatikan perkembangannya kemudian mengangkat kesenian ini lewat penataran dan seminar tentang tari dolalak. Bahkan dolalak dijadikan muatan lokal dalam pendidikan dasar.

Perhatian pemerintah juga tampak dengan memberikan alat dan kostum. Sehingga kini dolalak sudah terkenal sampai di TMII yang pernah pentas di anjungan Jawa Tengah. Seiring berjalannya waktu kemudian dolalak menjadi aset mata pencaharian tambahan bagi penari dan pengiring group tersebut. Sebab pada musim pernikahan banyak menampilkan tari dolalak untuk meramaikannya.

Sebagai seni pertunjukan, dolalak mengandung 4 unsur seni yaitu; seni gerak (tari), seni rupa (busana dan aksesoris), seni suara (musik) dan seni sastra (syair lagu) yaitu:

(1) Gerak: gerak tari dolalak merupakan gerak keprajuritan didominasi oleh gerak yang rampak dan dinamis nyaris seperti gerakan bela diri pencak silat yang diperhalus. Gerakan “kirig” (gerakan bahu yang cepat pada saat-saat tertentu) merupakan ciri khas dolalak yang tidak didapati pada tarian lain.



Penelitian Prihartini membagi tari dolalak menjadi tiga bagian yaitu: tari kelompok, tari pasangan, dan tari tunggal. Tari tunggal biasanya diikuti dengan “trance” atau kesurupan sehingga penari bisa menari hingga berjam-jam. Pada perkembangannya tari dolalak dimodivikasi sehingga bisa ditarikan hanya 15 menit.


Dalam tari terdapat berbagai macam istilah diantaranya gerak kaki (adeg, tanjak, oyog, sered, mancat, gejug, jinjit, ngentrik, ngetol, engklel, sing, ngetol, pencik, kesutan, sampok, jengkeng dan sepak). Gerak tangan (ngruji, taweng, ngregem, malangkerik, ukel, ukel wolak-walik, tepis, jentus, keplok, enthang, siak, kesutan grodha, miwir sampur, ngithir sampur, bapangan wolak-walik, atur-atur, cathok, mbandhul, cakilan dan tangkisan). Gerak tubuh/badan (ogek, entrag dan geblag). Gerak leher (tolehan, lilingan dan coklekan) gerak bahu (kirig dan kedher).


(2) Busana: kostum tradisional dolalak menggunakan baju lengan panjang hitam dan celana pendek hitam dengan pelisir “untu walang” pada tepinya. Serta aksesorius kuning keemasan pada bagian dada dan punggung ditambah topi pet hitam dengan hiasan dan kaos kaki panjang, namun saat ini dimodivikasi pada celana pendek yang dahulu diatas lutut menjadi di bawah lutut. Bahkan ada juga yang dimodivikasi dengan gaya muslim dengan berkerudung namun aksesorisnya tetap sama. Memakai sampur pendek yang diikat di sebelah kanan saja.


(3) Musik : semula hanya acapela, namun dalam perkembangannya diiringi dengan lagu dan tembang seerta iringan solawat jawa dan dilengkapi juga dengan bedug, kendang, terbang, kecer dan organ. Musiknya beragam dari vocal “bawa” sebagai lagu pembuka hingga lagu parikan atau pantun yang menggunakan bahasa melayu lama dan sebagian bahasa jawa bahkan bahasa arab. Bahkan sekarang masuk juga lagu jenis pop, dangdut dan campursari.


(4) Syair lagu: bertema tentang agama sindiran sosial, kegembiraan dan nasehat kehidupan ada juga yang bernuansa romantis yang dinyatakan dengan pantun atau parikan. Dansa (tari gaul gaya barat ) dengan iringan lagu membangkitkan inspirasi beberapa warga pribumi untuk menirunya menjadi tari dolalak. Menurut penelitian Prihatini (2000) nama mereka adalah Rejotaruno, Duliyat dan Ronodimejo untuk menirunya.


Dari hasil survey jurisan sejarah FKIP IKIP Semarang (1971) mencatat bahwa akar kesenian dolalak tumbuh pada masa perang Aceh (1873-1904). Untuk menghibur diri pasukan Belanda yang ditugaskan di Aceh membuat tari keprajuritan, dengan barisan dan cakepan atau nyanyian yang berbentuk “pernesan” atau sindiran serta dengan pakaian ala Belanda dan Perancis. Ketika Purworejo menjadi basis militer Belanda kesenian itu juga makin berkembang luas. Menurut salah satu sumber di internet (javapromo.com, 2007) yang dikemukakan oleh Tijab pimpinan group dolalak dusun Giri Tengah Borobudur mengatakan bahwa dolalak berasal dari kata “Duh allah” dan lahirnya seni dolalak karena adanya kisah pasukan Srikandi yang membantu Nyai Ageng Serang pada saat perang Diponegoro. Pasukan wanita tersebut berada di bawah pimpinan Ambarsari dan Roro Ayu Tunggalsari.


