Jujur, Jajar lan Jejer Manembah Gusti Ilahi

Duk Djaman Semono, Kandjeng Edjang Boeyoet Ing Klero nate paring wewarah,".. Djoedjoer Lahir Bathin Berboedi Bowo Leksono Adedhasar Loehoering Agomo, Djedjer Welas Asih Sasamoning Titah Adedhasar Jiwo Kaoetaman Lan Roso Kamanoengsan, Lan Djadjar Manoenggal Wajibing Patrap Bebrayan Agoeng Adedhasar Endahing Tepo Salira Manembah Ngarsaning Goesti Allah Ingkang Moho Toenggal, Ngrenggo Tjiptaning Koesoema Djati Rila Adedharma Mrih Loehoering Bongso, Agomo, Boedoyo, Lan Sasamining Titahing Gesang Ing Ngalam Donya, Ikoe Lakoening Moekmin Sadjati.." [Wewaler KRT. Hasan Midaryo,1999]

Rabu, 25 Agustus 2010

Makam Kyai Guru Asy'ari Kaliwungu Kendal



Makam Sunan Katong Kaliwungu Kendal





Raden Bhatoro Katong


Mubaligh Islam Pertama di Ponorogo

Raden Katong, yang kemudian lazim disebut Batoro Katong, bagi masyarakat Ponorogo mungkin bukan sekedar figur sejarah semata. Hal ini terutama terjadi di kalangan santri yang meyakini bahwa Batoro Katong-lah penguasa pertama Ponorogo, sekaligus pelopor penyebaran agama Islam di Ponorogo.

Batoro Katong, memiliki nama asli Lembu Kanigoro, tidak lain adalah salah seorang putra Prabu Brawijaya V dari selir yakni Putri Campa yang beragama Islam. Mulai redupnya kekuasaan Majapahit, saat kakak tertuanya, Lembu Kenongo yang berganti nama sebagai Raden Fatah, mendirikan kesultanan Demak Bintoro.

Lembu Kanigoro mengikut jejaknya, untuk berguru di bawah bimbingan Wali Songo di Demak. Prabu Brawijaya V yang pada masa hidupnya berusaha di-Islamkan oleh Wali Songo, para Wali Islam tersebut membujuk Prabu Brawijaya V dengan menawarkan seorang Putri Campa yang beragama Islam untuk menjadi Istrinya.


Berdasarkan catatan sejarah keturunan generasi ke-126 beliau yaitu Ki Padmosusastro, disebutkan bahwa Batoro Katong dimasa kecilnya bernama Raden Joko Piturun atau disebut juga Raden Harak Kali. Beliau adalah salah seorang putra Prabu Brawijaya V dari garwo pangrambe (selir yang tinggi kedudukannya).

Walaupun kemudian Prabu Brawijaya sendiri gagal untuk di-Islamkan, tetapi perkawinannya dengan putri Cempa mengakibatkan meruncingnya konflik politik di Majapahit. Diperistrinya putri Cempa oleh Prabu Brawijaya V memunculkan reaksi protes dari elit istana yang lain. Sebagaimana dilakukan oleh seorang punggawanya bernama Pujangga Anom Ketut Suryongalam. Seorang penganut Hindu, yang berasal dari Bali.

Tokoh yang terakhir ini, kemudian desersi untuk keluar dari Majapahit, dan membangun peradaban baru di tenggara Gunung Lawu sampai lereng barat Gunung Wilis, yang kemudian dikenal dengan nama Wengker (atau Ponorogo saat ini). Ki Ageng Ketut Suryangalam ini kemudian di kenal sebagai Ki Ageng Kutu atau Demang Kutu. Dan daerah yang menjadi tempat tinggal Ki Ageng Kutu ini dinamakan Kutu, kini merupakan daerah yang terdiri dari beberapa desa di wilayah Kecamatan Jetis.

Ki Ageng Kutu-lah yang kemudian menciptakan sebuah seni Barongan, yang kemudian disebut REOG. Dan reog tidak lain merupakan artikulasi kritik simbolik Ki Ageng Kutu terhadap raja Majapahit (disimbolkan dengan kepala harimau), yang ditundukkan dengan rayuan seorang perempuan/Putri Campa (disimbolkan dengan dadak merak).

Dan Ki Ageng Kutu sendiri disimbolkan sebagai Pujangga Anom atau sering di sebut sebagai Bujang Ganong, yang bijaksana walaupun berwajah buruk.


Pada akhirnya, upaya Ki Ageng Kutu untuk memperkuat basis di Ponorogo inilah yang pada masa selanjutnya dianggap sebagai ancaman oleh kekuasaan Majapahit. Dan selanjutnya pandangan yang sama dimiliki juga dengan kasultanan Demak, yang nota bene sebagai penerus kejayaan Majapahit walaupun dengan warna Islamnya.

Sunan Kalijaga, bersama muridnya Kiai Muslim (atau Ki Ageng Mirah) mencoba melakukan investigasi terhadap keadaan Ponorogo, dan mencermati kekuatan-kekuatan yang paling berpengaruh di Ponorogo. Dan mereka menemukan Demang Kutu sebagai penguasa paling berpengaruh saat itu.


Demi kepentingan ekspansi kekuasaan dan Islamisasi, penguasa Demak mengirimkan seorang putra terbaiknya, yakni yang kemudian dikenal luas dengan Batoro Katong dengan salah seorang santrinya bernama Selo Aji dan diikuti oleh 40 orang santri senior yang lain.

Raden Katong akhirnya sampai di wilayah Wengker, lalu kemudian memilih tempat yang memenuhi syarat untuk pemukiman, yaitu di Dusun Plampitan, Kelurahan Setono, Kecamatan Jenangan. Saat Batoro Katong datang memasuki Ponorogo, kebanyakan masyarakat Ponorogo adalah penganut Budha, animisme dan dinamisme.

Singkat cerita, terjadilah pertarungan antara Batoro Katong dengan Ki Ageng Kutu. Ditengah kondisi yang sama sama kuat, Batoro Katong kehabisan akal untuk menundukkan Ki Ageng Kutu. Kemudian dengan akal cerdasnya Batoro Katong berusaha mendekati putri Ki Ageng Kutu yang bernama Niken Gandini, dengan di iming-imingi akan dijadikan istri.

Kemudian Niken Gandini inilah yang dimanfaatkan Batoro Katong untuk mengambil pusaka Koro Welang, sebuah pusaka pamungkas dari Ki Ageng Kutu. Pertempuran berlanjut dan Ki Ageng Kutu menghilang, pada hari Jumat Wage di sebuah pegunungan di daerah Wringin Anom Sambit Ponorogo. Hari ini oleh para pengikut Kutu dan masyarakat Ponorogo (terutama dari abangan), menganggap hari itu sebagai hari naas-nya Ponorogo.

Tempat menghilangnya Ki Ageng Kutu ini disebut sebagai Gunung Bacin, terletak di daerah Bungkal. Batoro Katong kemudian, mengatakan bahwa Ki Ageng Kutu akan moksa dan terlahir kembali di kemudian hari. Hal ini dimungkinkan dilakukan untuk meredam kemarahan warga atas meninggalnya Ki Ageng Kutu.

Setelah dihilangkannya Ki Ageng Kutu, Batoro Katong mengumpulkan rakyat Ponorogo dan berpidato bahwa dirinya tidak lain adalah Batoro, manusia setengah dewa. Hal ini dilakukan, karena Masyarakat Ponorogo masih mempercayai keberadaan dewa-dewa, dan Batara. Dari pintu inilah Katong kukuh menjadi penguasa Ponorogo, mendirikan istana, dan pusat Kota, dan kemudian melakukan Islamisasi Ponorogo secara perlahan namun pasti.

Pada tahun 1486, hutan dibabat atas perintah Batara Katong, tentu bukannya tanpa rintangan. Banyak gangguan dari berbagai pihak, termasuk makhluk halus yang datang. Namun, karena bantuan warok dan para prajurit Wengker, akhirnya pekerjaan membabat hutan itu lancar.

Lantas, bangunan-bangunan didirikan sehingga kemudian penduduk pun berdatangan. Setelah menjadi sebuah Istana kadipaten, Batara Katong kemudian memboyong permaisurinya, yakni Niken Sulastri, sedang adiknya, Suromenggolo, tetap di tempatnya yakni di Dusun Ngampel.

Oleh Katong, daerah yang baru saja dibangun itu diberi nama Prana Raga yang berasal atau diambil dari sebuah babad legenda "Pramana Raga". Menurut cerita rakyat yang berkembang secara lisan, Pono berarti Wasis, Pinter, Mumpuni dan Raga artinya Jasmani. sehingga kemudian dikenal dengan nama Ponorogo.


Kesenian Reog yang menjadi seni perlawanan masyarakat Ponorogo mulai di eliminasi dari unsur-unsur pemberontakan, dengan menampilkan cerita fiktif tentang Kerajaan Bantar Angin sebagai sejarah reog. Membuat kesenian tandingan, semacam jemblungan dan lain sebagainya. Para punggawa dan anak cucu Batoro Katong, inilah yang kemudian mendirikan pesantren-pesantren sebagai pusat pengembangan agama Islam.

