Jujur, Jajar lan Jejer Manembah Gusti Ilahi

Duk Djaman Semono, Kandjeng Edjang Boeyoet Ing Klero nate paring wewarah,".. Djoedjoer Lahir Bathin Berboedi Bowo Leksono Adedhasar Loehoering Agomo, Djedjer Welas Asih Sasamoning Titah Adedhasar Jiwo Kaoetaman Lan Roso Kamanoengsan, Lan Djadjar Manoenggal Wajibing Patrap Bebrayan Agoeng Adedhasar Endahing Tepo Salira Manembah Ngarsaning Goesti Allah Ingkang Moho Toenggal, Ngrenggo Tjiptaning Koesoema Djati Rila Adedharma Mrih Loehoering Bongso, Agomo, Boedoyo, Lan Sasamining Titahing Gesang Ing Ngalam Donya, Ikoe Lakoening Moekmin Sadjati.." [Wewaler KRT. Hasan Midaryo,1999]

Senin, 19 Juli 2010

4 Simbol Kedaulatan Mataram


KASULTANAN NGAYOGYAKARTO HADININGRAT
[13 Februari 1755-1950]


Kasultanan Ngayogyakarto Hadiningrat


1. Sri Sultan Hamengku Buwana I [13 Februari 1755-24 Maret 1792]


2. Sri Sultan Hamengku Buwana II [2 April 1792-akhir 1810] periode pertama


3. [1] Sri Sultan Hamengku Buwana III [akhir 1810-akhir 1811] periode pertama


[2]
Sri Sultan Hamengku Buwana II [akhir 1811-20 Juni 1812] periode kedua


[3] Sri Sultan Hamengku Buwana
III [29 Juni 1812-3 November 1814] periode kedua


4. Sri Sultan Hamengku Buwana IV [9 November 1814-6 Desember 1823]


5. [1] Sri Sultan Hamengku Buwana V [19 Desember 1823-17 Agustus 1826] periode pertama


[2] Sri Sultan Hamengku Buwana II
[17 Agustus 1826-5 Juni 1855] periode ketiga


[3] Sri Sultan Hamengku Buwana V
[17 januari 1828-5 Juni 1855] periode kedua


6. Sri Sultan Hamengku Buwana VI [5 Juli 1855-20 Juli 1877]


7. Sri Sultan hamengku Buwana VII [22 Desember 1877-29 Januari 1921]


8. Sri Sultan Hamengku Buwana VIII [8 Februari 1921-22 Oktober 1939]


9. Sri Sultan Hamengku Buwana IX [18 Maret 1940-2 Oktober 1988]


10. Sri Sultan Hamengku Buwana X [7 Maret 1989-sekarang]

1] Bendara Raden Mas Sujono 1756 – 1792 (Hamengkubuwono I)

2] Bendara Raden Mas Sundoro 1792 – 1812 (HamengkubuwonoII)

3] Bendara Raden Mas Surojo 1812 – 1814 (Hamengkubuwono III)

4] Bendara Raden Mas Ibnu Jarat 1814 – 1823 (Hamengkubuwono IV)

5] Bendara Raden Mas Batot Menol 1823 – 1835 (Hamengkubuwono V)

6] Bendara Raden Mas Murtedjo 1855 – 1877 (Hamengkubuwono VI)

7] Bendara Raden Mas Musteyo 1877 – 1921 (Hamengkubuwono VII)

8] Bendara Raden Mas Sujadi 1921 – 1939 (Hamengkubuwono VIII)

9] Bendara Raden Mas Dorojatun 1940 – 1988 (Hamengkubuwono IX)

10] Bendara Raden Mas Herjuno Darpito 1988 – sekarang (Hamengkubuwono X)





KADIPATEN PAKU ALAMAN
[17 Maret 1813-1950]


Kadipaten Paku alaman di Yogyakarta

1. Paku Alam I [1813-1829]

2. Paku Alam II [1829-1858]

3. Paku Alam III [1858-1864]

4. Paku Alam IV [1864-1878]

5. Paku Alam V [1878-1900]

6. Paku Alam VI [1901-1902]

7. Paku Alam VII [1903-1938]

8. Paku Alam VIII [1938-1998]

9. Paku Alam IX [1998-Sekarang]



KASUNANAN SURAKARTA HADININGRAT
[1745-1946]


Kasunanan Kartasura

1. Amangkurat II [1680-1702]

2. Amangkurat III [1702-1705]

3. Paku Buwana I [1705-1719]

4. Amangkurat IV [1719-1726]

5. Paku Buwana II [1726-1742]


Kasunanan Surakarta Hadiningrat

1. Paku Buwana II [1745-1749]

2. Paku Buwana III [1749-1788]

3. Paku Buwana IV [1788-1820]

4. Paku Buwana V [1820-1823]

5. Paku Buwana VI Kanjeng Pangeran Bangun Tapa [1823-1830]

6. Paku Buwana VII [1830-1858]

7. Paku Buwana VIII [1859-1861]

8. Paku Buwana IX [1861-1839]

9. Paku Buwana X [1839-1939]

10. Paku Buwana XI [1939-1944]

11. Paku Buwana XII [1944-2004]

12. Paku Buwana XIII [2004-Sekarang]

Kedudukan Paku Buwana XIII diklaim oleh dua orang Pangeran, yakni Pangeran Hangabehi dan Pangeran Tejowulan.



PRAJA MANGKU NEGARAN
[17 Maret 1757-1945]


Praja Mangkunegaran di Kraton Surakarta

1. Mangku Nagara I Raden Mas Sa'id [1757-1795]


2. Mangku Nagara II [1796-1835]


3. Mangku Nagara III [1835-1853]


4. Mangku Nagara IV [1853-1881]


5. Mangku Nagara V [1881-1896]

6. Mangku Nagara VI [1896-1916]

7. Mangku Nagara VII [1916-1944]

8. Mangku Nagara VIII [1944-1987]

9. Mangku Nagara IX [1987-Sekarang]


Kasultanan Demak, Pajang & Mataram Islam


A. Kasultanan Demak Bintara

1. Raden Patah [1478-1518]
2. Pati Unus [1518-1521]
3. Sultan Trenggono [1521-1546]
4. Sunan Prawoto [1546-1549]

B. Kasultanan Pajang

1. Joko Tingkir bergelar Sultan Hadi Wijoyo [1549-1582]
2. Pangeran Arya Pangiri bergelar Sultan Ngawantipuro [1583-1586]
3. Pangeran Benawa bergelar Sultan Prabu Wijoyo [1586-1587]


C. Kasultanan Mataram Islam


1. Ki Ageng Pamanahan [1550-1587]
2. Raden Mas Danang Suto Wijoyo bergelar Panembahan Senopati [1587-1601]
3. Raden Mas Jolang bergelar Panembahan Hanyakrawati [1601-1613]
4. Adipati Martapura [1613 selama1 hari]
5. Raden Mas Rangsang bergelar Sultan Agung Prabu Hanyakrakusuma [1613-1645]
6. Amangkurat I bergelar Sinuhun Tegal Arum [1645-1677]

Bowo..

Tri Kusumo

Praja Cihna

Makam Raden Patah Sultan Demak I

Pasareyan Kanjeng Ratu Kencana

Ki Ageng Pandan Alas

Padepokan Ki Ageng Pandan Alas

Saparan Ki Ageng Wonolelo

a) Latar Belakang dan Komponen Upacara

Upacara ini secara simbolik mengandung aiti manusia menginginkan keselamatan. Kelakukan simbolik yang mengharapkan keselamatan itu bentuknya bermacam-macam, salah satu diantaranya menceritakan kembali mitos lama dengan mementaskan isi mitos itu dalam upacara adat. Dalam hal ini menghadirkan tata susunan alam dalam tari-tarian, bahkan termasuk cara khusus menanam atau mengetam padi dalam beraneka perayaan yang disertai kurban, makan bersama (slametan), daur hidup (peralihanjenjang dalam hidup), dan lain-lain (Subagya, 1981).

Upacara adat itu sendiri merupakan sistem aktivitas atau rangkaian tindakan terstruktur yang ditata oleh adat yang berlaku dalam masyarakat yang berhubungan dengan berbagai macam peristiwa tetap yang biasanya terjadi dalam masyarakat yang bersangkutan. Menurut Koentjaraningrat (1997) upacara itu timbul karena adanya dorongan perasaan manusia untuk melakukan berbagai perbuatan yang bertujuan mencari hubungan dengan dunia gaib (kelakuan keagamaan).

Dalam hal ini manusia dihinggapi oleh suatu emosi keagamaan, dan ini merupakan perbuatan keramat, semua unsur yang ada di dalamnya saat upacara, benda-benda seperti alat upacara, serta orang-orang yang melakukan upacara, dianggap keramat. Bertolak dari pengertian tersebut di atas, upacara adat/tradisional yang dimaksud di sini adalah aktivitas atau rangkaian tindakan manusia yang berpola, yang dikaitkan dengan kepercayaan yang berlaku di masyarakat setempat. Biasanya orientasi atau yang menjadi pusat perhatian upacara adat itu adalah tokoh leluhur yang dianggap sebagai cikal-bakal yang telah sumare (dimakarnkan). Tokoh ini menunit pengakuan masyarakat setempat adalah yang menurunkan anggota masyarakat tersebut. oleh sebab itu biasanya upacara adat semacam itu dilakukan dalam masyarakat tradisional pula.

Dalam masyarakat tradisional itu terdapat pola tindakan atau tingkah lakudan pola berpikir warganya yang dikaitkan dengan adanya kepercayaan terhadap kekuatan gaib yang ada pada alam semesta. Kekuatan alam semesta ini dianggap ada di atas segalanya. Dalam masyarakat tradisional ini kekuatan manusia akan "lemah" bila dihadapkan dengan kekuatan alam semesta (kosmos). ltulah sebabnya terhadap kekuatan alam semesta ini manusia beserta semua unsur-unsuroya bersikap hormat dan berusaha untuk mendekatinya agar tidak teqadi malapetaka.