Pada awal kehadirannya sampai tahun 1970 dolalak merupakan kesenian rakyat yang berfungsi sebagai penghibur pada kegiatan hajatan masyarakat desa. Pada dekade 1970 ketika pemerintah mulai menggalakkan kesenian daerah sebagai aset wisata, dan mulai ada campur tangan dari pemerintah dan pembinaan.


Atas prakarsa Bupati Soepanto (1975) yang menganjurkan kaum wanita bisa menjadi penari dolalak mendapat respon yang positif. Sehingga mulailah muncul group- group dolalak di tingkat kecamatan dan mencapai puncaknya pada dekade 1980–an. Bahkan pada tahun 80 an terjadi perubahan yang menonjol dimana kemudian para penari yang tadinya lelaki diganti menjadi wanita yang diawali dengan group dolalak dari dusun Teneran, desa Kaligono, kecamatan Kaligesing.


Dan kemudian pada saat ini berkembang pesat group dolalak yang penarinya wanita. Isi lain yang perlu diungkap adalah “mantra” yang digunakan oleh sesepuh group dolalak ketika mengendalikan kekuatan ghaib yang merasuki penari dolalak. Sebelum group dolalak menari telah disediakan sesaji diantaranya: bunga setaman minimum 3 macam, minuman ( teh, kopi, dan air putih), kelapa muda, pisang dan jajan pasar, alat kecantikan (bedak, lipstik, kaca pengilon, sisir dan minyak wangi), kinang, sirih dan kapur sirih. Semuanya itu disajikan untuk penari yang “mendhem” atau kerasukan roh halus. Dalam kondisi menari mereka bisa totalitas dan bahkan kadang dapat melakukan hal- hal yang aneh dan diluar kebiasaan.

Busana Bagelenan


Ada tiga macam busana Bagelenan, antara lain :

(1) Busana Kasepuhan adalah busana yang biasa dipakai oleh orang tua (sepuh), penutup kepalanya iket atau destar yang dibuat sendiri langsung atau sudah menjadi blankon dengan ujung destar terjuntai (jebehan nglawer). Dalam mengenakan aksesoris diatas mancung, berbentuk medallion, permata. Bagian atas mengenakan beskap dengan kancing di tengah yang disebut atela. Busana Bagelenan Kasepuhan sendiri terdiri dari dua macam yaitu dengan beskap atela landung (panjang) tanpa mengenakan keris dan busana beskap atela dengan mengenakan keris (ada krowakannya).Bagian bawah mengenakan kain batik panjang dengan wiron di tengah dan seret putih ditampakkan, bagian kaki mengenakan selop atau sepatu pantovel.

(2) Busana Bagelenan kaneman adalah busana yang diperuntukkan bagi orang muda, namun dapat juga dipakai oleh orang tua. Dirancang dengan tujuan agar pemakai dapat bergerak cepat dan lincah. Penutup kepala digunakan iket atau destar yang dibuat sendiri langsung atau sudah menjadi blankon dengan ujung destar terjuntai. Dapat mengenakan aksesoris diatas mancung, berbentuk medallion dan permata. Bagian atas adalah beskap dengan kancing ditengah (atela). Ada dua macam yaitu yang landung tanpa mengenakan keris dan yang krowakan dengan mengenakan keris. Bagian bawah mengenakan celana panjang yang ditutupi kain batik separuh dengan wiron berbentuk kadal menek. Bagian kaki sepatu pantovel dan kaos kaki.

(3) Busana Bagelenan Keprajuritan yaitu busana yang dipakai oleh pasukan (prajurit) untuk acara ceremonial (upacara) di kabupaten Purworejo, pada hari- hari istimewa dan bila dibutuhkan, yaitu busana Prajuritan Jayengan. Bagi kaum wanita mengenakan kebaya kartinian, semekan dengan ditutup kebaya, kebaya landing, kebaya dengan kutu baru. Sedangkan bagian bawah mengenakan kain batik panjang berwiron dengan seret ditampakkan. Penutup kaki memakai selop berhak tinggi atau pendek. Kain batik yang digunakan adalah batik Banyuuripan, Grabag dan lain yang khas Purworejo.

Menelusuri Trah Kanjeng Kyai Somongari

Nyai Siti Dariyah Binti Kyai Sumo Marto Somongari


Begitu banyak kisah sejarah Beliau yang belum saya peroleh untuk kelengkapan risalah kecil ini, Insya Allah pada kesempatan selanjutnya akan saya upayakan kelengkapannya, matur nuwun.Adalah Eyang Putri kami, Nyai Siti Dariyah Binti Kyai Sumo Marto Kyai Ageng Somongari. Eyang Putri Nyai Siti Dariyah dilahirkan di Desa Somongari.

Singkat cerita, bersama kedua orang-tua dan keluarganya mengungsi ke Batavia kemudian bermukim di Pring Sewu Lampung untuk menghindari kejaran pasukan Belanda yang memburu Kyai Sumo Marto. Selanjutnya, Eyang Putri Nyai Siti Dariyah menikah dengan seorang perwira penerbang bernama Raden Mas Mohammad Samiyo dan menetap di daerah Pring Sewu, Lampung. Dari pernikahan dengan Raden Mas Mohammad Samiyo ini terlahir Raden Mas Mohammad Slamet Samiyo.