Dalam konteks inilah, keberadaan Islam sebagai sebuah ajaran, kemudian bersilang sengkarut dengan kekuasaan politik. Perluasan agama Islam, membawa dampak secara langsung terhadap perluasan pengaruh, dan berarti juga kekuasaan. Dan Batoro Katong-lah yang menjadi figur yang diidealkan, penguasa sekaligus ulama.

Beliau kemudian dikenal sebagai Adipati Sri Batoro Katong yang membawa kejayaan bagi Ponorogo pada saat itu, ditandai dengan adanya prasasti berupa sepasang batu gilang yang terdapat di depan gapura kelima di kompleks makam Batoro Katong dimana pada batu gilang tersebut tertulis candrasengkala memet berupa gambar manusia, pohon, burung ( Garuda ) dan gajah yang melambangkan angka 1418 aka atau tahun 1496 M.

Batu gilang itu berfungsi sebagai prasasti "Penobatan" yang dianggap suci. Atas dasar bukti peninggalan benda-benda purbakala tersebut dengan menggunakan referensi Handbook of Oriental History dapat ditemukan hari wisuda Batoro Katong sebagai Adipati Kadipaten Ponorogo, yakni pada hari Ahad Pon Tanggal 1 Bulan Besar, Tahun 1418 saka bertepatan dengan Tanggal 11 Agustus 1496 M atau 1 Dzulhijjah 901 H. Selanjutnya tanggal 11 Agustus ditetapkan sebagai Hari Jadi Kabupaten Ponorogo.

Batoro Katong dikenal memiliki sebuah pusaka tombak bernama Kyai Tunggul Naga. Tombak ini memiliki pamor kudung, tangkainya dari sulur pohon jati dan terdapat ukiran naga, dengan ukuran panjang kira-kira 60 cm.

Ada dua versi tentang asal muasal tombak pusaka tersebut. Yang pertama versi keturunan Demang Kutu Ki Ageng Suryangalam dan versi Babad Ponorogo.

Versi keturunan Demang Kutu, menyebutkan bahwa tombak Kyai Tunggul Naga dulunya milik Ki Ageng Suryangalam yang menjadi demang di Kutu. Dimana, Demang Suryangalam yang sebelumnya pujangga di istana Majapahit pergi meninggalkan istana karena kecewa.

Nasehat-nasehatnya untuk menata negeri Majapahit tidak didengarkan oleh Prabu Kertabhumi. Menjelang runtuhnya kerajaan besar itu, keadaan negeri semrawut, bobrok. Banyak gerakan separatis ingin memisahkan diri dari Majapahit.


Sikap oposan Demang Suryangalam ini membuat Prabu Kertabhumi marah, ia kemudian menyuruh salah seorang puteranya yang bernama Raden Batara Katong untuk menangkap Demang Suryangalam. Setelah berhasil mengalahkan Demang Kutu, Raden Batara Katong kemudian memiliki tombak Kyai Tunggul Naga. Adapun tombak itu aslinya berasal dari Tuban, pusaka Adipati Tuban Ranggalawe. Tombak Kyai Tunggul Naga dikenal sebagai pusaka yang ampuh.

Sedang menurut versi Babad Ponorogo, tombak Kyai Tunggul Naga diperoleh Batara Katong dari hasil bersemadi di sebuah tanah lapang tanpa rumput sehelai pun yang disebut ara-ara. Waktu itu Ponorogo masih disebut Wengker. Raden Batara Katong ditemani oleh Ki Ageng Mirah, Patih Seloaji dan Jayadipa. Dari ara-ara itu didapatkan tombak Kyai Tunggul Naga, payung dan sabuk.

Sampai saat ini, nama Batoro Katong, di abadikan sebagai nama Stadion dan sebuah jalan utama Ponorogo. Batoro Katong-pun selalu di ingat pada peringatan Hari Jadi Ponorogo, tanggal 1 Suro. Pada saat itu, pusaka tumbak Kara Welang di kirab dari makam Batoro Katong di kelurahan Setono, Kota Lama, menuju Pendopo Kabupaten.

Menurut Amrih Widodo (1995), pusaka sebagai artefact budaya memang seringkali diangkat statusnya oleh kekuasaan pemerintah lokal, sebagai totems, suatu yang secara sengaja di keramatkan dan menjadi simbol identitas lokal.


Hal inilah yang menunjukkan Batoro Katong memang tak bisa lepas dari alam bawah sadar masyarakat Ponorogo, dan menjadi simbol masa lalu (sejarah) sekaligus bagian dari masa kini. Batoro Katong bukan sekedar bagian dari realitas masa lalu, namun adalah bagian dari masa kini. Hidup di alam hiperealitas, dan menjadi semacam belief yang boleh emosi, keyakinan, kepercayaan masyarakat.


Mengutip The Penguin Dictionary of Psycology, Niniek L.Karim mendefinisikan belief sebagai penerimaan emosional terhadap suatu proposisi, pernyataan dan doktrin tertentu.


Bagi kalangan tokoh-tokoh muslim tradisional, Batoro Katong tidak lain adalah peletak dasar kekuasaan politik di Ponorogo, dan lebih dari itu seorang pengemban misi dakwah Islam pertama.

Posisinya sebagai penguasa sekaligus ulama pertama Ponorogo inilah yang menjadi menarik untuk dilacak lebih jauh, terutama dalam kaitan membaca wilayah alam bawah sadar yang menggerakkan kultur politik kalangan pesantren, khususnya elit-elitnya (kyai dan para pengasuh pesantren) di Ponorogo.


Alam bawah sadar inilah yang menurut psikolog Freudian, dominan menggerakkan perilaku manusia. Dan alam bawah sadar ini terbentuk dari tumpukan keyakinan, nilai, trauma-trauma yang terjadi dimasa lalu, yang kemudian hidup terus di bawah kesadaran individu dan suatu masyarakat dari waktu ke waktu.

Bagi masyarakat Ponorogo, Batoro Katong adalah tokoh dan penguasa pertama yang paling legendaris dalam masyarakat Ponorogo. Sampai saat ini Batoro Katong adalah simbol kekuasaan politik yang terus dilestarikan oleh penguasa di daerah ini dari waktu ke waktu. Tidak ada penguasa Ponorogo, yang bisa melepaskan dari figur sejarah legendaris ini.

[sunan geseng kediri]

Petilasan Sunan Geseng di Dlingo Bantul

Pohon Jatikluwih Peninggalan Sunan Kali Jaja dan Sunan Geseng

Pohon Jatikluwih terletak di Dusun Loputih, Kalurahan Jatimulyo, Kecamatan Dlingo, Kabupaten Bantul, Propinsi DIY. Keletakan pohon ini berada di tepi jalan beraspal di dusun tersebut.

Sampai kini banyak orang merasa bingung untuk memasukkan jenis tanaman ini ke dalam golongan tanaman kluwih (Artocarpus Altilis) ataukah tanaman jati (Tectona Grandis). Masalahnya secara fisik kayu dari pohon ini lebih dekat ciri-cirinya pada jenis kayu jati.


Sementara daunnya berbentuk menjadi seperti daun tanaman kluwih, namun warna dan aromanya merupakan percampuran antara aroma getah kluwih dan getah daun jati. Lagi pula permukaan daunnya tidak sekasar daun jati. Buah dari pohon ini memang mirip buah pohon jati namun bentuknya lebih lonjong.


Jenis tanaman ini termasuk sangat langka. Pasalnya tidak akan dengan mudah ditemukan di mana pun kecuali di Loputih, Dlingo. Pohon Jatikluwih di Loputih ini diperkiriakan usianya telah lebih dari 100 tahun. Diameter batangnya kurang lebih mencapai 1,5 meter. Sedangkang tingginya sekitar 13 meter. Pohon ini diamankan dengan pagar tembok yang dibuat dengan bentuk persegi mengelilinginya. Tinggi pagar tembok sekitar satu meteran dengan luas sekitar 4 m x 6 m.

Latar Belakang

Tidak ada yang tahu persis, kapan tanaman Jatikluwih ini mulai tumbuh. Hanya saja pohon Jatikluwih ini menurut sumber setempat telah ada sejak zaman Sunan Kalijaga bertemu dan menjadi guru Sunan Geseng (Ki Cakrajaya). Tidak diketahui juga apakah Sunan Kalijaga di sini merupakan Sunan Adilangu I, II, atau III.

Fenomena pohon Jatikluwih ini menurut sumber setempat berasal dari perdebatan antara Sunan Kalijaga dan Sunan Geseng. Dalam cerita itu disebutkan bahwa pada suatu ketika sehabis dari Sendang Banyu Urip keduanya berjalan-jalan di tengah hutan. Dalam perjalanan itu mereka terlibat perbincangan mengenai kesejatian dalam hidup.