Usaha manusia untuk mendekatkan dirinya dengan kekuatan alam semesta juga roh atau arwah leluhur yang telah sumare itu, dilakukan melalui "upacara" dan slametan yang merupakan kelengkapan upacara. Dengan demikian upacara ini merupakan wujud simbolik hubungan manusia dengan roh atau arwah atau kosmologinya. Dalam hal ini Muun menunjukkan bahwa upacara itu merupakan interaksi sosial yang dilakukan melalui simbol- simbol sebagai sarana untuk menelusuri asal-usul kehidupan manusia.

Demikianlah upacara yang dalam pelaksanaannya selalu dilengkapi dengan segala macam sarana sebagai simbol atau lambang yang memberikan informasi kepada para pelakunya tentang hubungannya dengan "Yang Esa" atau "yang telah tiada". Biasanya dalam masyarakat Jawa, sarana ini berwujud sesaji atau pusaka-pusaka yang ditempatkan dalam rangkaian slametan atau kenduren. Wujud dari sajian-sajian yang dipersembahkan menunit jenis maksud dan tujuan upacara yang diselenggarakan itu.

Khusus bagi masyarakat Jawa di Daerah Istimewa Yogyakarta, juga mengenal berbagai bentuk upacara tradisional. Salah satunya di Pedukuhan Pondok Wonolelo, Desa Widadamartani, Kecamatan Ngemplak, Kabupaten Sleman, juga dikenal upacara tradisional yang setiap tahun dilakukan penduduk setempat. Upacara ini menurut penduduk setempat dan sekitarnya dikenal sebagai "Upacara Saparan Wonolelo" yang dalam pelaksanaannya upacara ini merupakan pengarakan pusaka Ki Ageng Wonolelo yaitu tokoh leluhur yang dianggap sebagai cikal-bakal pembuka Pondok Wonolelo dan yang menurunkan penduduk asli Pondok Wonolelo.

Letak Desa Widadamartani adalah sekitar 19 km pada arah Timur Laut dari kota Yogyakarta. Kondisi topografinya menunjukkan kemiringan ke arah Selatan, mengingat di ibagian Utara dari daerah ini adalah gunung Merapi. Sehubungan dengan itu struktur tanahnya banyak mengandung unsur volkanik yang relatif subur. Daerah ini dilalui jalur jalan aspal dari kota Kecamatan Ngemplak menuju jalan dari Kalasan ke Cangkringan. Dengan demikian daerah ini mudah dijangkau dengan berbagai jenis kendaraan roda dua maupun roda empat. Bangunan rumah umumnya sudah dibuat permanen, dengan jarak antar rumah relatif jarang karena pekarangan per keluarga cukup lebar.

1) Nama Upacara

Seperti telah dikemukakan di atas, upacara adat/tradisional yang diselenggarakan oleh warga Pedukuhan Pondok Wonolelo, Desa Widadamartani, Kecamatan Ngemplak, Kabupaten Sleman, dinamakan "Upacara Saparan Wonolelo). Upacara tradisional ini dinamakan demikan karena pusat kegiatannya diperhitungkan atas dasar seorang tokoh leluhur Pedukuhan Pondok Wonolelo yang bemama Ki Ageng Wonolelo, yang makamnya memang berada di Pedukuhan Pondok Wonolelo ini.

2) Tujuan Upacara

Upacara yang merupakan kelakukan atau tindakan simbolik manusia sehubungan dengan kepercayaan atau keyakinannya, adalah mempunyai maksud dan tujuan untuk menghindarkan din dan gangguan robjahat (Herusatoto, 1984). Dengan demikian maksud dan tujuan upacara adat yang diselenggarakan oleh warga masyarakat adalah untuk menghindarkan diri dan gangguan roh jahat dan mendapatkan perlindungan dan roh atau arwah leluhur. Untuk itulah upacara adat diselenggarakan.

Sehubungan dengan itu, maksud dan tujuan Upacara Saparan Wonolelo yang diselenggarakan oleh penduduk Padukuhan Pondok Wonolelo itu antara lain adalah :

a. Untuk mengenang kembali leluhur yang menurunkan mereka, terutama keturunan Ki Ageng Wonolelo. Disamping itu juga mengenang jasa dan kebebasan Ki Ageng Wonolelo sebagai penyebar agama Islam, khususnya di Pondok Wonolelo dan di daerah Yogyakarta bagian Utara pada umumnya.

b. Untuk mengumpulkan keturunan Ki Ageng Wonolelo yang tergabung dalam organisasi atau kelompok kekerabatan trah Ki Ageng Wonolelo yang tersebar di hampir seluruh kawasan Yogyakarta dan sekitamya.

c. Untuk mohon berkat-Nya agar masyarakat Pedukuhan Pondok Wonolelo dan keturunan Ki Ageng Wonolelo dijauhkan dan segala macam gangguan gaib yang sekiranya mendatangkan petaka bagi masyarakat.

Melalui upacara ihi keturunan Ki Ageng Wonolelo diberi hidup tenteram, bahagia, kesejahteraan, dan keselamatan dalam lindungan kebesaran-Nya.

Dan maksud dan tujuan diselenggarakannya Upacara Caparan Wonolelo itu terutama di

kalangan kaum muda keturunan Ki Ageng Wonolelo agar dapat mewarisi "nilai-nilai" ajaran Ki Ageng Wonolelo yang besar dan luhur lewat agama Islam.

3) Cerita Mitos Upacara

Sehubungan dengan tokoh Ki Ageng Wonolelo ini, sehingga dijadikan pusat perhitungan yang menurunkan orang-orang penduduk di Pondok Wonolelo dan sekaligus dijadikan pusat perhitungan Upacara Saparan Wonolelo, dapat dikemukakan adanya cerita yang dituturkan oleh penduduk setempat. Kisah tersebut secara garis besar adalah sebagai berikut:

"Ki Ageng Wonolelo sebenarnya masih keturunan langsung dari Prabu Brawijaya V, raja Majapahit yang terakhir. Prabu Brawijaya V berputra 111 orang, yaitu 60 orang laki-laki dan 5I orang perempuan. Salah satu diantara 60 orang putra laki-laki itu adalah. Pangeran Bracakngilo.

Pada waktu kerajaan Majahapit mulai terdesak oleh kerajaan Demak (kerajaan Islam pertama di Jawa Tengah) Prabu Brawijaya V memerintahkan kepada putra-putrinya agar pergi meninggalkan kerajaan untuk bertapa. Titah raja ini dilaksanakan dengan segenap putra-putrinya yang berjumlah 111 orang itu. Diantaranya Pangeran Bracakngilo yang disertai oleh Syeh Maulana Maghribi pergi berkelana menuju ke arah Barat.

Dalam berkelana itu sampailah di salah satu pedukuhan, yaitu Pedukuhan Karangio yang konon dalam kisah dituturkan termasuk wilayah Yogyakarta. Di Pedukuhan Karanglo ini Pangeran Bracakngilo bertempat tinggal agak lama, bahakn beliau mengganti namanya menjadi Ki Ageng Karanglo. Pada saat itu pula keadaan gunung Merapi selalu mengeluarkan lahar. Hal ini terlihat oleh Ki Ageng Karanglo dan dirasakan sangat mengkhawatirkan penduduk yang tinggal di sekitarnya.

Mengingat keadaan seperti itulah maka Ki Ageng Karanglo tergerak hatinya untuk menolong menyelamatkan penduduk yang tinggal di lereng gunung Merapi. Untuk itu Ki Ageng Karangio bersusah mencegah agar lahar yang keluar dari mulut kawah Merapi itu tidak mengalir ke arah Selatan. Agar penduduk benar-benar terhindar dari ancaman lahar Merapi, maka Ki Ageng Karanglo tinggal di Pedukuhan Turgo. Ternyata atas kebesaran-Nya usaha Ki Ageng Karanglo untuk menyelamatkan penduduk dari ancaman lahar Merapi itu berhasil. Oleh karenanya sejak saat itu Ki Ageng Karanglo disebut dengan nama Ki Ageng Turgo atau Syeh Jumadilkubro.

Dalam berkelana itu kemudian Syeh Jumadilkubro berputra 4 orang, yaitu 2 orang laki-laki dan 2 orang prempuan. Dua orang putra yang selalu tampil dalam kisah adalah Syeh Kaki dan Syeh Jimat.

Syeh Kaki kemudian berputra Ki Jumadigeno, sedang Syeh Jimat berputra Ki Berbak dan Ki Gunturgeni. Ki Jumadigeno itulah yang kemudian tinggal dan menetap di Pedukuhan Pondok Wonolelo yang sampai sekarang dikenal sebagai Ki Ageng Wonolelo. Dikisahkan juga mengapa nama itu kemudian disebut Pondok Wonolelo, menurut kisah itu nama "Wonolelo" dipakai karena pada waktu Ki Jumadigeno masih tinggal di Turgo, apabila beliau melihat ke arah Tenggara tampak adanya "wono" (hutan) yang "malelo" (jelas). Oleh karena itu Ki Jumadigeno kemudian datang ke hutan itu untuk mulai membukanya (babad alas).

Setelah hutan itu dibuka (dibabad) oleh Ki Jumadigeno dijadikan sebagai tempat tinggalnya dan diberi nama "Wonolelo". Nama Ki Jumaditenopun diganti menjadi Ki Ageng Wonolelo. Di tempat yang baru ini Ki Ageng Wonolelo mulai menjalankan tugasnya untuk menyebarkan ajaran agama Islam, dan muridnya makin lama makin banyak. Untuk menampungmurid-muridnya didirikanlah pondok, sehingga sampai sekarang tempat ini dikenal sebagai Pondok Wonolelo.