Namun, dalam suatu ekspedisi penyerangan dengan pesawat terbang melawan tentara Jepang di Palembang, pesawat yang digunakan Raden Mas Mohammad Samiyo terkena tembakan artileri Jepang hingga meledak dan jatuh di Sungai Musi, Palembang. Sehingga sampai saat ini, Raden Mas Mohammad Samiyo tidak ada makamnya, dan Beliau telah gugur sebagai kusuma bangsa meskipun menjadi pahlawan tak dikenal. Raden Mas Mohammad Slamet Samiyo berketurunan lima orang putri dan menetap hingga akhir hayatnya di Kampung Sawah, Bandar Lampung.

Kemudian, Eyang Putri Nyai Siti Dariyah yang menjadi perawat para pejuang bertemu dengan seorang perwira muda Brigade VII dibawah komando Sri Sulthan HB-IX yang ditugaskan ke Lampung untuk melawan ekspansi Jepang, bernama Raden Mas Hasan Midaryo Bin Raden Mas Karto Sentono dari Klero Prambanan, Sleman, Jogjakarta.

Singkat kisah, Eyang Putri Nyai Siti Dariyah kemudian dipinang Raden Mas Hasan Midaryo serta diboyong untuk menetap di Jogjakarta, dan menetap di Kalasan, Sleman, Jogjakarta hingga akhitr hayat beliau. Dari suami kedua inilah terlahir, antara lain :
(1) RA. Sri Mulyatmi, berketurunan dua orang putera. Menetap di Gedong Kuning, Bantul, Jogjakarta.
(2) RA. Istiningsih, berketurunan lima anak, tiga putra dan dua putri. Menetap di Wates, Kulon Progo, Jogjakarta.
(3) RM. Isdiyanto, berketurunan seorang putri. Menetap di Sleman, Jogjakarta.
(4) RM. Ikhsan Wirun Wiranto, berketurunan lima orang anak, tiga putera dan dua puteri. Menetap di Metro, Lampung.


Adapun silsilah Eyang Putri Nyai Siti Dariyah, antara lain :
Nyai Siti Dariyah
Binti
Kanjeng Kyai Muhammad Sumo Marto
Sedha ing Pring Sewu Lampung lajeng dipun puter giling makamipun ing Sasanalaya Ki Ageng Sumongari saking karsa mufakat para sanak kaluwarganipun ing Sumongari.
Bin
Kanjeng Kyai Muhammad Sumo Citro, Kanjeng Raden Mas Sumo Citro Ing Sumongari Lurah III ing Kemanukan [1876 – 1880] atas dukungan Kanjeng Wedana Cangkrep Raden Mas Sutonegoro.

Bin

Kanjeng Raden Mas Suto Semito Lurah II ing Kemanukan [1869-1876]
Bin
Kanjeng Raden Mas Sastro Suwongso Lurah I Ing Kemanukan Sumongari [1863-1869] Kanjeng Kyai Demang Ngaran Wongso Negoro Ing Sawo Jajar Patih Kabupaten Purworejo pendamping Bupati Cokronegoro I sumare ing Kayu Lawang Purworejo.
Bin
Kanjeng Kyai Imam Ahmad Darso Ing Pedukuhan Tanjung Anom.
Bin
Kanjeng Kyai Imam Ahmad Purbo Kusumo Ing Sumongari
Bin
Kanjeng Kyai Ageng Sumongari Kedhana Kedhini Ing Sumongari
Bin
Kanjeng Kyai Imam As’ngari Mentosoro Ing Tanjung Anom
Bin
Kanjeng Pangeran Ahmad As’ngari Nila Sraba Ing Bagelen
Bin

Kanjeng Sunan Geseng Kyai Ageng Abdurrahman As’ngari Cokro Joyo Ing Jolo Sutro, Piyungan, Bantul [1525]
Bin
Kanjeng Panembahan Maulana Husein As’ngari Ing Wono Joyo [1521]
Bin
Kanjeng Pangeran Maulana Wahdi As’ngari Wirantoko
Bin
Kanjeng Pangeran Maulana Hasan As’ngari Ing Karto Suro
Bin
Kanjeng Panembahan Maulana Ahmad As’ngari ing Demak
Bin
Kanjeng Syaikhuna Maulana Muhammad
Bin
Kanjeng Syaikhuna Maulana Husein