Menurut Sunan Kalijaga kesejatian hidup merupakan sesuatu yang penting agar manusia dekat dengan penciptaNya. Sementara itu Sunan Geseng mengatakan bahwa manusia diberi banyak kelebihan (linuwih/keluwihan) agar bisa mencapai kehidupan yang sejati. Hidup yang murni. Suci.

Dua pendapat yang tampaknya berbeda namun mengandung tujuan dan hasrat yang sama ini akhirnya mengakibatkan mereka juga berdebat tentang sebuah pohon yang tampak di kejauhan. Sunan Kalijaga menebak bahwa pohon tersebut adalah pohon jati. Sementara Sunan Geseng menebak bahwa pohon tersebut adalah pohon kluwih.

Dari kata-kata ”jati” dan ”kluwih” inilah kemudian muncul fenomena aneh, pohon yang mereka tunjuk menjadi pohon jati kluwih. Pohon jati bukan, pohon kluwih pun juga bukan.

Barangkali fenomena pohon Jatikluwih ini bisa menjadi bahan penelitian lebih lanjut bagi rekan-rekan dari kehutanan, pertanian, biologi, dan sebagainya. [a. sartono k.]

Perdebatan Sabdo Dadi

Fenomena Pohon Jatikluwih di Desa Jati Mulyo, Kecamatan Dlingo Bantul adalah sebuah pemandangan biasa, saking biasanya masyarakat sekitar tidak mampu mengupas arti sebuah Jati Kluwih dan mempraktikannya secara sederhana dalam kehidupan sehari-hari.

Nah berikut akan coba saya ceritakan sebuah cerita yang memiliki banyak versi ini. Pada suatu ketika Sunan Kalijogo sedang bersama Sunan Geseng muridnya di suatu tempat,(saat ini tempat itu berada di Padukuhan Loputih desa Jatimulyo).
Tampaknya mereka sedang asyik berdialog bahkan berdebat mengenai kesejatian hidup, Sunan Kalijogo berkeras bahwa segala kelinuwihan atau kelebihan itu hendaknya bisa mencapai pada kedirian yg sejati atau kedirian yg diakuiNya, sedangkan Sunan Geseng sang murid tidak mau kalah dengan sang guru, beliau mengatakan bahwa sejatinya manusia itu harus mempunyai kelinuwihan atau kelebihan sehinnga bisa lebih bermanfaat bagi orang banyak.Tanpa sadar saking serunya kedua kekasih Allah itu berdebat.

kemudian menunjuk sebuah pohon di dekatnya dan sunan Kalijogo mengatakan ini pohon Jati sementara itu sunan Geseng mengatakan ini pohon Kluwih maka pohon jati yg ada didekat mereka berubah menjadi pohon jati setengah pohon kluwih. Saat ini panorama tempat ini sudah mulai pudar dan tidak terlihat begitu sakral.

Legenda diatas adalah sebuah pesan moral dari nenek moyang dan mengandung ajaran adiluhung, lantas manakah yg benar diantara kedua sunan tersebut? tentu saja keduanya benar adanya. mari kita bahas pendapat Sunan Kalijogo lebih dahulu.

Sunan Kalijogo berpendapat bahwa segala kelebihan atau kelinuwihan baik itu berupa ilmu, harta, pangkat bahkan kesaktian hendaknya bisa untuk kendaraan mencapai kesejatian sejati atau kesadaran illahi, kesejatian yg sejati adalah diri sejati yg diakui olehNya, bukan oleh sepihak atau beberapa pihak, kalau kita suka mengakui diri kita secara sepihak bahwa kita benar dan orang lain yang salah (walaupun dengan dalil dari kitab suci sekalipun), maka kesombongan akan bersemayam di dalam hati kita dan jauh dari ridhoNya, iblis akan menguasai hati kita tanpa kita sadari (iblis laknat jegjegan), ibarat kata daun yang hanyut di sungai tapi tersangkut batu dan pada akhirnya daun tsb dipenuhi lumpur dan lama kelamaan membatu sehinnga tidak mungkin sampai pada muara menuju lautan tanpa batas. maka dari itu segala kelebihan kita hendaknya membuat kita semakin tawaduk atau rendah hati seperti padi semakin berisi semakin merunduk, lha apa kalau kita merunduk terus sampai pada kesejatian sejati? orang yang serba kelebihan tapi tetap rendah hati maka akan mencerminkan kualitas sujudnya (dalam islam, saat paling dekat pada Allah adalah pada saat sujud pada sholat.

Banyak orang berpendapat bahwa kualitas sujud seseorang dilihat dari tanda hitam di dahinya, ini memang benar tapi cuman separuh kadar kebenarannya sebab dahi hitam bisa di buat dengan cara menekan dahi pada karpet atau sajadah dengan kuat atau cara lebih ekstrim disertai menggosok-gosok dahinya pada waktu sujud, ini malah berbahaya sebab bisa menjadi riya atau pamer "ketakwaan" kita. yang betul adalah kualitas sujud kita harus membekas di hati kita dan tidak harus pada dahi kita, bekas dari sujud kita dihati adalah sifat tawaduk yang disertai perbuatan yg tawaduk pula, perwujudannya adalah perbuatan tanpa pamrih dalam berbuat baik dan sedikit bicara (sepi ing pamrih rame ing gawe).

Nah kembali ke pendapat sunan Kalijogo bahwa kelinuwihan yang bertujuan kesejatian diibaratkan daun yg terbawa arus sungai tapi tidak hanyut karena bisa mengendalikan diri hingga menuju lautan tanpa batas, itulah diri yg sejati yg di akui olehNya, yg ikhlas tanpa beban, karena segala kelinuwihan kita walaupun sedikit apabila kita labuh labetkan pada Allah maka kelinuwihan kita menjadi tak terhingga, ibarat angka berapapun dibagi nol akan menjadi tak terhingga, angka adalah kelebihan kita sedangkan ikhlas di ibaratkan angka nol.

Sunan Geseng berpendapat bahwa kesejatian kita hendaknya berkelinuwihan atau segala kelebihan kita buah dari hasil kesejatian kita hendaknya didermakan untuk orang banyak sehingga menjadi sangat bermanfaat (tapa ngrame), buat apa kita mencapai tingkat spiritualitas tinggi tapi cuman bisa berteori tanpa kerja nyata? tentu saja mubazir bukan? hendaknya para alim ulama atau pemuka agama tidak hanya bisa berteori dan perbuatannya sedikit (ulama tidur), tapi dituntut untuk memberi sumbangan besar dibidang keilmuan tentu saja dengan cara yg baik dan sopan tanpa menghujat pihak lain yg berbeda pendapat atau berseberangan.

Tapi bagi Sunan Geseng, kelinuwihan adalah hanya bonus dari kesejatian sejati, tanpa mengharap kepadaNya, tapi apabila kita diberi "bonus" tersebut maka wajib diamalkan kepada orang lain tanpa pamrih (tapa ngrame, sepi ing pamrih rame ing gawe). Bahkan tidak hanya bonus dari kesejatian sejati kita,segala kelebihan kita walaupun sedikit wajib didermakan dan diamalkan.Dari pendapat kedua kekasih Allah tsb terkesan berbeda, namun pada hakekatnya memiliki esensi yg sama. Mari kita coba tarik benang merah kedua pendapat tsb.

Pendapat Sunan Kalijogo bahwa segala kelinuwihan (harta, ilmu, pangkat, kesaktian) harus bermuara ke kesejatian diri sejati, ketika sampai pada kesejatian sejati maka kita diberi bonus olehNya berupa kelinuwihan lautan tanpa batas (tak terhingga) disambung pendapat Sunan Geseng, bahwa segala "bonus" dari yg maha kuasa hendaknya didermakan dan diamalkan kepada orang lain satria pinandhita tapa ngrame sepi ing pamrih rame ing gawe.

Apakah kita bisa meneladani kedua kekasih Allah tersebut?


[http://margi-rekaos.blogspot.com]

Sunan Geseng : Mubaligh Tanah Bagelen



“Clontang-clantung,
wong nderes buntute bumbung,
apa gelem apa ora?

(Clontang-clantung,
orang nderes ekornya bumbung/bambu,
apa mau apa tidak?)

Ini adalah tembangan berbau mantra yang selalu diucapkan oleh Ki Cakrajaya, tukang nderes nira kelapa sebelum memanjat pohon nira (aren). Hasil dari nderesan itu kemudian diolah menjadi gula.

Cakrajaya adalah seorang tukang nderes nira kelapa yang hidup miskin di tengah hutan. Dia tinggal di Desa Bedhug, Tanah Bagelen -saat ini Kecamatan Bagelen, Kabupaten Purworejo-, berada di bantaran aliran Sungai Watukura/Bagawanta. Karena saking miskinnya, dia juga dipanggil “Ki Petungmlarat”.

Meskipun demikian, orang mengenalnya sebagai seorang yang kuat bertirakat/tapa brata, sehingga menjadi luhur budinya dan sakti ilmunya. Karenanya, Ki Cakrajaya di-”tua”-kan di wilayahnya.