Demikianlah cerita mitos tentang asal-usul Ki Ageng Wonolelo yang diakui oleh penduduk setempat sebagai leluhur mereka. Untuk menghormati jasa dan kebesaran Ki Ageng Wonolelo, oleh penduduk Pondok Wonolelo pada setiap bulan Sapar (salah satu bulan Jawa) diadakan upacara yang sampai sekarang masih berlangsung dengan sebutan "Upacara Saparan Wonolelo".

Dalam cerita di atas disebutkan pula bahwa Ki Ageng Wonolelo mempunyai hubungan kekerabatan dengan Ki Ageng Gribig atau Wasibagena Alit yang dimakamkan di Jatinom wilayah Kabupaten Klaten (Jawa Tengah). Ki Ageng Gribig atau Wasibagena Alit ini adalah putra Bandara Putih atau Ki Ageng Giri III. Adapun Bandara Putih ini adalah putra Jaka Dolog dan Jaka Dolog adalah putra Prabu Brawijaya V raja terakhir kerajaan Majapahit. Dengan demikian antara Wasibagena Alit dengan Ki Ageng Wonolelo sama-sama keturunan Prabu Brawijaya V.

Disamping keduanya mempunyai hubungan kekerabatan, juga bersaudara dalam satu perguruan, karena mereka sama-sama berguru pada Syeh Jumadilkubro yang dalam urutan silsilah adalah kakak Ki Jumadigeno atau Ki Ageng Wonolelo sendiri. Setelah selesai berguru, mereka diperintahkan oleh guru mereka untuk menyebarkan ilmu pengetahuan yang telah mereka peroleh. Oleh sebab itu mereka kemudian pergi mengembara sampai ke Pedukuhan Wonogiri dekat Pakem Kabupaten Sleman. D

ari Pakem ini pengembaraan mereka lanjutkan sampai ke suatu tempat yang disebut Wonolelo. Di temptt inilah Ki Jumadigeno lalu membuka (babad) hutan dengan benda pusakanya yang bertuah. Sebelum peker)aan membuka hutan itu selesai, mereka berdua pergi bertapa ke Wonogiri (wilayah Surakarta, Jawa Tengah). Setelah selesai bertapa Ki Jumadigena kembali dan menetap di Pondok Wonolelo, sedang Wasibagena Alit lalu bertapa di bawah pohon jati yang masih muda (Jatinom) yang terietak di wilayah

Kabupaten Klaten. Selanjutnya tempat ini sekarang disebut Jatinom (sebagai nama salah satu kecamatan). Di daerah ini Ki Wasigabena Alit lebih dikenal dengan sebutan Ki Ageng Gribig, dan sampai meninggalnya ia tinggal serta dimakamkan di Jatinom.

Pada masa Ki Ageng Gribig dan Ki Ageng Wonolelo hidup, mereka berada dalam jaman kerajaan Mataram, yang waktu itu diperintah oleh Sultan Agung Anyokrokusuma. Oleh Sultan Agung kedua bersaudara ini diutus untuk menaklukkan kerajaan Palembang karena tidak mengakui kedaulatan Mataram. Ternyata ugas tersebut dapat mereka laksanakan dengan baik, Palembang dapat ditaklukkan. Selama hayat kedua tokoh ini menyebarkan ilmu yang dimiliki di tempat masing-masing. Ki Wasibagena Alit atau Ki Ageng Gribig di Jatinom (Klaten) dan Ki Jumadigena atau Ki Ageng Wonolelo di Pondok Wonolelo, Widadamartani, Ngemplak, Sleman.

4) Komponen Upacara

- Waktu dan Tempat Upacara

Secara keseluruhan penyelenggaraan Upacara Saparan Wonolelo di Pedukuhan Pondok Wonolelo, tetapi menurut acara yang tersusun pusat penyelenggaraan upacara dilakukan di dua tempat, yaitu di rumah kepala desa Widadamartani (yang kebetulan juga keturunan Ki Ageng Wonolelo) di Pondok Wonolelo (di rumah ini tersimpan salah satu pusaka Ki Ageng Wonolelo), dan tempat yang kedua yaitu di kompleks makam Ki Ageng Wonolelo.

Di rumah kepala desa Widadamartani digunakan sebagai tempat untuk mempersiapkan barisan yang akan membawa (ngarak) pusaka Ki Ageng Wonolelo dan tempat untuk menyelenggarakan tahillan. Di tempat ini pula dikumpulkan semua pusaka Ki Ageng Wonolelo yang akan diarak atau dibawa ke makam Ki Ageng Wonolelo. Makam Ki Ageng Wonolelo dianggap sebagai tempat keramat atau sakral. Hal mudah dapat dimengerti, karena makam (kuburan) dibayangkan sebagai tempat di mana orang yang paling mudah berhubungan dengan arwah nenek-rnoyang (Koentjaraningrat, 1977).

Di makam Ki Ageng Wonolelo ini diselenggarakan upacara penghormatan terhadap Ki Ageng Wonolelo oleh anggota trah Ki Ageng Wonolelo yang diikuti pula oleh para peziarah.

Upacara penghormatan ini diisi dengan tabur bunga (nyekar). Upacara di makam Ki Ageng Wonolelo ini diakhiri dengan pembagian apem kepada ketunman Ki Ageng Wonolelo dan para peziarah lainnya. Mendahului seluruh rangkaian upacara di makam Ki Ageng Wonolelo ini adalah pembacaan riwayat singkat Ki Ageng Wonolelo.

Dari segi waktu, Upacara Saparan Wonolelo dilaksanakan satu kali dalam setiap tahun, yaitu jatuh pada bulan Jawa "Sapar". Menurut keterangan salah seorang anggota trah Ki Ageng Wonolelo, hari pelaksanaan upacara ini adalah Kamis pahing malam Jum'at Pon, sebelum bulan Pumama. Menurut riwayat, dasar yang dipakai untuk menentukan waktu penyelenggaraan upacara adalah ilham yang dahulu pernah diterima oleh Lurah Purwowidodo ketika sedang bersemedi. Tradisi ini sudah berlangsung sejak 1969.

- Penyelenggaraan Upacara

Penyelenggaraan Upacara Saparan Wonolelo secara teknis dilakukan oleh keturunan Ki Ageng Wonolelo yang tergabung dalam trah Ki Ageng Wonolelo. Akan tetapi dalam pelaksanaan operasionalnya diserahkan kepada suatu panitia, yang dibentuk dan terdiri dari anggota trah Ki Ageng Wonolelo. Melalui panitia inilah pelaksanaan penyelenggaraan upacara dapat berjalan lancar dan teratur.

Khusus tentang pelaksanaan puncak upacara yakni ngarak pusaka peninggalan Ki Ageng Wonolelo diserahkan kepada Kepala Dukuh Pondok Wonolelo dan Juru Kunci makam Ki Ageng Wonolelo. Dalam pelaksanaan upacara Kepala Dukuh memimpin "tahlilan", yang diselenggarakan sebelum pengarakan pusaka. Kemudian yang memimpin upacara di makam adalah Juru Kunci. Tugas Juru Kunci di sini mengatur para peziarah yang akan caos atau "memberikan makanan" kepada Ki Ageng Wonolelo. Bahkan di sini ia berlaku sebagai perantara yang menyampaikan hajat mereka kepada Ki Ageng Wonolelo melalui doa-doa yang diucapkan sang Juru Kunci.

Sementara itu, berkenaan dengan dana yang dibutuhkan untuk penyelenggaraan upacara ini pada dasarnya dikumpulkan dan swadaya warga masyarakat Pondok Wonolelo, sumbangan dari para anggota trah Ki Ageng Wonolelo, dan pada perkembangan belakang ini dana juga diperoleh dari donatur perorangan dan perusahaan-perusahaan serta sumbangan dari instansi pemerintah yang terkait, seperti Pemda Tingkat II Sleman.

Dalam penyelenggaraannya, upacara ini melibatkan beberapa individu terutama yang merasa keturunan Ki Ageng Wonolelo dan yang tergabung dalam trah Ki Ageng Wonolelo. Pihak anggota trah inilah yang terlibat langsung dalam penyelenggaraan Upacara Saparan Wonolelo, sebab mereka inilah yang mempunyai kepentingan langsung atas terselenggaranya upacara tersebut.

Disamping anggota trah Ki Ageng Wonolelo, warga masyarakat lain di Pedukuhan Pondok Wonolelo, warga masyarakat di Desa Widadamartani, bahkan warga masyarakat di luar desa ikut berpartisipasi dalam upacara tersebut. Adapun kemungkinan tujuan kedatangan orang dari luar daerah antara lain : (1) hanya akan melihat bagaimana upacara itu berlangsung, (2) untuk berziarah ke makam Ki Ageng Wonolelo guna mendapatkan berkahnya, dan (3) sambil berziarah juga ingin melihat keramaian pembagian apem dan berusaha mendapatkan apem tersebut.

Untuk melancarkan penyelenggaraan upacara ini terlibat pula pihak pemerintah Kecamatan Ngemplak dan Desa Widadamartani dan juga terutaina Pedukuhan Pondok Wonolelo. Keterbitan pihak pemerintah setemapt itu wajar, mengingat bagaimana penyelenggaraan Upacara Saparan Wonolelo ini merupakan upacara tradisional yang memberkian ciri-ciri adat istiadat budaya masyarakat setempat. Untuk itulah maka wajar kalau pihak pemerintah setempat melibatkan diri dalam penyelenggaraan ini.