Bin
Kanjeng Syaikhuna Maulana Askib

Bin
Kanjeng Syaikhuna Maulana Muhammad Wahid

Bin
Kanjeng Syaikhuna Maulana Hasan

Bin
Kanjeng Syaikhuna Maulana Asir

Bin
Kanjeng Syaikhuna Maulana ‘Alawi

Bin
Kanjeng Syaikhuna Maulana Ahmad

Bin
Kanjeng Syaikhuna Maulana Musarir

Bin
Kanjeng Syaikhuna Maulana Jazar

Bin
Kanjeng Syaikhuna Maulana Musa

Bin
Kanjeng Syaikhuna Maulana Hajar

Bin
Kanjeng Sayyidina Al Imam Ja’far Ash-Shoddiq Radhiyallahu ‘Anhu

Bin
Kanjeng Sayyidina Al Imam Muhammad Al Baqir Radhiyallahu ‘Anhu

Bin
Kanjeng Sayyidina Al Imam Ali Zainal Abidin Al Madani Radhiyallahu ‘Anhu

Bin
Kanjeng Sayyidina Al Imam Hussain Radhiyallahu ‘Anhu

Bin
Kanjeng Sayyidina Al Imam Ali Murtadho Karamallahu Wajhah Radhiyallahu ‘Anhu

Bin
Abi Thalib

Bin
Syaibah Abdul Muthalib

Bin
Amr Hasyim

Bin
Abdu Manaf Al-Mughirah
Bin
Zaid Qushay
Bin
Kilab
Bin
Murrah
Bin
Ka'b
Bin
Lu'ay
Bin
Gha­lib
Bin
Fihr Al Quraisy
Bin Malik
Bin
Qais An-Nadhr
Bin
Kinanah
Bin
Khuzaimah
Bin
Amir Mudrikah
Bin
Ilyas
Bin
Mudhar
Bin
Nizar
Bin
Ma'ad
Bin
Adnan
Bin
Add
Bin
Humaisi'
Bin
Salaman
Bin
Aush
Bin Bauz
Bin
Qimwal
Bin
Ubay
Bin
Awwam
Bin
Nasyid
Bin
Haza
Bin
Baldas
Bin
Yadlaf
Bin
Tha­bikh
Bin
Jahim
Bin
Nahisy
Bin
Makhy
Bin
Aidh
Bin
Abqar
Bin
Ubaid
Bin
Ad-Da'a
Bin
Harridan
Bin
Sinbar
Bin
Yatsriby
Bin
Yahzan
Bin
Yalhan
Bin
Ar'awy
Bin
Aidh
Bin
Daisyan
Bin
Aishar
Bin
Afnad
Bin
Aiham
Bin
Muqshir
Bin
Nahits
Bin
Zarih
Bin
Sumay
Bin
Muzay
Bin
Iwadhah
Bin
Aram
Bin
Qaidar
Bin
Isma'il Nabiyullah Allaihis Salam
Bin
Ibrahim Nabiyullah Allaihis salam
Bin
Azar Tarih
Bin
Nahur
Bin
Sarugh
Bin
Ra'u
Bin
Falakh
Bin
Aibar
Bin
Syalakh
Bin
Arfakhsyad
Bin
Sam
Bin
Nuh Nabiyullah Alaihis Salam
Bin
Lamk
Bin
Mutwashyalakh
Bin
Akhnukh ldris Nabiyullah Alaihis Salam
Bin
Yard
Bin
Mahla'il
Bin
Qainan
Bin
Yanisya
Bin
Syiits
Bin
Adam Nabiyullah Khalifatullah fil ardha allaihis salam..

Allaahummaghfirlaha warhamha wa 'aafiha wa'fu anha wa akrimu nuzulaha wawassi' madkha laha wataqabbal hasanaa taha wa lil muslimin wal muslimat wal mu'minin wal mu'minat min awwal tarikh Islamiyyah illaa akhiruz zaman wa bijahin Nabiyuka Muhammad Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasalam Birahmatika Ya Allahu Ya Rabbana Yaa Arhamar Rahimiin..

Al Fatihah..


Penutup

Sebenarnya makna apa yang terkandung dalam ritual Saparan yang telah berjalan puluhan bahkan ratusan tahun silam di Somongari ini? Dengan keterbatasan sumber informasi, data, dokumentasi maupun akses narasumber, saya mencoba menelusuri jejak sejarah Kyai Ageng Somongari. Hal ini bermula rasa keingin-tahuan mengetahui kisah sejarah hidup dan mengenal silsilah leluhur eyang putri saya, yakni Nyai Siti Dariyah Binti Kyai Sumo Marto yang berasal dari Somongari.

Bagaimanapun, ritual budaya pada dasarnya sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, Gusti Allah Azza Wa jalla yang telah memberikan rezeki berlimpah atas panen hasil bumi Somongari. Seraya memohon keselamatan dari mara bahaya, serta rezeki yang lebih di tahun selanjutnya.

Filsafat yang terkandung dalam tradisi Saparan dan Jolenan yang lebih penting sebagai pesan moral para Leluhur Somongari kepada generasi penerusnya kini dan mendatang, tentang pesan aja lalen atau jangan lupa pada Tuhan, menjaga kelestarian alam dan merawat kerukunan hidup bermasyarakat. Serta, peringatan Haul Kyai Kedana-Kedini yang bertepatan pada hari Selasa, pasaran Wage, bulan Sapar pada penanggalan Jawa setiap dua tahun sekali sebagai sarana silaturahim dalam doa bersama pada saat Kenduri Agung.