Suatu hari, ketika Ki Cakrajaya akan memanjat pohon nira -siap dengan mantranya, datanglah seorang yang pembawaannya sangat ‘alim menghampirinya.

“Kisanak, apa sebabnya setiap kali engkau memanjat batang aren selalu mengucapkan kalimat tadi?”

“Itulah mantra agar hasilnya melimpah”, jawab Ki Cakrajaya.

“Ah, apa yang Kisanak ucapkan itu salah dan kurang tepat”.

“Salah dan kurang tepat? Ah, anda rupanya belum kenal denganku. Akulah Ki Cakrajaya, tukang nderes sudah sejak masa kecilku. Itu merupakan ilmu warisan leluhurku dan mantra itupun bukan sembarang mantra!”

“Betul kata-katamu, Kisanak. Tapi aku mempunyai mantra yang lebih unggul, yang akan bisa menghasilkan lebih banyak dari mantramu itu”, kata lelaki ‘alim dengan perbawa mantap dan tegar.

“Buktikanlah, Kisanak!” pinta Cakrajaya.

“Baiklah, ijinkanlah aku melihat cara Kisanak mengolah legen (nira) itu”. Ki Cakrajaya lalu mengajak laki-laki tadi ke rumahnya, lalu mengajarinya. Sang tamu kemudian mencetal gula aren satu tangkap. Cetakan itu diserahkan pada Ki Cakrajaya dengan pesan agar jangan dibuka sebelum dirinya keluar dari Desa Bedhug.

Setelah laki-laki itu keluar dari desanya, Ki Cakrajaya segera membuka cetakan gula. Matanya terbelalak karena isinya bukan lagi gula, melainkan setangkap emas yang berkilauan. Ki Cakrajaya tersadar, bahwa tamunya tadi bukanlah orang sembarangan. Diapun mengejar sang tamu. Dia akhirnya berhasil juga mengejar dan menemukan laki-laki misterius itu, yang tidak lain adalah Sunan Kalijaga; anggota Wali Songo yang termasyhur di kalangan rakyat jelata.

Karena dibuat penasaran, Ki Cakrajaya minta diajarin “mantra sakti” dengan bersedia menjadi muridnya. Sunan Kalijaga kemudian mengajarkan syahadat. Sejak saat itu, Cakrajaya selalu diajak Sunan Kalijaga mengembara dari satu daerah ke daerah yang lain sambil menyebarkan dakwah Islam.

Suatu saat, Sunan Kalijaga pamit ingin sembahyang ke Mekkah -dalam riwayat yang lain dikatakan ke Demak/Cirebon. Cakrajaya diperintahkan untuk menunggu tongkatnya. Cakrajaya kemudian duduk bersila, penuh khidmat. Saking lamanya, tubuh Ki Cakrajaya ditumbuhi rumput belukar, bambu berduri. Tempat bertapanya itu pun berubah.

Ketika Sunan Kalijaga teringat bahwa ia telah meninggalkan muridnya, maka datanglah dia ke tempat Ki Cakrajaya menunggui tongkatnya. Karena semak-belukar begitu rimbun dan rapat, maka dibakarlah rumpunan bambu berduri itu. Ajaibnya, Ki Cakrajaya tidak cedera sedikitpun. Hanya kulitnya saja yang berubah menjadi hitam. Karena hitam (Jawa=geseng), maka Sunan Kalijaga memanggil Ki Cakrajaya menjadi “Sunan Geseng“.

Menurut riwayat, proses pembakaran itu menghasilkan nama-nama daerah yang masih ada hingga kini. Misalnya, Muladan. Berasal dari kata ‘mulad‘ (berkobar-kobar). Daerah ini sekarang terletak di Kecamatan Dlingo, Kabupaten Bantul. Sunan Geseng terus diajak Sunan Kalijaga mengembara ke arah timur. Suatu ketika Sunan Kalijaga menancapkan tongkatnya, maka muncullah sumber air yang disebut ‘sendang‘ (Danau).

Oleh Sunan Kalijaga, Sunan Geseng diminta mandi dan membersihkan tubuhnya yang telah terbakar. Sungguh ajaib, Sunan Geseng pun sembuh. Tubuhnya kembali seperti semula. Kotoran hasil bersih-bersih badan itu kemudian terbawa hingga ke Sungai Kedung Pucung. Dan sendang tempat mandi itu kemudian disebut Sendang Banyu Urip.

Pengembaraan terus berlanjut. Sampailah di suatu daerah, Sunan Kalijaga memberikan wejangan tentang hidup dan ilmu-ilmu Tuhan. Maka daerah itu kemudian disebut Desa Ngajen -dari kata mengaji, yang saat ini berada di Kecamatan Dlingo, Kabupaten Bantul.

Menjadi pertanyaan, kapan Sunan Kalijaga berdakwah Islam di Tanah Bagelen?

Menurut “Babad Demak” (1906), peristiwa itu terjadi sebelum tahun 1518. Sebelum Demak menyerang Majapahit/Daha. Hal ini diketahui setelah Raden Patah, Ki Ageng Selo, Ki Patih Wanassalam dan Iman Semantri menemui Sunan Kalijaga di Pulau Upih. Sumber naskah lokal Bappeda Purworejo menyebutkan dakwah Sunan Kaijaga ke Bagelen itu terjadi di era Demak di bawah pimpinan Sultan Trenggono (1521-1545). Asumsi ini diperkuat juga oleh Slamet Suyoso dalam bukunya “Peranan Iman Puro” (1976).

Ketika berdakwah di wilayah Bagelen, Sunan Kalijaga (dan Sunan Geseng) telah mendirikan pondok pesantren di Dukuh Watu Belah, sekarang tepatnya di Desa Trirejo, Kecamatan Loano. Lalu Desa Dlangu, sekarang Kecamatan Butuh, Kabupaten Purworejo. Juga mendirikan mesjid Loano di Desa/Kecamatan Loano, Kabupaten Purworejo. Kemudian mesjid di Kauman Bagelen.

Catatan lain menyebutkan, pengislaman selatan Jawa Tengah sebelah timur Sungai Lukula dilakukan oleh Sunan Geseng. Di sebelah barat oleh Syekh Baridin, ulama dari Pucang Kembar. Sebelah barat Banyumas oleh Bupati Banyak Balanak dan Syekh Makdumwali (bergelar Senopati Mangkubumi).

Sunan Geseng dikarunia hanya satu anak laki-laki yang bernama Joko Bedhug yang juga disebut Nilasraba, yang kelak menjadi adipati pertama Bagelen bergelar Adipati Nilasraba I di era Demak -atau era Mataram menurut “Babad Tjakradjaja“.

Nilasraba I memiliki dua anak; Ki Bumi yang kemudian menjadi Adipati Arya Nilasraba II atau dikenal juga sebagai Ki Karta Menggala, dan adiknya Ki Mentosoro. Demikianlah riwayat tentang Sunan Geseng.

Buku ini menjadi sangat menarik -walaupun ada ketidakrelevanannya karena akan banyak persinggungan dengan buku-buku lain yang nanti akan saya resensikan, seperti: “Babad Demak“, karya Raden Suryadi. Kemudian “Sunan Kalijaga” karya Dr. Purwadi, dan masih banyak yang lain.


ti Gus Jhon Ciangsana

Masjid Sunan Geseng di Kauman Bagelen













Bismillahirrohmaanirrohiim. Asyhadu allaa ilaaha illallooh wa asyhadu anna Muhammadar rosuululloh. Segala puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan nikmat dan anugerah-nya kepada kita semua, sholawat dan salam semoga senantiasa terlimpahkan kepada junjungan kita, hamba-Nya yang terkasih Rosuululloh Muhammad SAW, keluarga dan sahabatnya serta semua pengikut beliau hingga akhir zaman, amin.

Barang siapa mencintai Nabi Rosul Allah beserta Wali – Nya, berarti ia juga termasuk dalam mahabah kehadirot Allah SWT. Dengan kondisi yang seperti itu makanya kami ingin sedikit mengingat sejarah para Wali Allah di Tanah Jawa yang mengembangkan Agama Islam sebagai rohmatan lil ‘alamin.

Telah menjadi sunatullah pada masa zaman Majapahit bergulirlah suatu perjalanan permasalahan aqidah dari Hindu – Budha menjadi Islam yang di awali dengan berdirinya Kerajaan Demak Bintoro yang dirajai oleh beliau Raden Patah. Berdirinya Kerajaan Islam di Demak Bintoro Insya Allah pada tahun 1403, yang di sponsori oleh Majelis Wali Songo yang mansyur dengan metode dakwahnya dan kearifan juga keramatnya.