- Peralatan dan Sesaji

Diantara pusaka-pusaka peninggalan Ki Ageng Wonolelo tersebut, dalam Upacara Saparan Wonolelo yang diselenggarakan hanya dapat ditampilkan empat pusaka, yaitu : (1) Kyai Gondhil, (2) Kitab Suci AI-Qur'an, (3) Kopyah, dan (4) Cupu (potongan mustaka masjid).

Sementara itu, pusaka Kyai Bandhil dan teken (tongkat) telah musnah. Keempat pusaka yang masih ada, tersimpan dan dirawat oleh anggota trah Ki Ageng Wonolelo yang dianggap mampu dan sanggup (kuwat kanggonan), seperti kopyah disimpan keturunan Ki Ageng Wonolelo yang tinggal di Umbulmartani, AI-Qur'an di Sambirejo-Kalasan, cupu di Cangkringan, dan Kyai Gondhil di Pondok Wonolelo. Setahun sekali dalam Upacara Saparan, pusaka-pusaka itu dikumpulkan di Pondok untuk diarak ke makam Ki Ageng Wonolelo.

Perlengkapan lain yang perlu dipersiapkan adalah oli, yaitu sebanyak jumlah pusaka yang diarak. Joli ini adalah bangunan mirip rumah joglo dalam ukuran kecil yang digunakan untuk menempatkan pusaka yang akan diarak. Joli ini baru digunakan dalam Upacara Saparan sejak tahun 1985. Perlengkapan lainnya lagi adalah saji-sajian yang disertakan dalam tahlilan, antara lain nasi tumpeng, ketan-kolak, apem, ingkung ayam, dan gelas minuman teh, dan lain - lain yang semuanya diletakkan di atas meja. Sajian lainnya yang disertakan adalah pisang raja dan bunga-bungaan serta kemenyan.

Di antara kelengkapan sajian yang harus ada, apem merupakan sajian pokok yang tidak boleh ditinggalkan. Apem ini dibuat dari tepung beras yang cara memasaknya dengan digoreng. Untuk menimbulkan rasa manis tepung beras yang sudah dicampur air secukupnya, dicampur dengan gula Jawa (gula kelapa). Apem ini tidak saja panitia yang membuat, tetapi seluruh penduduk Pedukuhan Pondok Wonolelo juga membuat, yaitu dengan cara gotong-royong melalui kelompok masing-masing. Setelah apem jadi, diserahkan kepada panitia yang bertugas untuk menerima apem. Apam inilah yang memberikan ciri khas Upacara Saparan Wonolelo.

Kalau disimak, adanya apem sebagai unsur penting dalam Upacara Saparan, temyata dilatarbelakangi oleh cerita yang ada di kalangan penduduk yakni sebagai berikut :

"Pada waktu sawah-sawah di wilayah Pedukuhan Pondok Wonolelo terserang hama tikus, semua hasil tanaman gagal dipanen. Hal ini menjadikan keprihatinan penduduk setempat. Peristiwa ini terdengar sampai ke Jatinom-Klaten, yaitu daerah dimana Ki Ageng Gribig dimakamkan, termasuk Juru Kunci makam Jatinom. Sehubungan dengan berita itu timbul niat Juru Kunci untuk menolong saudara - saudaranya di Pondok Wonolelo yang sedang kesulitan pangan.

Oleh karena itulah ia kemudian pergi ke Pondok Wonolelo. Kepergiannya ke Pondok Wonolelo itu dengan membawa kue apem. Apem yang dibawa itu hanya satu, dan sesampai di Pondok Wonolelo Juru Kunci Jatinom ini langsung menemui mertua Kepala Desa Widadamartani yang menyimpan Kyai Gondhil. pakaian pusaka Ki Ageng Wonolelo. Di rumah mertua Kepala Desa Widadamartani, Juru Kunci makarn Jatinom itu menyerahkan kue apem yang dibawa. Kemudian ia berpesan agar apem tersebut diratakan ke seluruh tanah persawahan yang sedang terkena wabah hama tikus. Setelah Juru Kunci makarn Jatinom pergi, kue apem tadi dipotong menjadi empat sama besar. Jumlah potongan apem ini disesuaikan dengan jumlah bendungan air yang mengairi tanah persawahan Pondok Wonolelo. Setiap potong apem tadi ditaruh pada masing-masing bendungan air.

Hal ini dimaksudkan agar tuah terkandung pada apem tadi dapat terbawa oleh aliran air dan menyebar secara merata ke sawah-sawah yang terkena aliran air. Ternyata berkat tuah apem itu hilanglah hama tikus. Dengan demikian penduduk kembali dapat menanami sawahnya dan dengan panen yang mengembirakan. ltulah sebabnya penduduk Pondok Wonolelo dalam mewujudkan terima kasihnya dan rasa kegembiraannya maka mengadakan semacam syukuran. Syukuran ini diadakan pada bulan Jawa Sapar. Perwujudan rasa syukur itu dilanjutkan sampai sekarang, yaitu setiap tahun sekali tetap dalam bulan Sapar, tepatnya setiap hari Jum'at kedua. Dalam penyelenggaraan upacara syukuran itu juga tetap disertai kue apem sekaligus sebagai tanda untuk mengingat bahwa karena apem ini maka penduduk Wonolelo terbebas dan kesulitan hidup (kegagalan panen)".

Demikianlah riwayat asal mula penyelenggaraan Upacara Saparan Wonolelo yang selalu menyertakan apem di dalamnya. Dalam hal ini memang ada hubungan antara Saparan di Pondok Wonolelo dengan Saparan di Jatinom-Klaten (Yokowiyu), yaitu sama-sama menyertakan apem sebagai bagian penting di dalamnya. Hal tersebut juga dilatarbelakangi oleh adanya hubungan antara Ki Ageng Wonolelo (di Pondok Wonolelo) dengan Ki Ageng Gribig (di Jatinom-Klaten), dan ada anggapan bahwa kedudukan Ki Ageng Wonolelo lebih tua daripada Ki Ageng Gribig, sehingga pelaksanaan upacaranyapun di Wonolelo lebih dahulu satu minggu baru kemudian di Jatinom.

b) Jalannya Upacara

Dalam Upacara Saparan Wonolelo tidak dikenal adanya tahapan upacara, hanya saja dapat dikemukakan bahwa dalam rangkaian penyelenggaraan Upacara Saparan Wonolelo ini diatur melalui tahap-tahap tertentu, yakni tahapan sebagai pertanda bahwa Upacara Saparan Wonolelo itu dimulai sampai dengan berakhirnya. Adapun tahapan upacara itu adalah sebagai berikut:

- Tahap yang menandai dimulainya upacara, yaitu "tahlilan". Tahlilan ini diikuti oleh beberapa orang laki-laki yang beipakaian kejawen (kain, baju surjan / peranakan, dan blangkon) yang mewakili atau sebagai utusan dan kelompok-kelompok yang ada di Pedukuhan Pondok Wonolelo.

- Tahap penyerahan pusaka Ki Ageng Wonolelo di makam. Pihak yang menerima pusaka adalah Juru Kunci makam Ki Ageng Wonolelo.

- Tahap pembacaan riwayat singkat Ki Ageng Wonolelo oleh salah seorang keturunan yang ditunjuk oleh trah Ki Ageng Wonolelo.

- Tahap tabur bunga (nyekar) di makam Ki Ageng Wonolelo dan Nyi Ageng Wonolelo yang dilakukan oleh seluruh keturunan Ki Ageng Wonolelo yang kemudian diikuti oleh para peziarah lainnya.

- Tahap membawa kembali pusaka-pusaka Ki Ageng Wonolelo ke tempat semula.

- Tahap pembagian apem yang dilakukan oleh trah Ki Ageng Wonolelo kepada para peziarah.

Selanjutnya diadakan wungon (tidak tidur) sampai saat subuh tiba, baik oleh trah Ki Ageng Wonolelo maupun para peziarah lainnya.

Dalam penyelenggaraan Upacara Saparan Wonolelo ini hal-hal yang perlu dipersiapkan agar lancar pada waktu melaksanakannya (pengurus) anggota trah Ki Ageng Wonolelo, selalu membicarakan segala sesuatu yang perlu diadakan guna melengkapi upacara yang akan dilaksanakan nanti. Biasanya untuk mengurus segala kepentingan penyelenggaraan upacara oleh sesepuh trah Ki Ageng Wonolelo dibentuk panitia penyelenggara. Mereka inilah yang nantinya bertanggung jawab terhadap terselenggaranya Upacara Saparan Wonolelo, sejak dari awal sampai dengan selesainya upacara.

Adapun perlengkapan yang perlu dipersiapkan adalah pengumpulan pusaka-pusaka peninggalan Ki Ageng Wonolelo, yang digunakan Ki Ageng Wonolelo pada waktu menunaikan tugasnya untuk menyebarkan dan mengajarkan agama Islam di belahan Utara daerah Yogyakarta, khususnya di Pondok Wonolelo. Pusaka-pusaka itu tidak tersimpan menjadi satu, tetapi disimpan terpencar oleh keturunan Ki Ageng Wonolelo, yang dianggap mampu dan kuat menyimpan pusaka tersebut. Demikianlah pusaka itu tersimpan di Pondok Wonolelo, Sambirejo-Kalasan, Argomulyo, dan Cangkringan.

Menurut keterangan salah seorang anggota trah, Ki Ageng Wonolelo mempunyai pusaka-pusaka yang ditinggal kepada keturunannya, yang meliputi bentuk-bentuk sebagai benkut:

1. Baju atau Kutang Ontrokusurno yang disebut "Gondhil".

2. Bandhil, yang berupa tali yang konon menurut riwayatnya digunakan Ki Ageng Wonolelo pada waktu babad alas (membuka hutan) yang sekarang disebut Pondok Wonolelo. Menurut keterangan sementara anggota trah Ki Ageng Wonolelo, pusaka Bandhil ini nurco (hilang), katanya menjadi mustaka masjid Jatinom. Hilangnya bandhil ini bersamaan dengan lenyapnya masjid Ki Ageng Wonolelo.