Akhir kata, saya menyadari banyak sekali kekuarangan dan keterbatasan materi risalah ini, untuk itu saya mohon maaf serta maklum adanya. Atas dukungan informasi, data ataupun dokumentasi berkaitan dengan sejarah Kyai Ageng Somongari, Kyai Kedana Kedini, Nyai Siti Dariyah, saya haturkan banyak terima-kasih.

Lima papat punjul enem, menawi lepat nyuwun ngapunten, matur nuwun.



Bumi Rawa Gedhe Tambun, 7 February 2010

Dipun klumpukaken dening Ismu Daly.

email: www.nogotopo@yahoo.com

[Disarikan dari berbagai sumber dan nara sumber]


Acuan Historigrafi Trah Wongsopati


KRONOLOGI TRAH WONGSOPATI DALAM BABAD MATARAM


Abad XVI

1521, Kanjeng Pangeran Hadipati Unus Sabrang Lor-I atau Sulthan Demak II Maulana Alam akbar At-Tsany Maulana Abdul Qadir Al Idrus Bin Pangeran Muhammad Yunus Al Idrus wafat di Pulau Besar Malaka [Selangor, Malaysia kini] sebagai Musyahid dan dipusarakan di Pasareyan Demak Bintoro.

1528, Kanjeng Pangeran Sabrang Lor-II Pangeran Haryo Pamungkas Bin Maulana Abdul Qadir Al Idrus wafat dan dipusarakan di Sabrang Lor atau Pulau Besar, Selangor, Malaysia.

1558, Ki Ageng Pemanahan dihadiahi wilayah Mataram oleh Sultan Pajang Hadi Wijaya atas jasanya mengalahkan Arya Penangsang.

1565, Kanjeng Panembahan Jogorogo Pangeran Tejo Kusumo Bin Pangeran Haryo Pamungkas wafat dan dipusarakan di Pasareyan Panembahan Jogorogo.

1577, Ki Ageng Pemanahan membangun istananya di Pasar Gede atau Kota Gede.

1584, Ki Ageng Pemanahan meninggal. Sultan Pajang mengangkat Danang Suta Wijaya atau Panembahan Senopati, putra Ki Ageng Pemanahan sebagai penguasa baru di Mataram, bergelar "Ngabehi Loring Pasar" (karena rumahnya di utara pasar).

1587, Pasukan kasultanan Pajang yang akan menyerbu Mataram porak-poranda diterjang badai letusan Gunung Merapi. Sutawijaya dan pasukannya selamat.

1588, Mataram menjadi kerajaan baru di Jawa dengan Danang Suta Wijaya atau Panembahan Senopati sebagai Sultan Mataram, bergelar "Senapati Ingalaga Sayidin Panatagama" artinya Panglima Perang dan Ulama Pengatur Kehidupan Beragama.


Abad XVII

1600, Kyai Ageng Karang Lo ing Taji Bin Kanjeng Gusti Pangeran Mas Tedjo Kusumo ing Jogorogo wafat dan dimakamkan di Sasanalaya Taji Prambanan.

1645, Kanjeng Adipati Tohpati ing Tulung Bin Kyai Ageng Karang Lo ing Taji wafat dan dimakamkan di Sasanalaya Taji Prambanan.

1601, Panembahan Senopati wafat dan digantikan putranya,Raden Mas Jolang yang bergelar Panembahan Hanyakrawati dan kemudian dikenal sebagai "Panembahan Seda ing Krapyak" karena wafat saat berburu (jawa: krapyak).

1613, Mas Jolang wafat, kemudian digantikan oleh putranya, yakni Pangeran Aryo Martopuro. Karena sering sakit, kemudian digantikan oleh kakaknya, yakni Raden Mas Rangsang. Gelar pertama yang digunakan adalah Panembahan Hanyakrakusuma atau "Prabu Pandita Hanyakrakusuma". Setelah Menaklukkan Madura beliau menggunakan gelar "Susuhunan Hanyakrakusuma". Terakhir setelah 1640-an beliau menggunakan gelar bergelar "Sultan Agung Senapati Ingalaga Abdurrahman"

1645, Sultan Agung wafat dan digantikan putranya Susuhunan Amangkurat I.

1645, Kanjeng Hadipati Tohpati Bin Kyai Ageng Karang Lo Pangeran Wiro Wongso wafat dan dipusarakan di Pasareyan Tulung Prambanan.

1645-1677, Pertentangan dan perpecahan dalam keluarga kerajaan Mataram, yang dimanfaatkan oleh VOC.

1677, Trunajaya merangsek menuju Ibukota Pleret. Susuhunan Amangkurat I mangkat. Putra Mahkota dilantik menjadi Susuhunan Amangkurat II di pengasingan. Pangeran Puger yang diserahi tanggung jawab atas ibukota Pleret mulai memerintah dengan gelar Susuhunan Ing Ngalaga.

1680, Susuhunan Amangkurat II memindahkan ibukota ke Kartasura.