Dengan partisipasinya wali songo ini, Allah telah menentukan kehendaknya Kerajaan Islam Demak Bintoro menjadi Kerajaan Besar dan berpengaruh di bumi tanah jawa dan sekitarnya. Dari awal ini kami ingin mengutarakan mahabah kami terhadap wali Allah yang bernama Ki Cokrojoyo yang akhirnya terkenal dengan Sunan Geseng. Pada zaman wali songo terkenallah seorang wali dari jawa yang bernama Raden Said yang terkenal dengan Sunan Kalijogo.

Pada saat itu Sunan Kalijogo syiar agama Islam di suatu daerah, beliau bertemu dengan seorang hamba Allah yang bernama Ki Cokrojoyo, istrinya bernama Rubiyah dan memiliki seorang putra bernama Joko Bedug, pekerjaan Ki Cokrojoyo menyadap gula kelapa, walau hanya dengan kehidupan yang sederhana keluarganya tentram dan bahagia, karena Ki Cokrojoyo dan keluarganya “ nrimo ing pandum ” dengan ketentramannya itu Ki Cokrojoyo senang bersenandung ( uro-uro ), dalam perjalanan syiarnya Kanjeng Sunan Kalijogo bertemu dengan Ki Cokrojoyo, yang akhirnya diajarkan Kalimat Dzikir yang dilantunkan dengan pujian.

Hari – hari Ki Cokrojoyo selalu pujian dengan kalimat yang diajarkan oleh Wali Allah Sunan Kalijogo, dan suatu saat keajaiban terjadi dengan amalan itu saat Ki Cokrojoyo mengambil hasil panennya yang dibuat gula kelapa tiba-tiba berobahlah gula kelapa itu menjadi emas, namun Ki Cokrojoyo tidak menjadi bangga malah beliau langsung bersiku dan berpamitan pada istri dan anaknya untuk mencari Kanjeng Sunan Kalijogo.

Setelah ketemu Kanjeng Sunan Kalijogo menerima Ki Cokrojoyo di terima sebagai murid dan disuruhnya bertapa, yang insya allah dilakukan satu tahun. Setelah satu tahun Kanjeng Sunan Kalijogo teringat akan kondisi muridnya yang bertapa lalu dicarinya dalam pencarian tempat yang digunakan bertapa telah menjadi hutan alang-alang yang akhirnya dibakar oleh Kanjeng Sunan Kalijogo.

Setelah habis alang-alangnya barulah tampak Ki Cokrojoyo masih dalam kondisi bertapa dan gosong, karena terbakarnya dengan ilalang dan pada saat itu dibangunkannya Ki Cokrojoyo dengan ucapan salam Kanjeng Sunan Kalijogo yang akhirnya terbangun dan langsung sungkem ( sujud ) terhadap Gurunya, setelah itu Kanjeng Sunan Kalijogo memerintahkan untuk mandi dan menyuruh pulang menemui keluarganya, setelah ketemu keluarga diceritakannya segala kejadian pada istrinya dan anaknya. Istri dan anak ikut bersyukur kehadirat Allah atas diselamatkannya Ki Cokrojoyo atas bimbingan Kanjeng Sunan Kalijogo.


Dari perjalanan itu diangkatlah derajat Ki Cokrojoyo di hadapan Allah menjadi Wali Allah, maka Ki Cokrojoyo di beri nama oleh Kanjeng Sunan Kalijogo menjadi Sunan Geseng untuk mengingat laku dan ketawadukannya terhadap Guru sehingga bisa mencapai derajat mulia.

Dan setelah itu di tugaskannya Sunan Geseng oleh Sunan Kalijogo untuk syiar Islam, khususnya mengajak masyarakat untuk bertauqid membaca dua kalimat syahadat yang terkenal ajakan Sunan Geseng yaitu masalah ( sasahidan ) membaca dua kalimah syahadat dan menjalankan ajaran Rosul Muhammad SAW.


Selain Sunan Geseng ada murid-murid Sunan Kalijogo yang terkenal lagi yaitu Sunan Bayat (Klaten), Syekh Jangkung (Pati) dan Ki Ageng Selo (Demak). Dari riwayat itulah maka kami jama’ah Dzikrurrohmah sedikit mengingat sejarah beliau karena beliau termasuk Wali Allah yang juga berjasa dalam pengembangan Islam di Tanah Jawa.

Sunan Geseng berdakwah dengan sangat santun dan arief, yaitu melakukan pendekatan budaya dengan masyarakat jawa. Seperti yang di lakukan Gurunya Kanjeng Sunan Kalijogo, Berda’wah dengan menggunakan wayang kulit, melakukan selamatan yang tujuannya untuk bersedekah dan muji syukur kehadirat Allah, serta memuliakan tamu-tamu santri, umat, masyarakat, pejabat yang diajak berdzikir dan puji-pujian. Dengan cara itulah masyarakat jawa yang tadinya hindu, budha diajak menyeberang ke Islam.

Begitulah bijaknya Sunan Geseng Wali Allah tidak mematikan budaya-budaya yang baik dan luhur. Yang dilakukan dengan tidak melanggar aqidah dan syariat, tapi sangat ampuh untuk menyatukan, umat masyarakat.

Semoga dari sedikit penjelasan ini kita bisa melanjutkan perjuangan beliau Sunan Geseng dan Wali-Wali Allah semua sebagai generasi penerus perjuangan Nabi Muhammad SAW.

Semoga menjadi manfaat, amin.


Petilasan Sunan Geseng di Kramat Jati Rembang


Pernahkah anda mendengar kisah Pangeran Bunnabrang [Kebo Anabrang] atau yang lebih dikenal sebutan Sunan Geseng? Sunan Geseng merupakan salah satu murid Sunan Kalijaga yang sakti mandraguna. Ketokohan dan kesaktian Sunan Geseng yang tak terbantahkan, membuat petilasan beliau hingga saat ini amat sangat dikeramatkan.

Petilasan Sunan Geseng terletak di Dukuh Suro, Desa Seren, Kecamatan Sulang. Rembang. Petilasan tersebut hingga saat ini kerap didatangi para peziarah baik dari dalam maupun luar kota Rembang. Umumnya mereka yang datang ke tempat tersebut berharap mendapatkan berkah dari sang sunan melalui ranting kering atau daun kering pohon jati yang berdiri di dekat makam.

Di komplek makam Sunan Geseng berdiri kokoh pohon jati raksasa. Pohon itu sangat dikeramatkan. Konon, ranting dan daun keringnya bisa mendatangkan berkah yang tiada terkira.

Umur pohon itu diperkirakan sudah mencapai ratusan tahun. Sejauh ini warga tidak ada yang tahu pasti kapan pohon jati itu mulai tumbuh. Menurut cerita yang beredar di masyarakat setempat, pohon jati itu mula-mula sudah ada di dekat makam Sunan Geseng.

Seluruh bagian dari pohon Jati tersebut dipercaya warga sebagai sesuatu yang keramat. Seperti ranting kering dan daun kuning yang jatuh pun oleh warga dianggap mempunyai tuah. Kepercayan itu bermula dari keanehan yang terjadi selama ini.

Kabarnya, setiap ranting maupun daun kering yang jatuh dari jati keramat itu, tak sampai menyentuh tanah. Ranting dan daun jatuh tersebut menghilang entah ke mana sebelum sampai ke bumi. Karenanya, areal pemakaman Sunan Geseng yang berada di bawah naungan pohon tua itu senantiasa bersih.

Hingga saat ini, di makam Sunan Geseng sering dijumpai pemandangan orang duduk bersila di bawah pohon jati tua tersebut. Bagi para pemburu berkah, kejatuhan ranting atau daun keringnya diyakini sebagai pertanda akan mendapatkan rezeki yang lumintu (terus-menerus).

Namun, tidak sembarang orang dapat kejatuhan ranting atau daun kering jati kuno tersebut. Hanya orang yang berhati bersih dan yang beruntung atau mendapatkan pulung saja yang dapat kejatuhan bagian tubuh dari pohon tersebut.

Menurut cerita yang berkembang, pohon jati itu bukan sembarang jati. Dulunya, pohon itu hanyalah sebuah gayung yang biasa dipakai Sunan Kalijaga mengambil air wudlu. Ketika itu, gayung tersebut biasa dicantolkan di tonggak yang menacap di tanah. Seiring berjalannya waktu, gayung itu berubah menjadi pohon jati.

Aneh memang. Namun, kenyataannya sudah banyak orang yang kejatuhan ranting atau daun jati tersebut mendadak sepanjang hidupnya berlimpah berkah. Kabar itu beredar dan berkembang dari mulut ke mulut. Dan walhasil, peziarah yang datang dari waktu ke waktu semakin bertambah banyak.

Kisah asal usul pohon jati keramat di makam sunan Geseng sampai sekarang masih tertanam secara turun-temurun bagi warga masyarakat setempat. Karena itu pohon keramat tersebut tetap dibiarkan tumbuh dengan merimbun. Hingga kini tidak ada masyarakat yang berani mengusiknya, apalagi sampai berani menebang.