3. Kitab Suci AI-Qur'an, kitab suci ini ditulis tangan dan yang melakukan adalah Ki Ageng Wonolelo sendiri.

4. Sempalan mustaka masjid yang dulu didirikan Ki Ageng Wonolelo. Menurut penduduk setempat sempalan mustaka masjid ini disebut "cupu".

5. Kopyah, yang digunakan Ki Ageng Wonolelo pada waktu mendapat tugas dari Sultan Agung di Mataram untuk menaklukkan kerajaan Palembang. Dengan kopyah ini Ki Ageng Wonolelo dapat dengan mudah menaklukkan kerajaan Palembang.

Konon riwayat yang dituturkan prajurit kerajaan Palembang lari pontang-panting

pada waktu Ki Ageng Wonolelo memiringkan kopyah di kepalanya.

6. Teken (tongkat), yang digunakan Ki Ageng Wonolelo pada waktu menyebarkan agama Islam di Pondok Wonolelo. Menurut riwayat khasiat teken ini kalau ditancapkan di tanah dapat mengeluarkan air. Hal ini pemah dilakukan Ki Ageng Wonolelo pada waktu menolong penduduk di salah satu daerah yang kekurangan air. Namun menurut keterangan pusaka teken ini sekarang sudah tidak ada lagi, tidak ada orang yang tahu di mana tempatnya.

Untuk melacak asal-usul benda-benda pusaka peninggalan Ki Ageng Wonolelo itu, dapat diikuti hikayat yang ada di kalangan penduduk yang isinya sebagai berikut :

"Seperti telah dikemukakan di atas, sebelum menetap di Pondok Wonolelo tempat tinggal Ki Ageng Wonolelo selalu berpindah-pindah. Menurut hikayat itu beliau pernah tinggal di Desa Karanglo, kemudian pindah ke Desa Turgo di sebelah Selatan gunung Merapi. Dan Turgo Ki Ageng Wonolelo, yang waktu itu bemama Ki Ageng Turgo pergi menuju ke arah Selatan sampai di Desa Wonogiri, yang letaknya di sebelah Utara Pakem. Seterusnya berjalan lagi lebih ke Selatan sampai Desa Pakem sekarang.

Dan Pakem Ki Ageng melanjutkan perjalanannya ke arah Tenggara sampai di Desa Klancingan sekarang. Di situ, yakni di Desa Klancingan Ki Ageng Wonolelo duduk beristirahat, tongkatnya ditancapkan di tanah di dekat tempat duduknya. Setelah rasa capeknya hilang beliau menuju ke arah pohon japlak, yang kebetulan tumbuh di dekat tempat beliau beristirahat.

Ki Ageng Wonolelo lalu mengumpulkan daun-daunan dan pohon japlak tadi, kemudian diatur sedemikian rupa sehingga menjadi lebar dan menyerupai selembar kain. Susunan daun japlak itu dibuat pakaian yang menyerupai ontrakusuma (baju rompi tokoh wayang Gatutkaca). Pakaian ini selalu dikenakan oleh Ki Ageng Wonolelo dan dijadikan pusaka yang disebut "Kyai Gondhil". Kecuali pakaian Kyai Gondhil yang dibuat dari daun japlak, Ki Ageng Wonolelo juga mengambil serat dari pohon japlak itu. Serat-serat itu diatur sedemikian juga sehingga menjadi ikat pinggang yang digunakan Ki Ageng Wonolelo. Ikat pinggang itu berbentuk tali dan diberi nama "Kyai Bandhil". Ikat pinggang inipun dianggap sebagai pusaka Ki Ageng Wonolelo.

Dari pohon japlak itu pula Ki Ageng Wonolelo mengumpulkan bunga-bungaan dan diatur sedemikian rupa sehingga menjadi topi atau kopyah. Kopyah inipun dijadikan pusaka oleh Ki Ageng Wonolelo. Ketiga pusaka yang dibuat dari pohon japlak itu, yakni Kyai Gondhil (pakaian), Kyai Bandhil (ikat pinggang), dan Kopyah selalu dikenakan Ki Ageng Wonolelo ke manapun pergi untuk menyebarkan dan mengajarkan agama Islam.

Sedangkan tongkat yang ditancapkan Ki Ageng Wonolelo tadi tumbuh menjadi pohon mangga yang mempunyai keanehan, yaitu apabila ada bunyi petir daunnya tumbuh lebar hijau wamanya dan buahnyapun banyak, tetapi sebaliknya apabila tidak ada bunyi petir daunnya sedikit berwarna merah dan buahnyapun jarang.

Selanjutnya perjalanan Ki Ageng Wonolelo menuju ke arah Timur Laut dan sampailah di sebelah Barat Desa Balong. Di tempat ini Ki Ageng Wonolelo membuat kolam dan menancapkan tonggak untuk menggantungkan siwur (gayung air yang terbuat dari tempurung kelapa). Siwur ini digunakan untuk mengambil air kolam apabila hendak wudhu. la hanya beberapa waktu saja tinggal di Desa Balong, sebab dari desa ini ia melanjutkan perjalanan ke Desa Lengki.

Sementara itu tonggak yang digunakan untuk menggantungkan siwur itu setelah ditinggalkan Ki Ageng Wonolelo tumbuh menjadi pohon mangga. Konon dalam hikayat itu pohon mangga ini mati bersama-sama dengan pohon mangga di Desa Klancingan. Pada waktu berada di Lengki, Ki Ageng Wonolelo lalu bersemedi. Dari semedinya ini beliau memperoleh ilham yang berisi "kilengna kekarepanmu", sesudah itu Ki Ageng Wonolelo melepas bandhilnya dan terus berputar-putar hingga mengenai pohon-pohon dan batu-batu yang ada di sekeliling beliau berdiri. Di sinilah beliau mulai babad alas (membuka hutan) dengan alat bandhil-nya.

Oleh karena kesaktian beliau, tempat-tempat atau bagian hutan yang terkena bandhil-nya, baik berupa pohon-pohon maupun batu-batu besar, dalam waktu singkat telah hancur dan berubah menjadi tanah datar yang terbuka luas, yang dapat diusahakan sebagai lahan pertanian.

Selanjutnya dan Lengki, Ki Ageng Wonolelo meneruskan perjalanannya sampai ke Desa Pandak. Di sini beliau membuat kolam untuk wudhu, masjid, dan rumah untuk tempat tinggal, karena di rumah ini Ki Ageng Wonolelo memberikan ajaran agama Islam dan murid-muridnya banyak dan ikut tidur di rumah ini (mondhoK), maka kemudian tempat ini dikenal dengan sebutan Pondok Wonolelo yang seterusnya diambil sebagai nama pedukuhan setempat hingga sekarang.

Sekarang ini kolam yang dibuat Ki Ageng Wonolelo masih ada bekasnya yang berupa tanah cekung yang sudah tidak berair dan ditumbuhi oleh tanaman nanas.

Sedangkan masjidnya sudah tidak ada. hanya diperkirakan bahwa bekas bangunan masjid ini terletak di sebelah Utara kolam. Yang masih tersisa dan bangunan masjid itu adalah sepotong kayu bekas andheh masjid yang sekarang tersimpan di bekas tempat tinggal Ki Ageng Wonolelo.

Menurut keterangan, setelah masjid itu rusak kerangka bangunannya dipindahkan ke Jatinom, kecuali potongan andheh tadi. Kemudian bekas rumah tempat tinggal Ki Ageng Wonolelo masih utuh sampai sekarang. Hanya dindingnya diganti dengan dinding batu, hal ini dimaksudkan untuk tetap menjaga keutuhan dan kelestarian kerangka rumah yang menurut keterangan masih "asli" dan "utuh".

Demikianlah isi hikayat yang menuturkan asal mula benda-benda pusaka Ki Ageng Wonolelo, yaitu Kyai Gondhil, Kyai Bandhil, kopyah, token (tongkat), AI-Qur'an (yang ditulis tangan pada waktu mengajarkan agama Islam di Pondok Wonolelo), dan cupu (potongan mustaka masjid yang didirikan Ki Ageng Wonolelo). Hal ini juga dianggap pusaka adalah rumah tempat tinggal Ki Ageng Wonolelo, tanah bekas bangunan masjid, dan kolam atau blumbang yang digunakan Ki Ageng Wonolelo untuk wudhu.

Setelah semua peralatan dan kebutuhan upacara selesai dipersiapkan, maka upacara mengarak pusaka Ki Ageng Wonolelo dimulai. Jalannya upacara dimulai dengan acara pertemuan diantara para pejabat setempat, yakni dan pejabat-pejabat pemerintah di tingkat kelurahan setempat, kecamatan, dan kabupaten (Sleman) dengan para keturunan Ki Ageng Wonolelo dan juga para peziarah. A

cara pertemuan itu bertempat di tempat tinggal Kepala Desa Widadamartani, karena di tempat ini tersimpan salah satu pusaka Ki Ageng Wonolelo, yaitu Kyai Gondhil yang dikenakan Ki Ageng Wonolelo pada waktu babad alas (membuka hutan) Wonolelo.

Setelah acara pertemuan itu selesai, kemudian dipersiapkan pusaka-pusaka Ki Ageng Wonolelo, yaitu Kyai Gondhil, Kopyah, AI-Qur'an, dan Cupu (potongan mustaka masjid).

Masing-masing pusaka ini dimasukkan ke dalam joli-joli yang telah disiapkan pula sebelumnya. Joli-joli yang berisi pusaka-pusaka Ki Ageng Wonolelo ini masing-masing dipikul oleh empat orang laki-laki yang kesemuanya mengenakan pakaian peranakan, seperti abdi dalem Keraton Yogyakarta.