1680, Kanjeng Kyai Panembahan Wongsopati Bin Adipati Tohpati ing Tulung wafat dan dimakamkan di Sasanalaya Kyai Panembahan Wongsopati di Klero Prambanan.

1681, Pangeran Puger diturunkan dari tahta Pleret.


Abad XVIII

1703, Susuhunan Amangkurat III wafat. Putra mahkota diangkat menjadi Susuhunan Amangkurat III.

1704, Dengan bantuan VOC, Pangeran Puger ditahtakan sebagai Susuhunan Paku Buwono I. Awal Perang Tahta I pada kurun waktu 1704-1708. Susuhunan Amangkurat III membentuk pemerintahan pengasingan.

1708, Susuhunan Amangkurat III ditangkap dan dibuang ke Srilanka sampai wafatnya pada 1734.

1709, Kanjeng Panembahan Reksopati Bin Panembahan Wongsopati wafat dan dimakamkan di Pralaya Klero Prambanan.

1719, Susuhunan Paku Buwono I meninggal dan digantikan putra mahkota dengan gelar Susuhunan Amangkurat IV atau Prabu Mangkurat Jawa. Awal Perang Tahta II pada kurun waktu 1719-1723.

1726, Susuhunan Amangkurat IV meninggal dan digantikan Putra Mahkota yang bergelar Susuhunan Paku Buwono II.

1740, Kanjeng Kyai Suto Menggolo Bin Panembahan Reksopati wafat dan dimakamkan di Sasanalaya Kyai Panembahan Wongsopati di Klero Prambanan.

1742, Ibukota Kartasura dikuasai pemberontak. Susuhunan Paku Buwana II berada dalam pengasingan.

1743, Dengan bantuan VOC Ibukota Kartasura berhasil direbut dari tangan pemberontak dengan keadaan luluh lantak. Sebuah perjanjian sangat berat (menggadaikan kedaulatan Mataram kepada VOC selama belum dapat melunasi hutang biaya perang) bagi Mataram dibuat oleh Susuhunan Paku Buwono II sebagai imbalan atas bantuan VOC.

1745, Susuhunan Paku Buwana II membangun ibukota baru di desa Sala di tepian Bengawan Beton.

1746, Susuhunan Paku Buwana II secara resmi menempati ibukota baru yang dinamai Surakarta. Konflik Istana menyebabkan saudara Susuhunan, Pangeran Mangkubumi, meninggalkan istana. Meletus Perang Tahta III yang berlangsung lebih dari 10 tahun, antara kurun waktu 1746-1757 dan mencabik Kerajaan Mataram menjadi dua Kerajaan besar dan satu kerajaan kecil.

1749 :

11 Desember 1748, Susuhunan Paku Buwono II menandatangani penyerahan kedaulatan Mataram kepada VOC. Namun secara de facto Mataram baru dapat ditundukkan sepenuhnya pada 1752, Mangkubumi berhasil menggerakkan pemberontakan di provinsi-provinsi Pasisiran (daerah pantura Jawa) mulai dari Banten sampai Madura. Terjadi Perpecahan antara Pangeran Mangkubumi dengan Raden Mas Said atau Pangeran Samber Nyawa.

1749 :

12 Desember 1749, Pangeran Mangkubumi diangkat sebagai raja Mataram oleh pengikutnya dan para bangsawan senior dari Surakarta dengan gelar Susuhunan Paku Buwono Senopati Ingalaga Ngabdurahman Sayidin Panatagama.

1750, Raden Mas Said yang bergelar Mangku Negara-I yang telah menjadi perdana menteri Pangeran Mangkubumi menggempur Surakarta.

1752, Mangkubumi berhasil menggerakkan pemberontakan di provinsi-provinsi Pasisiran (daerah pantura Jawa) mulai dari Banten sampai Madura. Perpecahan antara kubu Pangeran Mangkubumi dan Raden Mas Said.

1754 :

Nicolas Hartingh menyerukan gencatan senjata dan perdamaian.

23 September 1754, Nota Kesepahaman Mangkubumi-Hartingh.

4 November 1754, PB III meratifikasi nota kesepahaman. Batavia walau keberatan tidak punya pilihan lain selain meratifikasi nota yang sama.

1755 :

13 Februari 1755, Puncak perpecahan terjadi, ditandai dengan Perjanjian Giyanti yang membagi Kerajaan Mataram menjadi dua, yaitu : Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta. Pangeran Mangkubumi menjadi Sultan atas Kasultanan Yogyakarta dengan gelar "Ingkang Sinuwun Kangjeng Sultan Hamengku Buwono Senopati Ing-Ngalaga Ngabdurakhman Sayidin Panatagama Khalifatullah" atau lebih populer dengan gelar Sri Sultan Hamengku Buwana-I.

13 Februari 1755, Perjanjian Palihan Nagari di desa Giyanti. Pangeran Mangkubumi mengambil gelar baru: Sampeyan Ingkang Ndalem Sinuwun Sultan Hamengku Buwono Senopati Ing-Ngalaga Ngabdurahman Sayidin Panatagama Khalifatullah. Yudonegoro, Gubernur Banyumas, menjadi Pepatih Dalem Danurejo I.