Kalaupun ada pengunjung yang tergiur ingin mendapatkan ranting atau daunnya dengan cara menggothek atau memotongnya, di tempat tersebut sangat ditabukan. Apabila mereka nekat, dipastikan mereka tidak bakalan mendapatkan berkah, melainkan petaka yang didapat. Lantas siapakah sejatinya Sunan Geseng?

Trah Sunan Geseng : Trah Singodiwongso Jenar

RM. Singodiwongso


Alkisah bahwa Bagus Gentong/Gento setelah ibunya yaitu Nyai Ageng Bagelen wafat, tetap bertempat tinggal di desa Bagelen, meneruskan bertani seperti leluhurnya. Setelah dewasa ia menikah dan memperroleh putra bernama RADEN DAMARMOYO.

Raden Damarmoyo mempunyai putri bernama RADEN RARA RENGGANIS, yang setelah dewasa menikah dengan KYAI PAKOTESAN dan mempunyai putra, PANGERAN SEMONO yang juga bernama PANGERAN MURYO.

Pangeran Muryo mempunyai putra bernama KYAI COKROJOYO I, yang kemudian terkenal dengan nama SUNAN GESENG.

Dari BAGUS GENTONG sampai pada cucu-buyutnya / cicit yang bernama PANGERAN SEMONO, tidak ada yang perlu diceritakan, tetapi tentang cucu-canggahnya yaitu KYAI COKROJOYO I banyak peristiwa-peristiwa hidup yang hingga kini dianggap memberi berkah dan selalu diperingati oleh ahli warisnya.

Pada masa hidup KYAI COKROJOYO I, agama Islam sedang berkembang di Pulau Jawa dan yang menjadi pemimpin Waliullah penyebar agama islam adalah SUNAN KALIJOGO, yang sering berkelana untuk menyiarkan agama Islam.

Pada suatu hari SUNAN KALIJOGO dalam perjalanan keliling sengaja singgah ditempat kediamann KYAI COKROJOYO I, karena beliau telah mengetahui bahwa KYAI COKROJOYO I adalah seorang calon Waliullah, yang ibarat kain batik sudah disurati (dibatik) namun belum dibabar (diolah selanjutnya dengan memberi warna dan menghilangkan malam / lilinnya dari atas kain).

Waktu SUNAN KALIJOGO tiba disitu, KYAI COKROJOYO I sedang mencetak gula aren sambil ”uro-uro” (menyanyi santai).

Bertanya SUNAN KALIJOGO : ” Berapa lakunya (hasil penjualan) jika sudah menjadi gula ?”
Di jawab olah KYAI COKROJOYO I : ” hanya cukup untuk menghidupi orang yang melarat”.
SUNAN KALIJOGO lantas berkata : ”Coba gantikanlah uran-uranmu dengan membaca Surat Kalimah Syahadat. Kemarilah aku ajarkan membacanya, dan nanti jika gulanya telah trcetak bawalah kemari, aku akan melihatnya.”

Setelah mengucapkan Surat Kalimah Syahadat KYAI COKROJOYO I meneruskan mencetak gula dan sesudah rampung menutupinya dengan tampi, diserahkan kapada SUNAN KALIJOGO. Betapa herannya KYAI COKROJOYO I, sewaktu SUNAN KALIJOGO membuka tutupnya, gulanya sudah berubah menjadi emas. Dengan tak sadar ia terpakau (jawa: deleg-deleg) seperti tugu hingga beberapa saat.

Waktu ia sadar kembali SUNAN KALIJOGO sudah tiada di tempat. Dengan terbirit-birit (jawa : guralawan) ia mengejarnya dan setelah berhasil menyusulnya ia menyungkemi (menyembah) lutut SUNAN KALIJOGO, sambil mohon agar diperkenankan menjadi muridnya . Dijawab olehnya SUNAN KALIJOGO : ” Anakku (jawa:jebeng) jika kau dengan sungguh-sungguh ingin menjadi muridnya, maka kau harus bertapa-sujud di tempat ini dan jangan pergi dari sini sebelum aku kembali kemari.”

Setelah bersabda demikian SUNAN KALIJOGO meneruskan perjalannya dan dalam sekejap mata telah sirna dari pandangan.

Mengingat peristiwa yang telah terjadi KYAI COKROJOYO I masih terheran-heran, tetapi akhirnya bergegas untuk melaksanakan perintah SANG GURU AGUNG dengan tekad yang teguh dan mantap untuk tidak mengakhiri tapanya sebelum gurunya datang kembali. Demikianlah KYAI COKROJOYO I bertapa hinga satu tahun lebih tanpa henti.

Sementara itu SUNAN KALIJOGO memang sudah lipa akan perintahnya pada KYAI COKROJOYO I, dan baru sewaktu beliau dalam penjelajahnya seperti biasanya, lewat desa Bagelen beliau ingat akan perintahnya pada calon muridnya yang bertapa sujud. Para pengikutnya diperintahkan untuk mencarinya, tetapi karrena di tempat itu sudah penuh dengan alang-alang serta tumbuh-tumbuhan liar lainya setinggi orang, maka tak berhasilah mereka menemukan KYAI COKROJOYO I.

Kemudian SANG GURU memerintahkan untuk membabat seluruh tumbuh-tumbuhan yang menutupi tempat itu, namun juga belum berhasil untuk menemukan tubuh sang pertapa itu. Akhirnya tak ada jalan lain kecuali membakar saja alang-alang dan tumbuh-tumbuhan yang telah dibabat itu, dan walaupun dedaunan dan dahan-dahan itu masih basah, namun berkat sabda SANG GURU AGUNG, maka apinya menyala-nyala setinggi langit seperti kebakaran hutan besar, sehingga membuat penduduk disekitarnya menjadi cemas dan ketakutan.

Setelah api reda dan segala ”rerungkutan” )tumbuh-tumbuhan lebat) telah hilang, maka terlihatlah dengan jelas tubuh KYAI COKROJOYO I yang masih dalam posisi sujud tetapi hitam hangus karena terbakar. Kelihatannya seperti tak bernyawa, namun denyut jantungnya masih ada walaupun sangat lemah.

SUNAN KALIJOGO mendekatinya dan bersabda : ”Hai COKROJOYO, bangunlah, jangan enak-enak tidur, aku datang”.

Mendengar suara SANG GURU, seketika KYAI COKROJOYO I bangun dan begitu melihat gurunya langsung bersungkem kepadanya. Dan pada saat itulah KYAI COKROJOYO I mendapat ”wisik manunggalnya kawulo dengan gusti”, yang berarti telah mencapai tingkat kesempurnaan tertentu. Tidak diceritakan bagaimana isi serta perincian situasi tersebut, setelah menerima berkah Sang Waliullah KYAI COKROJOYO I seketika merasa terang hatinya, seperti mendung yang dihempas oleh angin, tembung cahaya seolah-olah seperti lembing dapat melesat ke atas di ruang angkasa (jawa : kadyo mendung ingkang kabuncang ing samirono, narawang lir pendah saged muluk ing ngawiyat).

Selesai memberi wejangan kepada KYAI COKROJOYO I, SUNAN KALIJOGO meneruskan perintahnya : ”Atas kemurahan Allah Yang Maha Kuasa, kamu sekarang telah ”tinarbuko’(terbuka), dapat Wahyu Wali dan karena badanmu hangus (jawa: geseng), maka memakailah nama SUNAN GESENG, dan mulailah bermukim (jawa: tetruko) di hutan Loano, yang nantinya akan menjadi desa yang ramai dan akan menjadi tempat tinggalnya para keturunan Raja.

Dalam pengembaraannya SUNAN GESENG menyebarkan agama islam di desa Jatinom, sekitar 10 kilometer dari kota Klaten arah ke utara. Penduduk Jatinom mengenal SUNAN GESENG dengan sebutan KI AGENG GRIBIG.

Julukan itu berangkat dari pilihan SUNAN GESENG untuk tinggal di rumah beratap gribig-anyaman daun nyiur. Menurut legenda setempat, ketika KI AGENG GRIBIG pulang dari menunaikan ibadah haji, ia melihat penduduk jatinom kelaparan. Ia membawa sepotong kue apem, dibagikan kepada ratusan orang yang kelaparan. Semuanya kebagian. KI AGENG GRIBIG meminta warga yang kelaparan makan secuil kue apem seraya mengucapkan zikir : Ya-Qowiyyu (Allah Maha Kuat). Mereka kenyang dan sehat. Sampai kini, masyarakat Jatinom menghidupkan legenda KI AGENG GRIBIG itu dengan menyelenggarakan upacara ”Ya-Qowiyyu” pada setiap bulan Syafar.


Warga membikin kue apem, lalu disetorkan ke masjid. Apem yang terkumpul jumlahnya mencapai ratusan ribu. Kalau di total, beratnya sekitar 40 ton. Puncak upacara berlangsung usai salat Jum’at. Dari menara masjid, kue apem disebarkan santri sambil berzikir, Ya Qowiyyu... Ribuan orang yang menghadiri upacara memperebutkan apem ”gotong royong” itu dengan sebutan apem ”Jokowiyu”.