Sekitar pukul 17.00 adalah saat diberangkatkannya arak-arakan (iring-iringan) pembawa pusaka-pusaka Ki Ageng Wonolelo dan rumah Kepala Desa Widadamartani menuju ke makam. Susunan barisan pembawa pusaka itu adalah sebagai berikut :

1. Paling depan adalah kelompok putri.

2. Barisan putri domas dengan mengenakan kebaya seragam berwama biru dan yang membawa bunga-bungaan.

3. Di belakang putri domas adalah barisan prajurit lengkap dengan senjata tombaknya.

4. Joli-joli di dalamnya ditaruh pusaka-pusaka Ki Ageng Wonolelo, dengan urutan paling depan Kyai Gondhil, disusul Kopyah, Kitab Suci AI-Qur'an, dan paling belakang Cupu (potongan mustaka masjid Ki Ageng Wonolelo).

5. Di belakang barisan joli-joli adalah barisan anak-cucu keturunan Ki Ageng Wonolelo.

6. Barisan paling akhir adalah para peziarah.

Apabila segala sesuatunya sudah selesai diatur, maka iring-iringan itu diberangkatkan dari rumah Kepala Desa Widadamartani menuju ke makam Ki Ageng Wonolelo. Jarak tempuh kedua lokasi itu adalah sekitar 1,5 km. Di sepanjang jalan menuju makam itu banyak pengunjung yang berdiri di sisi-sisi jalan untuk menyaksikan pusaka-pusaka peninggalan Ki Ageng Wonolelo. Mereka selain ingin tahu, juga ingin ngalab bekah (memperoleh berkat).

Sesampainya di kompleks makam, iring-iringan berjalan pelan memasuki halaman makam dan terus menuju ke makam Ki Ageng Wonolelo. Yang masuk adalah barisan putri domas, sedangkan barisan prajurit tidak masuk tetapi hanya duduk bersimpuh di luar bangunan (cungkup) makam.

Setelah barisan prajurit pengiring mendekati makam disusul barisan pembawa joli-joli berisi pusaka-pusaka Ki Ageng Wonolelo. Pusaka-pusaka ini selanjutnya disemayamkan di dekat makam. Pusaka yang pertama kali dimasukkan ke dekat makam adalah Kyai Gondhil, kemudian Kopyah, disusul Kitab Suci Al Qur'an, dan terakhir Cupu. Pihak yang berkewajiban menerima pusaka dari pimpinan rombongan pembawa pusaka adalah Juru Kunci makam Ki Ageng Wonolelo.

Di makam Ki Ageng Wonolelo upacara dimulai dengan pembacaan riwayat singkat Ki Ageng Wonolelo oleh salah seorang kerabat keturunan Ki Ageng Wonolelo. Setelah pembacaan itu selesai, dilakukan dengan upacara tabur bunga atau nyekar. Tabur bunga ini dilakukan oleh semua kerabat keturunan Ki Ageng Wonolelo yang kemudian disusul oleh para peziarah lainnya secara bergantian.

Puncak acara Saparan yang berupa arak-arakan pusaka Ki Ageng Wonolelo di Pondok Wonolelo ini adalah pembagian kue apem kepada para peziarah atau kepada siapa saja yang minta apem tersebut. pembagian apem ini dilakukan setelah pusaka-pusaka tadi dibawa kembali ke rumah Kepala Desa Widadamartani oleh barisan pengarak pusaka. Dengan telah dikembalikannya pusaka-pusaka Ki Ageng Wonolelo ke tempat semula dan dengan berakhirnya pembagian apem, maka secara prinsip berakhir pula seluruh rangkaian Upacara Saparan Wonolelo.

c) Makna Simbol Upacara

Setiap kegiatan keagamaan seperti upacara dan selamatan mempunyai makna dan tujuan yang diwujudkan melalui simbol-simbol atau lambang-lambang yang terkandung dalam upacara dan selamatan itu. Simbol-simbol ini wujud konkretaya antara lain seperti bahasa dan benda-benda yang menggambarkan latar belakang, maksud dan tujuan upacara itu dan bisajuga lambang ini diwujudkan dalam bentuk makanan-makanan, yang dalam selamatan adalah sesaji atau sajen.

Simbol-simbol ini dalam upacara yang diselenggarakan berperan sebagai media untuk menunjukkan secara semu maksud dan tujuan upacara yang dilakukan oleh individu-individu pendukungnya. Di balik simbol-simbol itu adalah petunjuk-petunjuk leluhur yang harus dan wajib dilaksanakan oleh anak-cucu keturunannya. Di balik simbol-simbol itu pula terkandung misi luhur untuk mempertahankan nilai budaya dengan cara melestarikannya. Selain simbol-simbol yang digunakan dalam pelaksanaan upacara itu menggambarkan pemyataan bersama dan individu-individu dalam melakukan hubungan secara pribadi di antara mereka, dan yang melembaga dalam wujud "nilai normatif".

Dari kalimat ini jalan ditunjukkan pula bahwa simbol-simbol yang dibawa dalam upacara itu merupakan gambaran hubungan antara individu-individu secara pribadi yang dilembagakan sebagai norma yang dinilai tinggi, norma yang harus dihormati bersama. Sebab norma ini merupakan konsensus bersama dari sebagian besar warga masyarakat yang dinyatakan sebagai pedoman tingkah laku warga masyarakat.

Demikianlah Upacara Saparan Wonolelo, yang kalau diamati memang mempunya makna yang luhur. Makna yang luhur dan yang terkandung dalam upacara ini tersirat melalui simbol-simbol yang diwujudkan dalam bentuk peralatan upacara seperti pusaka-pusaka Ki Ageng Wonolelo yang digunakan pada waktu Ki Ageng Wonolelo babad alas (membuka hutan) Wonolelo dan menyebarkan agama Islam di daerah Wonosobo, pisang raja dan apem yang dibagikan atau disebarkan kepada masyarakat luas.

Pusaka-pusaka Ki Ageng Wonolelo yang terdiri dari Kyai Gondhil, pakaian yang selalu dikenakan Ki Ageng Wonolelo pada waktu babad alas dan menyebarkan ajaran agama Islam, Kopyah, yang dikenakan Ki Ageng Wonolelo pada waktu ditulis Sultan Agung Hanyokrokusumo menaklukkan kerajaan Palembang, kitab suci AI-Qur'an yang ditulis sendiri oleh Ki Ageng Wonolelo dalam usahanya menyebarkan agama Islam, Cupu atau potongan mustaka masjid Ki Ageng Wonolelo kesemuanya merupakan simbol kebesaran dan keagungan Ki Ageng Wonolelo dalam memberikan landasan hidup bagi manusia khususnya umat Islam pengikut dan keturunan Ki Ageng Wonolelo.

Melalui pusaka-pusaka yang diarak ini hendaknya manusia menyadari akan asal-usulnya terutama bagi keturunan Ki Ageng Wonolelo. Disamping itu juga agar manusia menyadari akan asal-usul atau sangkon paraning dumadi, juga hendaknya keturunannya mewarisi apa-apa yang telah diperbuat Ki Ageng Wonolelo untuk kepentingan hidup manusia. Pewarisan nilai-nilai ajaran Ki Ageng Wonolelo hendaknya ditularkan kepada mereka yang memerlukan dan yang membutuhkan pertolongan.

Pisang raja {gedhang raja) melambangkan bahwa adanya harapan atau himbauan anak cucu Ki Ageng Wonolelo di mana saja berada selalu memperoleh perlindungan-Nya, rahmat- Nya dan berkat-Nya selalu hidup berbahagia dan pangkat atau kedudukan layak dalam hidup bermasyarakat. Melalui amal dan perbuatan Ki Ageng Wonolelo hendaknya Yang Maha Kuasa melimpabkan berkat-Nya agar keturunan Ki Ageng Wonolelo selalu hidup tenteram.

Apem yang juga disertakan sebagai kelengkapan dalam upacara ini melambangkan perlindungan atau pengayoman leluhur kepada keturunannya. Maksudnya keturunan itu agar terhindar dan segala macam gangguan gaib dan selalu memperoleh keselamatan, ketenteraman dan bahagia dalam hidupnya. Hal ini sebenarnya dialami sendiri oleh kaum kerabat keturunan Ki Ageng Wonolelo yang tinggal di Pondok Wonolelo, yaitu pada waktu mereka mengalami masa mengalami masa paceklik karena sawah mereka terserang hama tikus. Namun berkat apem yang dibawa dan Jatinom-Klaten, maka hama tikus itu hilang dan sawahnya menjadi subur, yang seterusnya membawa kemakmuran penduduk Pondok Wonolelo yang keturunan Ki Ageng Wonolelo.

Disamping lambang-lambang atau simbol-simbol tadi dalam Upacara Saparan pengendalian arakan pusaka Ki Ageng Wonolelo ini juga disertakan tumpeng robyong dan bunga-bungaan sebagaimana lazimnya kelengkapan upacara dan selamatan lainnya. Pada umumnya tumpeng robyong ini melambangkan manifestasi yang menggambarkan hidup manusia yang tidak lepas dan kosmologinya. Tumpeng robyong ini juga menggambarkan menyatunya manusia (kawula) dengan Yang Maha Kuasa {Gusti) yang menciptakan manusia, alam, dan seisinya. L

ambang tumpeng ini memberikan kesan hendaknya manusia selalu ingat kepada Gusti Yang Maha Kuasa dan yang memberi hidup bagi manusia dan jagad seisinya untuk hidup manusia itu sendiri. Adapun bunga-bungaan yang disertakan pula dalam upacara ini adalah memberikan simbol keharuman Ki Ageng Wonolelo yang dalam perjuangannya selalu ditujukan untuk kepentingan manusia. lbarat tiada cacat usaha Ki Ageng Wonolelo ini untuk berbuat baik sesuai dengan tuntutan ajaran agama yang dianutnya, yaitu Islam. Budinya yang luhur hendaknya dapat diwarisi oleh keturunannya. Demikianlah harum wanginya bunga-bunga ini menandakan budi Ki Ageng Wonolelo yang mempunyai nilai luhur.