1757, Perpecahan kembali melanda Mataram. Raden Mas Said diangkat sebagai penguasa atas sebuah kepangeranan, Praja Mangkunegaran yang terlepas dari Kesunanan Surakarta dengan gelar "Kangjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangku Nagara Senopati Ing Ayudha".

1756 :

7 Oktober 1756, Sultan Hamengku Buwana-I menempati istana barunya yang diberi nama Ngayogyakarta Hadiningrat.

1773, Angger Aru-biru yang menjadi acuan dalam peradilan yang pertama disahkan.

1774, Putra mahkota (kelak Hamengku Buwana-II) menulis buku Serat Raja Surya yang kemudian menjadi pusaka.

1775, Kanjeng Kyai Suto Wirono Bin Kyai Suto Menggolo wafat dan dimakamkan di Sasanalaya Trah Panembahan Wongsopati Klero, Prambanan.

1785, Perbentengan besar bergaya di sekeliling istana dibangun secara mendadak dan diselesikan dalam 2 tahun.

1788, Susuhunan Paku Buwono III mangkat.

1792, Sultan Hamengku Buwono I wafat. Sultan HB-II berusaha mengabaikan kontrol politik VOC di Yogyakarta.

1795, KGPAA Mangku Nagara I meninggal.

1799, VOC dibubarkan

1799, Danurejo I wafat dan diganti cucunya dengan gelar Danurejo II.


Abad XIX

1805, Kanjeng Kyai Bongso Wirono Bin Kyai Suto Wirono wafat dan dimakamkan di Sasanalaya Trah Panembahan Wongsopati Klero, Prambanan.

1808 :

28 Juli 1808, Daendels mengeluarkan peraturan baru tentang penggantian residen dengan minister dan perubahan kedudukannya yang sejajar dengan Sultan dan Sunan.

1810 :

Awal prahara politik Yogyakarta yang akan berlangsung sampai 1830. HB II menolak mentah-mentah kebijakan Daendels mengenai perubahan kedudukan minister. Danurejo II dipecat dan digantikan oleh Notodiningrat (PA II). Atas tekanan Daendels Danurejo II mendapatkan kembali kedudukannya.

31 Desember 1810, Daendels memberhentikan HB II dengan kekuatan militer dan mengangkat putra mahkota menjadi HB III serta merampas kekayaan istana.

1811, Daendels menghapus uang sewa pesisir yang menjadi pemasukan keuangan negara.

September/Oktober 1811, HB II merebut kembali tahtanya. HB III dikembalikan dalam posisi putra mahkota. Oktober Danurejo II dibunuh di istana. Sindunegoro (Danurejo III) menjadi Pepatih Dalem.

1812 :

18 Juli 1812 - 20 Juli 1812, Kolonel Gillespie memimpin pasukan Inggris menyerang Yogyakarta. HB II dimakzulkan dan dibuang ke Penang (wilayah Malaysia sekarang). 1 Agustus, HB III menandatangani perubahan pemerintahan dan demiliterisasi birokrasi kerajaan.

1813 :

13 Maret 1813, Notokusumo diangkat menjadi Kangjeng Gusti Pangeran Adipati Paku Alam yang mengepalai sebuah principality yang terlepas dari Yogyakarta. Sindunegoro diganti oleh Bupati Jipan yang bergelar Danurejo IV. Perpecahan kembali melanda Mataram. Pangeran Nata Kusuma diangkat sebagai penguasa atas sebuah kepangeranan, Kadipaten Paku Alaman yang terlepas dari Kesultanan Yogyakarta dengan gelar "Kangjeng Gusti Pangeran Adipati Paku Alam".

1814, Sultan HB III wafat, putra mahkota yang masih berusia 9/10 tahun diangkat menjadi HB IV. PA I yang tidak disukai oleh istana ditunjuk Inggris menjadi wali sampai 1821.

1816, Inggris menyerahkan kembali daerah jajahan kepada Hindia Belanda.

1817 :

6 Oktober 1817, Kitab Angger-angger sebagai Kitab Undang-undang Hukum (KUH) ditetapkan bersama Yogyakarta dan Surakarta.

1823, HB IV dibunuh oleh seorang agen Belanda. Putra mahkota yang masih berusia 3(4) diangkat menjadi HB V. Sebuah dewan perwalian yang terdiri atas Ibu Suri, Nenek Suri, P. Mangkubumi, P Diponegoro dan Danurejo IV dibentuk.

1825, Belanda menyerang kediaman P Diponegoro mengawali perang Jawa 1825-1830. Banyak bangsawan Yogyakarta mendukung P Diponegoro.

1826, HB II dipulangkan dari Ambon untuk meredakan perang namun tidak membawa hasil.

1828, HB II wafat, HB V kembali diangkat di bawah dewan perwalian baru. Kasultanan pada tahun 1830 (berwarna hijau dan berada di sebelah selatan)

1830 :

Masa Akhir perang Diponegoro. Seluruh daerah Manca nagara Yogyakarta dan Surakarta dirampas Belanda sebagai pertanggungjawaban atas terjadinya Perang Jawa.