Diceritakan bahwa 40 tahun kemudian, yang bertahta di kerajaan Mataram adalah KANGJENG SINUWUN ANYOKROWATI (1612-1621 M). Istri prameswarinya adalah KANGJENG RATU MAS HADI, putri dari PANGERAN ADIPATI BENOWO di Pajang. PANGERAN ADIPATI BENOWO ini adalah putra dari KANGJENG SINUWUN HADIWIJOYO (JOKO TINGKIR).

KANGJENG SINUWUN ANYOKROWATI tersebut mempunyai kakak laki-laki bernama PANGERAN WIROMENGGOLO, yang ingin sekali menjadi raja. Keinginannya itu adalah sedemikian besar, hingga ia bertapa siang dan malam dan berguru ilmu pad SUNAN GESENG dalam bidang kesempurnaan hidup, yang tempat pemejangannya di tegal BENGKUNG.

Karena bertapanya sangat berlebih-lebihan tanpa mengingat kemampuannya, maka PANGERAN WIROMENGGOLO akhirnya menemui ajalnya. Diceritakan bahwa yitmanya (rokhnya) merasuk ke dalam ikan tombro bersisik kencana (ikan mas).


Adalah kebetulan bahwa pada saat itu Sang prameswari KANGJENG RATU MAS HADI sedang mengandung dan ngidam ingin makan tombro bersisik emas yang berkali-kali disampaikan kepada suaminya KANGJENG SINUWUN.

Dalam pada itu KANGJENG SINUWUN mendengar kabar bahwa SUNAN GESENG memiliki sebuah jala sutra dengan biji pemberat dari emas, yang khusus hanya untuk menjala ikan tombro. Oleh karenanya, Sang PRABU mengirim utusan untuk minta bantuan SUNAN GESENG menangkap ikan tombro bersisik kencana seperti yang diinginkan sang RATU.

Singkatnya cerita, keinginan sang RATU dapat terpenuhi dan dilahirkan bayi laki-laki yang diberi nama RADEN MAS JATMIKO, juga bernama RADEN MAS RANGSANG.

Setelah SINUWUN ANYOKROWATI wafat, maka kedudukannya digantikan oleh putranya RADEN MAS JATMIKO, dengan gelar KANGJENG SINUWUN SULTAN AGUNG ANYOKROKUSUMO, bertahta pada tahun 1621 sampai dengan tahun 1636.

Sang Prabu juga berguru ilmu kesempurnaan pada SUNAN GESENG, sampai pada tingkat penguasaan yang tinggi atas segala galanya (jawa : widagdo waskitho ing samudayanipun). Atas jasanya, SUNAN GESENG kemudian dianugerahi sebidang tanah jabatan (jawa : lenggah siti) dengan nama KYAI AGENG JOLOSUTRO, yang membuat semakin tenar namanya hingga wafatnya.

Hingga kini makam SUNAN GESENG tersohor dengan nama ”MAKAM JOLOSUTRO” yang sangat dikeramatkan dan diziarahi orang, terutama pada hari-hari Selasa-Kliwon dan Jum’at-Kliwon.

Adapun letak makam tersebut, di sebelah Tenggara kota Yogyakarta, dikabupaten Bantul Daerah Istimewa YOGYAKARTA, jauhnya sekitar 12 km. Jika menggunakan bis umum turun di desa Piyungan dan selanjutnya berjalan kaki kira-kira 3 km lagi, atau juga dapat dicapai darri arah desa Pathuk, kabupaten Gunung Kidul DIY).

Kembali pada kisahnya JOKO BEDUG juga bernama RADEN COKROJOYO II, seperginya SUNAN GESENG ke Loano, JOKO BEDUG melaksanakan apa yang diperintah oleh ayahnya, yaitu bertapa brata secara ”gentur”, mengurangi tidur serta makan, dengan tekad agar segera diampuni oleh Yang Maha Kuasa. Tidak diceritakan hingga berapa lama ia bertapa-brata, tetapi akhirnya ia mendapatkan ampun dari Tuhan YME dan kembalilah wujudnya seperti sediakala, yaitu sebagai manusia.

Demikian pula tentang ”genturnya” bertapa diketahui oleh Sang Raja Mataram, yang selanjutnya mewisudanya menjadi Bupati di Bedug dengan nama, RADEN ADIPATI NILOSROBO I. Setelah wafat beliau dimakamkan dekat dengan Patilasan NYAI AGENG BEGELEN.

RADEN ADIPATI NILOSROBO I mempunyai putra, RADEN COKROJOYO III, juga bernama TUMENGGUNG ROGOWONGSO atau RADEN ADIPATI DANUREJO. Setelah wafatnya ayahanda, RADEN COKROJOYO III atas perkenan SINUWUN di Mataram, menggantikan kedudukan ayahanda sebagai Bupati di Bedug.

Pada waktu hidupnya, RADEN COKROJOYO III mengalami banyak macam peristiwa dan huru-hara. Tidak jelas berapa lama perang itu berlangsung, tetapi yang jelas ketika SINUWUN PAKUBUWONO I mangkat dan kemudian digantikan oleh putranya dengan gelar SINUWUN MANGKURAT JAWA/AGUNG; Kyai Patih COKROJOYO III masih berada di Surabaya.

Pengabdian KYAI PATIH COKROJOYO III tetap mantap dalam segala bidang, hingga SINUWUN MANGKURAT JAWA/AGUNG menganugerahkan pangkat Adipati. Dengan gelar ADIPATI DANUREJO beliau meneruskan pengabdiannya sebagai Patih Kerajaan, juga setelah SINUWUN MANGKURAT JAWA/AGUNG wafat digantikan oleh putranya yang bergelar SINUWUN PAKU BUWONO II.

Tetapi selanjutnya, sebelum mengikuti (jawa:angembani) Raja yang masih muda itu, Kyai Patih diberhentikan dari jabatannya, bahkan ada cerita bahwa beliau di buang ke Jakarta. Pada hal Kyai Patih sudah mengabdi pada tiga Raja, Yaitu SINUWUN PAKU BUWONO I, SINUWUN MANGKURAT JAWA/AGUNG dan PAKU BUWONO II, jika dihitung jumlah pengabdiannya pada jaman PANGERAN PUGER, adalah selama sekitar 45 tahun.


Bagaimana selanjutnya beliau beserta keluarganya dapat kembali ke daerah Bagelen, tidaklah jelas, tetapi kenyataannya setelah beliau dan istrinya wafat, dimakamkan di pegunungan Gemulung di desa Bagelen, tidak jauh dari petilasan NYAI AGENG BAGELEN.

Sekarang makam KYAI COKROJOYO III/TUMENGGUNG ROGOWONGSO/RADEN ADIPATI DANUREJO sudah ”digedong” – dibuat bangunan cungkup dengan dinding tembok. Sedang makam itu sendiri kini lebih terkenal dengan nama Makam ”ROGOWANGSAN” yang terletak di desa Bagelen Kabupaten Purworejo Jawa Tengah.

Kembali pada kisah RADEN ADIPATI DANUREJO, beliau dianugerahi seorang Istri, adik dari SINUWUN PAKU BUWONO II yang merupakan putra putri dari SINUWUN MANGKURAT JAWA/AGUNG, yaitu yang bernama BANDORO RADEN AYU TUNGLE yang sehari-harinya disebut (Jawa: apeparab) KLETING DADU.

Sebelum kawin dengan RADEN ADIPATI DANUREJO, B.R.A. TUNGLE sudah kawin dengan RADEN NOSUTO yang juga disebut WIROSUTO, yang masihsaudara sepupu dari RADEN ADIPATI DANUREJO, yaitu putra dari JOKO BUMI, kakak laki-laki (jawa:roko) dari JOKO BEDUG ya (alias) RADEN NILOSROBO I.


Dengan RADEN NOSUTO, B.R.A TUNGLE mendapat 3 putra:
1. RADEN TUMENGGUNG COKROJOYO I, terkenal dengan nama COKROJOYO MBALIK. perang Giyanti menjadi pendamping dari TUMENGGUNG ARUNG BINANG.
2. RADEN KERTOYUDO.
3. RADEN HUDOSORO atau YUDOSORO

Dengan RADEN ADIPATI DANUREJO, B.R.A. TUNGLE mempunyai 6 anak :
1. RADEN AYU LEBE, kawin dengan SECH BAULOWI
2. RADEN AYU NOTOYUDO III, yaitu istri dari RADEN TUMENGGUNG NOTOYUDO III, bupati Kedu
3. RADEN NILOSROBO, tidak mempunyai keturunan
4. RADEN TUMENGGUNG KARTOMENGGOLO, dimakamkan di Bedug
5. RADEN ROGOYUDO, dimakamkan di Bagelen
6. RADEN AYU NOSINGO , yang menjadi istri KYAI NOSINGO di Bragolan

RADEN AYU NOSINGO berputra 2 orang :
1. RADEN MAS SINGOWIJOYO
2. RADEN MAS SINGOGATI

RADEN MAS SINGOWIJOYO berputra 3 orang :

1. RADEN REKSODIWIRYO, yang seusainya Perang DIPONEGORO pada tahun 1830 M ditetapkan menjadi Bupati Purworejo dengan nama RADEN ADIPATI COKRONAGORO I.
2. RADEN NGANTEN CITROWIKROMO
3. RADEN TUMENGGUNG PRAWIRONAGORO, Wedana di Bragolan.