Demikianlah makna yang terkandung dalam simbol-simbol upacara. Barangkali hal ini dapat diterapkan dalam suasana masyarakat Indonesia yang sedang membangun, terutama dalam pembangunan di bidang spiritual yang membangun untuk bangsa yang bertanggung jawab dalam segala tindakan dan perbuatan. Dengan watak yang bertanggung jawab ini diharapkan cita-cita bangsa untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia dapat segera terwujud.

d) Perubahan

Dalam kaitannya dengan komponen upacara, secara prinsip dapat dikatakan babwa tidak mengalami perubahan yang berarti. Hanya saja khusus mengenai pihak-pihak yang terlibat, belakangan ini pihak pemerintah ikut melibatkan diri dalam penyelenggaraan upacara.

Dengan demikian keterlibatan pihak pemerintah ini berakibat lebih lanjut pada proses! Atau jalannya upacara. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa tiap-tiap tahun Upacara Saparan Pondok Wonolelo mengalami peningkatan, baik menyangkut peserta upacara maupun para pengunjung. Khusus menyangkut peningkatan jumlah pengunjung ini, dapat dikemukakan bahwa pada Upacara Saparan 1000 karena begitu banyaknya jumlah pengunjung yang memadati jalan masuk yang menuju ke makam Ki Ageng Wonolelo, maka barisan kirab mengalami kesulitan untuk masuk ke kompleks makam sehingga sesaji nasi udhuk dan gunungan apem sudah dijarah oleh massa. Akibat lebih jauh adalah selain prosesi kirab itu gagal masuk ke makam, juga para ulama menjadi tidak kebagian makanan yang terjarah tadi.

[Dinas kebudayaan DIY]

Minggu, 18 Juli 2010

Raden Mas Sumodihardjo

Raden Mas Sumodilogo

Raden Ngabehi Rangga Warsita

Kyai Wedana RM. Sumo Marto



Panembahan Senopati ing Alaga

Sultan Agung Hanyakra Kusuma

Tumbal Mataram

Ki Ageng Mangir

Ki Ageng Giring

Ki Ageng Pemanahan

Sejarah Nama Azmat Khan [IKAZHI]


ASAL NAMA AZMATKHAN

Sejarah mencatat meratanya serbuan dan perampasan bangsa Mongol di belahan Asia. Diantara nama yang terkenal dari penguasa-penguasa Mongol adalah Khubilai Khan. Setelah Mongol menaklukkan banyak bangsa, maka muncullah Raja-raja yang diangkat atau diakui oleh Mongol dengan menggunakan nama belakang “Khan”, termasuk Raja Naserabad, India.

Setelah Sayyid Abdul Malik menjadi menantu bangsawan Naserabad, mereka bermaksud memberi beliau gelar “Khan” agar dianggap sebagai bangsawan setempat sebagaimana keluarga yang lain. Hal ini persis dengan cerita Sayyid Ahmad Rahmatullah ketika diberi gelar “Raden Rahmat” setelah menjadi menantu bangsawan Majapahit.

Namun karena Sayyid Abdul Malik dari bangsa “syarif” (mulia) keturunan Nabi, maka mereka menambah kalimat “Azmat” yang berarti mulia (dalam bahasa Urdu India) sehingga menjadi “Azmatkhan”. Dengan huruf arab, mereka menulis عظمت خان bukan عظمة خان, dengan huruf latin mereka menulis “Azmatkhan”, bukan “Adhomatu Khon” atau “Adhimat Khon” seperti yang ditulis sebagian orang.

Adapun nasab Sayyid Abdul Malik adalah sebagai berikut :

Abdul Malik

bin

Alawi (Ammil Faqih)

bin

Muhammd Shahib Mirbath

bin

Ali Khali' Qasam

bin

Alawi

bin

Muhammad

bin

Alawi

(Asal usul marga Ba'alawi atau Al-Alawi)

bin

Abdullah / Ubaidillah

bin

Ahmad Al-Muhajir Ilallah

bin

Isa

bin

Muhammad

bin

Ali Al-'Uraidhi

bin

Ja'far Ash-Shadiq

bin

Muhammad Al-Baqir

bin

Ali Zainal Abidin

bin

Husain

bin

Ali bin Abi Thalib

dan Fathimah binti Rasulillah SAW.


Sayyid Abdul Malik juga dikenal dengan gelar "Al-Muhajir Ilallah", karena beliau hijrah dari Hadhramaut ke India untuk berda'wah, sebagaimana kakek beliau, Sayyid Ahmad bin Isa, digelari seperti itu karena beliau hijrah dari Iraq ke Hadhramaut untuk berdakwah.

Berkatalah H.M.H. Al-Hamid Al-Husaini dalam bukunya "Pembahasan Tuntas Perihal Khilafiyah".

"Sayyid Abdul Malik Bin Alwi lahir di Kota Qasam, sebuah kota di Hadhramaut, sekitar tahun 574 Hijriah. Beliau meninggalkan Hadhramaut pergi ke India bersama jama'ah para Sayyid dari kaum Alawiyyin. Di India, beliau bermukim di Kota Nashr Abad. Beliau mempunyai beberapa orang anak laki-laki dan perempuan, di antaranya ialah Sayyid Amir Khan abdullah bin Sayyid Abdul Malik, yang lahir di Kota Nashr Abad, ada juga yang mengatakan bahwa beliau lahir di sebuah desa di dekat Kota Nashr Abad. Beliau adalah putra kedua dari Sayyid Abdul Malik".

Nama putra Sayyid abdul Malik adalah "Abdullah", penulisan "Amir Khan" sebelum "Abdullah" adalah penyebutan gelar yang kurang tepat, adapun yang benar adalah Al-Amir Abdullah Azmat Khan. Al-Amir adalah gelar utuk pejabat wilayah. Sedangkan, Azmat Khan adalah marga beliau mengikuti gelar Ayahanda.

Sebagian orang ada yang menulis "Abdullah Khan", mungkin ia hanya ingat "Khan" nya saja, karena marga "khan" (tanpa Azmat) memang populer sebagai marga bangsawan di kalangan orang India dan Pakistan. Maka penulisan "Abdullah Khan" itu kurang tepat, karena "Khan" adalah marga bangsawan Pakistan asli, bukan marga beliau yang merupakan pecahan dari marga Ba'alawi, atau Al-Alawi Al-Husaini.

Ada yang berkata bahwa di India, mereka juga menulis Al-Khan, namun yang tertulis dalam buku nasab Alawiyyin adalah Azmat Khan, bukan Al-Khan, sehingga penulisan Al-Khan akan menyulitkan pelacakan di buku nasab.

Sayyid Abdullah Azmat Khan pernah menjabat sebagai Pejabat Diplomasi Kerajaan India, beliau pun memanfaatkan jabatan itu untuk menyebarkan Islam ke berbagai negeri. Sejarah mencatat bagaimana beliau bersaing dengan Marcopolo di daratan Cina, persaingan itu tidak lain adalah persaingan di dalam memperkenalkan sebuah budaya.

Sayyid Abdullah memperkenalkan budaya Islam dan Marcopolo memperkenalkan budaya barat. Sampai saat ini, sejarah tertua yang kami dapat tentang penyebaran Islam di Cina adalah cerita Sayyid Abdullah ini. maka, bisa jadi beliau adalah penyebar Islam pertama di Cina, sebagaimana beberapa anggota Wali Songo yang masih cucu-cucu beliau adalah orang pertama yang berda'wah di tanah Jawa.

H.M.H. Al-Hamid Al-Husaini melanjutkan :

"Ia (Sayyid Abdullah) mempunyai anak lelaki bernama Amir Al-Mu'azhzham Syah Maulana Ahmad".

Nama beliau adalah Ahmad, adapun "Al-Amir Al-Mu'azhzham" adalah gelar berbahasa Arab untuk pejabat yang di agungkan, sedangkan "Syah" adalah gelar berbahasa Urdu untuk seorang raja, bangsawan dan pemimpin, sementara "Maulana" adalah gelar yang dipakai oleh muslimin India untuk seorang Ulama Besar.

Sayyid Ahmad juga dikenal dengan gelar "Syah Jalaluddin".

H.M.H. Al-Hamid Al-Husaini melanjutkan :

"Maulana Ahmad Syah Mu'azhzham adalah seorang besar, Ia di utus oleh Maharaja India ke Asadabad dan kepada Raja Sind untuk pertukaran informasi, kemudian selama kurun waktu tertentu ia di angkat sebagai Wazir (Menteri). Ia mempunyai banyak anak lelaki. Sebagian dari mereka pergi meninggalkan India, berangkat mengembara. Ada yang ke negeri Cina, kamboja, Siam (Thailand) dan ada pula yang pergi ke negeri Anam dari Mongolia Dalam (Negeri Mongolia yang termasuk di dalam wilayah kekuasaan Cina). Mereka lari (?) meninggalkan India untuk menghindari kesewenang-wenangan dan kezhaliman Maharaja India pada waktu terjadi fitnah pada akhir abad ke-7 Hijriah.

Di antara mereka itu yang pertama tiba di Kamboja ialah Sayyid Jamaluddin Al-Husain Amir Syahansyah bin Sayyid Ahmad. Ia pergi meninggalkan India tiga tahun setelah ayahnya wafat. Kepergiannya di sertai oleh tiga orang saudaranya, yaitu Syarif Qamaruddin. Konon, dialah yang bergelar "Tajul-Muluk". Yang kedua ialah Sayyid Majiduddin dan yang ketiga ialah Sayyid Tsana'uddin."