27 September 1830, Perjanjian Klaten menentukan tapal yang tetap antara Surakarta dan Yogyakarta dan membagi secara permanen Kerajaan Mataram ditandatangani oleh Sasradiningrat, Pepatih Dalem Surakarta, dan Danurejo, Pepatih Dalem Yogyakarta. Mataram secara de facto dan de yure dikuasai oleh Hindia Belanda.

24 Oktober 1830, HB V meratifikasi Perjanjian Klaten.

12 Desember 1830, Di Yogyakarta, P. Mangkubumi diproklamirkan sebagai Susuhunan Paku Buwono oleh para pengikutnya.

15 Desember 1830, Van Hohendorff mengumumkan Putra Mahkota sebagai Susuhunan Paku Buwono III.

1831 :

11 Juni 1831, Perubahan struktur peradilan Kesultanan Yogyakarta.

1840, Kyai Djoyo Wirono Bin Kyai Bongso Wirono wafat dan dimakamkan di Sasanalaya Trah Panembahan Wongsopati Klero, Prambanan.

1848, Peraturan yang mengharuskan Sultan memenuhi kebutuhan kayu keras pemerintah jajahan di tetapkan.

1855, HB V wafat. Adiknya diangkat menjadi HB VI.

1868, Gempa besar menghancurkan bangunan penting. 1877, Kanjeng Ngarsa dalem Sri Sulthan HB VI wafat digantikan putranya HB VII.

1883, Seorang pangeran dari Yogyakarta berupaya memberontak dan gagal.

1885, Kyai Wirono Redjo Bin Kyai Djoyo Wirono wafat dan dimakamkan di Sasanalaya Trah Panembahan Wongsopati Klero, Prambanan.


Abad XX

1904, Hindia Belanda mengambil alih penguasaan dan pengelolaan atas hutan di wilayah Kesultanan.

1908 :

20 Mei 1908, Budi Utomo didirikan oleh Mas Ngabehi Wahidin Sudirohusodo, seorang pegawai kesehatan.

1912 :

18 November 1912, Muhammadiyah didirikan oleh Mas Ketib Amin Haji Ahmad Dahlan, seorang Imam Kerajaan.

1915, APBN Kesultanan Yogyakarta mulai dipisah menjadi dua APBN.

1916, Pengadilan Bale Mangu dihapus oleh Hindia Belanda.

1917, Pengadilan Pradoto dihapus oleh Hindia Belanda.

1918, Perubahan hak atas tanah di wilayah Kesultanan.

1921, Sultan HB VIII bertahta. Kesultanan Yogyakarta memiliki dua APBN.

1921, RM. Bagus Ahmad Saniyo Bin Kyai Karto Sentono lahir di Klero, Prambanan.

1922, Taman Siswa didirikan oleh Ki Hajar Dewantara, seorang kerabat Paku Alaman.

1933 :

30 November 1933, Danurejo VIII dilantik menggantikan Danurejo VII.

1940 :

18 Maret 1940, Sultan HB IX menandatangani Kontrak Politik terakhir dengan Hindia Belanda.

1942 :

7 Maret 1942, Jepang datang ke wilayah Jogjakarta.

1 Agustus 1942, Sultan HB IX diangkat menjadi Koo atas Yogyakarta Kooti.

1943, Sultan membentuk Paniradya untuk mengurangi kekuasaan Pepatih Dalem.

1945 :

15 Juli 1945, Danurejo VIII diberhetikan karena pensiun.

1 Agustus 1945, Restorasi Hamengku Buwana-IX.

5 September 1945, Kesultanan Yogyakarta berintegrasi dengan Indonesia.

30 Oktober 1945, Hamengku Buwana-IX dan Paku Alam-VIII menyerahkan kekuasaan legeslatif kepada BP KNID Yogyakarta.

1946 :

4 Januari 1946, kedudukan Pemerintah Indonesia dipindah ke Yogyakarta atas jaminan kesultanan.

18 Mei 1946, Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta oleh Kesultanan dan Paku Alaman.

1947, Pengadilan Prajaksa Darah Dalem dihapus oleh Pemerintah Indonesia.

1950 :

4 Maret 1950, Daerah Kesultanan Yogyakarta dan Daerah Paku Alaman ditetapkan menjadi Daerah Istimewa Yogyakarta, sebuah daerah berotonomi khusus setingkat provinsi, dan mulai berlaku pada 15 Agustus 1950.

1965 :

1 September 1965, Daerah Istimewa Yogyakarta dijadikan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.

1988, Kanjeng Ngarsa Dalem Sri Sulthan Hamengku Buwana-IX wafat.

2004, RM. Bagus Ahmad Saniyo atau KRT. Hasan Midaryo wafat di Ndalem Kalasan dan dimakamkan di Sasanalaya Trah Panembahan Wongsopati Klero, Prambanan, Sleman, Jogjakarta.


[sumber dikait-kaitkan dari wikipedia dan lain-lain]