RADEN ADIPATI COKRONAGORO I inilah yang kemudian menurunkan Bupati-bupati Purworejo sampai RADEN MAS TUMENGGUNG COKRONAGORO IV.

RADEN TUMENGGUNG PRAWIRONAGORO mempunyai putra putri bernama RADEN AYU COKROATMOJO, istri RADEN ADIPATI COKROATMOJO, bupati Temanggung.

RADEN ADIPATI COKROATMOJO ini adalah putra dari RADEN GAGAK HANDOKO di Loano.


Adapun RADEN MAS SINGOGATI di Jenar mempunyai putra RADEN SINGODRIO di Bakungan, cucu RADEN SINGOWIDJOJO di Bragolan serta cicit RADEN SINGODIWONGSO/KYAI SINGODONGSO yang seterusnya mempunyai keturunan sampai akhir zaman.

Keturunan Raden Mas Singodiwongso atau Kyai Singodongso di makamkan di Kembang Gading, Jenar Wetan, Kec. Purwodadi, Kab. Purworejo, Jawa Tengah.

PUTRO / KODE A
A1. R.Ngt Singosemito
A2. R. Ngt Tjokrodrijo
A3. Raden Kromoprawiro
A4. Raden Soeroprawiro
A5. Raden Singodarmo
A6. R. Ngt Karosonto
A7. Raden Ranoeprawiro
A8. Raden Wirjodikromo
A9. R. Ngt Soerowirjo

WAYAH / KODE B

A1. R. Ngt SINGOSEMITO

A1B1 R.Mertosemito
A1B2 R. Troenosemito
A1B3 R. Ngt Djemi-Wongsodikoro
A1B4 R. Wongsosemito
A1B5 R. Kromomoenawi
A1B6 R. Ngt Sijem

A2. R. Ngt TJOKRODRIJO
Tidak ada keturunan



11 Maret 2003
Jakarta, 7 suro Be 1936

Penyunting,
H.R. Eddy Soedarmadi Bin R.S. Prawiro Tanojo
A7 B1 C10

Kepustakaan :
1. Buku Sudjarahipun Raden SINGODIWONGSO, kahimpun dening ingkang Wajah Raden PRAWIRO TANOJO ing Ngajogjakarta, 3 Sijam, Wawu 1889 /24 Maret 1958
2. Terjemahan ke dalam bahasa Indonesia oleh Bapak B.P MOELJADI PRAWIROATMODJO
3. Majalah GATRA

Petilasan Sunan Geseng di Bagelen



Riwayat tentang Wali Songo sebagai penyebar agama Islam di Pulau Jawa telah menjadi bagian dari sejarah Islam Indonesia. Salah satunya adalah, Sunan Kalijaga. Ternyata beliau pernah singgah di Tanah Bagelen.

Di sini meninggalkan sebuah cerita yang sangat menakjubkan dengan bukti berupa petilasan yang masih terjaga dengan baik dan bisa disaksikan oleh siapa saja yang ingin melihatnya. Petilasan itu berupa batu gosong, yang konon diyakini sebagai tempat duduk Sunan Geseng ketika terbakar oleh api.

Sunan Kalijaga amatlah dekat dan melekat di hati kaum muslimin di Tanah Jawa melebihi yang lainnya. Kelebihan utamanya adalah kepiawaiannya memasukkan pengaruh Islam ke dalam adat tradisi orang Jawa. Kecintaan masyarakat Jawa terhadap wayang, memberikan inspirasi bagi Sunan Kalijaga untuk memasukkan hikayat-hikayat Islam ke dalam permainan wayang. Sunan Kalijaga adalah pencipta lakon wayang kulit dan pengarang buku-buku wayang yang mengandung cerita dramatis bernuansa Islam.

Salah satu murid kinasih Sunan kalijaga adalah Sunan Geseng. Beliau adalah murid yang sangat patuh dan setia terhadap semua perintah Sunan Kalijaga. Pada suatu hari Sunan Kalijaga ingin menguji kesetiaan Sunan Geseng dengan ujian yang cukup berat. Sunan Geseng yang waktu itu masih bernama Ki Cokrojoyo, buyut Nyai Ageng Bagelen, diminta untuk menjaga dan memegangi tongkat yang ditancapkan di sebuah bukit di wilayah Bagelen. Sunan Kalijaga berpesan agar Ki Cokrojoyo tidak meninggalkan tempat itu sampai beliau kembali.

Ki Cokrojoyo duduk bersila memegangi dan menjaga tongkat yang ditinggalkan oleh Sunan Kalijaga. Hujan, panas, dingin dan ancaman binatang buas selama menunggui tongkat gurunya tak sejengkalpun Ki Cokrojoyo menggeser tempat duduknya. Ia tetep tak bergeming dari tempat duduknya, meski hanya sesaat. Hari demi hari, bulan terus berganti, tahun demi tahun tak terasa Ki Cokrojoyo telah duduk bersila memegangi dan menjaga tongkat gurunya selama 7 tahun.

Setelah 7 tahun itulah Sunan Kalijaga kembali ke tempat itu untuk menemui muridnya Ki Cokrojoyo. Namun apa yang terjadi di luar dugaan? Muridnya tak terlihat lagi di tempat itu. Bukit tempat dimana Ki Cokrojoyo memegangi dan menjaga tongkat Sunan Kalijaga sudah berubah menjadi sebuah hutan yang sangat lebat.

Sunan Kalijaga dengan amat terpaksa membakar tempat itu untuk mengetahui tempat sang murid, yang ditinggalkan sendirian selama 7 tahun tersebut. Dengan keadaan hutan yang sangat menyeramkan, hati Sunan Kalijaga tak yakin apakah Ki Cokrojoyo masih bertahan di tempat itu.

Setelah tiga perempat bagian hutan itu habis terbakar, di sanalah tampak Ki Cokrojoyo duduk bersila dalam keadaan sama persis ketika ditinggalkan dahulu. Tubuhnya hitam terpanggang api sambil memegangi erat tongkat Sunan Kalijaga yang ditancapkan di tanah.

Bagian Ki Cokrojoyo tampak gosong akibat terpanggang api, namun dirinya tak bergeming sedikitpun dari tempat duduknya. Hati Sunan Kalijaga terharu saat itu. Beliau belum pernah menemui kesetiaan dan ketaatan yang sangat luar biasa dari seorang muridnya itu sebelumnya. Melihat pengorbanan sedemikian besar yang telah diberikan oleh muridnya, maka sejak itu Ki Cokrojoyo telah lulus ujian dan dinilai telah memiliki ilmu setingkat dengan ilmu seorang wali. Lantas Ki Cokrojoyo diberi gelar Sunan Geseng.

Petilasan Sunan Geseng berada di puncak Gunung Siringin, Pedukuhan Gatep, Desa/Kecamatan Bagelen, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah. Selain di Bagelen petilasan Sunan Geseng juga terdapat di daerah Piyungan Bantul (DIY), Kebumen (Jateng) dan makamnya berada di Argotirto, Magelang (Jateng). Tidak jauh dari lokasi petilasan juga terdapat sebuah batu besar dengan permukaan agak rata dan lebar.

Oleh penduduk setempat diberi nama Si Roto, diyakini tempat berkumpulnya para wali dalam membahas syiar Islam di Tanah Jawa. Hingga sekarang juga masih ada peninggalan Sunan Geseng lainnya, yakni berupa bangunan masjid yang sekarang diberi nama Masjid Sunan Geseng. Masjid ini terletak di Pedukuhan Kauman, Desa/Kecamatan Bagelen, kurang lebih berjarak 2 Km dari lokasi petilasan Sunan Geseng.

Hampir setiap hari banyak orang datang berziarah di sini. Peziarah tersebut tidak hanya berasal dari Kabupaten Purworejo saja, tak sedikit juga peziarah yang datang dari luar kota. Seperti dari Semarang, Jakarta, Bandung, Jogjakarta, Solo, kota-kota besar lainnya di Pulau Jawa ini.

Jalan menuju ke lokasi batu petilasan Sunan Geseng kurang lebih berjarak 500 meter dari jalur utama Jalan Raya Purworejo-Jogjakarta Km 11,5. Jalannya cukup menantang, sedikit terjal karena terletak di puncak bukit yang memiliki ketinggian kurang lebih 100 meter di atas permukaan tanah. Meski demikian jalan ke lokasi sudah cukup nyaman dengan adanya perbaikan oleh pemerintah setempat.
















Matur nuwun, Mas eko Mulyanto Bagelen