Sayyid Jamaluddin Al-Husain oleh sebagian orang Jawa di sebut Syekh Jumadil Kubro. Yang pasti nama beliau adalah Husain, sedangkan Jamaluddin adalah gelar atau nama tambahan, sehingga nama beliau juga di tulis "Husain Jamaluddin". Adapun "Syahan Syah", artinya adalah Raja Diraja. Namun kami yakin bahwa gelar Syahan Syah itu hanyalah pemberian orang yang beliau sendiri tidak tahu, karena Rasulullah SAW melarang pemberian Syahan Syah pada selain Allah.

Sayyid Husain juga memiliki saudara bernama Sulaiman, beliau mendirikan sebuah Kesultanan di Thailand. Beliau di kenal dengan sebutan Sultan Sulaiman Al-Baghdadi, barangkali beliau pernah tinggal di lama di Baghdad. Nah, Sayyid Husain dan Sayyid Sulaiman inilah nenek motyang daripada keluarga Azmat Khan Indonesia, setidaknya yang kami temukan sampai saat ini.

Sayyid Husain memiliki tujuh orang putra, sebagai berikut :

[1] Sayyid Ibrahim, diketahui memiliki tiga orang putra, antara lain :

1.1. Maulana Ishaq (Ayah Sunan Giri). Keturunannya mulai terdata.

1.2. Sayyid Fadhal Ali Al-Murtadha (Raden Santri). Keturunannya mulai terdata.

1.3. Sayyid Ahmad Rahmatullah (Sunan Ampel). Keturunannya mulai terdata.

[2] Sayyid Barakat, diketahui memiliki empat orang putra, antara lain :

2.1. Sayyid Abdurrahman Ar-Rumi. Belum ada informasi bahwa beliau memiliki keturunan.

2.2. Sayyid Ahmad Syah. Belum ada informasi bahwa beliau memiliki keturunan.

2.3. Maulana Malik Ibrahim. Belum ada informasi bahwa beliau memiliki keturunan.

2.4. Sayyid Abdul Ghafur, diketahui memiliki satu putera, yakni :

2.4.1. Sayyid Ibrahim. Diketahui memiliki dua putera, yakni :

2.4.1.1. Fathullah (Falatehan). Keturunannya mulai terdata.

2.4.1.2. Nyai Mas Gandasari (isteri Sunan Gunung Jati).

[3] Sayyid Ali Nurul Alam, memiliki dua orang putera, antara lain :

3.1. Sayyid Abdullah, memiliki dua orang putra antara lain:

3.1.1. Syarif Nurullah. Keturunannya mulai terdata.

3.1.2. Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati). Keturunannya mulai terdata.

3.2. Sayyid Utsman Haji (sunan Ngudung), menikah dengan cucu Sunan Ampel dan berputera Ja'far Ash-Shadiq (Sunan Kudus). Keturunannya mulai terdata.

3.3. Sayyid Haji Utsman (sunan Manyuran). Keturunannya mulai terdata.

[4] Sayyid Fadhal (Sunan Lembayung). Kami belum mendapatkan riwayat beliau dan belum ada informasi bahwa beliau memiliki keturunan.

[5] Sayyid Abdul Malik. Kami belum mendapatkan riwayat beliau dan belum ada informasi bahwa beliau memiliki keturunan.

[6] Pangeran Pebahar. Kami belum mendapatkan nama Arab dan riwayat beliau. Beliau adalah kakek dari Tuan Faqih Jalaluddin, Ulama Palembang pada masa Sultan Mahmud Badaruddin. Diketahui memiliki keturunan.

[7] Abdillah. Yang ketujuh belum kami dapatkan nama dan riwayatnya dan belum ada informasi bahwa beliau memiliki keturunan.


Adapun Sayyid Sulaiman Al-Baghdadi memiliki tiga orang putera dan seorang puteri yang semuanya berdakwah dan meninggal di Cirebon Jawa Barat, antara lain :

1. Syekh Datuk Kahfi. Diketahui memiliki keturunan.

2. Sayyid Abdurrahman (Pangeran Panjunan). Keturunannya mulai terdata.

3. Sayyid Aburrahim (Pangeran Kejaksan). Diketahui memiliki keturunan.

4. Syarifah Ratu Baghdad, menikah dengan Sunan Gunung Jati.


Asal Usul Keluarga


Ketika Al-Qasim, putra Rasulullah SAW, wafat dalam usia masih kecil, terdengarlah berita duka itu oleh beberapa tokoh musyrikin, diantara mereka adalah Abu Lahab dan ‘Ash bin Wa’il. Mereka kegirangan dengan berita itu, mereka mengejek Rasulullah SAW dengan mengatakan bahwa beliau tidak lagi memiliki anak laki-laki yang dapat melanjutkan generasi keluarga beliau, sementara orang Arab pada masa itu merasa bangga bila memiliki anak laki-laki untuk melanjutkan garis keturunan mereka. Untuk menjawab ejekan Abu Lahab dan ‘Ash bin Wa’il itu, Allah menurunkan surat Al-Kautsar yang ayat pertamanya berbunyi:

Sesungguhnya Kami memberimu karunia yang agung.

Al-Kautsar artinya karunia yang agung, dan karunia yang dimaksud dalam ayat itu adalah bahwa Allah akan memberi banyak keturunan pada Rasulullah SAW melalui putri beliau, Fatimah Az-Zahra’. Sementara Abu lahab dan ‘Ash bin Wa’il dinyatakan oleh ayat terakhir surat Al-Kautsar, bahwa justru merekalah yang tidak akan memiliki keturunan, yaitu ayat..

“Sesungguhnya orang yang mengejekmu itulah yang tidak sempurna (putus keturunan).”

Benarlah apa yang difirmankan oleh Allah, sampai kini keturunan Rasulullah SAW, melalui Al-Hasan dan Al-Husain putra Fatimah Az-Zahra’, benar-benar memenuhi belahan bumi, baik mereka yang dikenal sebagai cucu Rasulullah oleh masyarakat, maupun yang tidak.

Sekedar gambaran, IKAZHI memiliki banyak data tentang silsilah Ulama-ulama Pesantren yang dikenal sebagai “Kiai” Indonesia, khususnya Jawa (termasuk Madura), dimana kebanyakan dari mereka memiliki garis nasab pada Rasulullah SAW, seperti Kiai-kiai keturunan keluarga Azmatkhan, Basyaiban dan sebagainya. Kemudian, di berbagai daerah, kaum santri sangat didominan oleh keluarga-keluarga yang bernasab sama dengan Kiai-kiai itu, bedanya hanya karena beberapa generasi sebelum mereka tidak berprestasi seperti leluhur “keluarga Kiai”, sehingga setelah selisih beberapa generasi, merekapun tidak dikenal sebagai “keluarga Kiai”, tapi hanya sebagai “keluarga santri”.

Di Madura ada semacam “pepatah” yang mengatakan bahwa kalau ada santri yang sampai bisa membaca “kitab kuning” maka pasti dia punya nasab pada “Bhujuk”. Bhujuk adalah julukan buat Ulama-ulama zaman dulu yang membabat alas dan berda’wah di Madura. Semua Bhujuk Madura memiliki nasab pada Rasulullah SAW. Kebanyakan mereka keturunan Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Gunung Jati dan Sunan Kudus. “Pepatah” itu memang hanya dibicarakan di kalangan “orang awam”, namun kenyataan memang sangat mendukung, karena hampir semua masyarakat santri di Madura adalah keturunan “Bhujuk”, sehingga tidak mustahil apabila di Madura orang yang memiliki “darah Rasulullah” lebih banyak daripada yang tidak. Kami banyak mendapati perkampungan yang mayoritas penduduknya masih satu rumpun dari keturunan seorang Bhujuk yang bernasab pada semisal Sunan Ampel dan sebagainya.

Mungkin hal itu akan menimbulkan pertanyaan “mengapa bisa demikian?”. Maka jawabannya adalah bahwa keluarga Bhujuk dan Kiai Madura dari zaman dulu memiliki anak lebih banyak daripada orang biasa, apalagi hampir semua mereka dari zaman dulu -bahkan banyak juga yang sampai sekarang- memiliki istri lebih dari satu, maka tentu saja setelah puluhan generasi maka keturunan Bhujuk-bhujuk itu lebih mendominan pulau Madura.

Kalau ada yang berkata bahwa tidak semua Kiai keturunan “Sunan” itu bergaris laki-laki, bahkan kebanyakan mereka (?) adalah keturunan “Sunan” dari perempuan, maka pertanyaan itu justru dijawab dengan pertanyaan “kenapa kalau bergaris perempuan?”. Islam dan “budaya berpendidikan” telah “sepakat” untuk membenarkan “status keturunan” dari garis perempuan. Paham "garis perempuan putus nasab" berakibat pada penolakan terhadap keturunan Rasulullah sebagai Ahlul-bayt. Ada orang awam yang berkata bahwa Rasulullah SAW tidak memiliki keturunan dari anak laki-laki, Hasan-Husain adalah putra Fathimah yang berarti putus nasab dari Rasulullah SAW. Paham ini sebenarnya adalah warisan bangsa Arab jahiliyah yang pernah diabadikan dalam syair mereka:

“Anak-anak kami adalah keturunan

dari anak-anak laki-laki kami.

Adapun anak-anak perempuan kami,

keturunan mereka adalah anak-anak orang lain.”

Cucu dari anak perempuan itu hanya keluar dari deretan daftar ahli waris, dalam istilah ilmu “Fara’idh” disebut “mahjub” (terhalang untuk mendapat warisan). Namun dalam deretan “dzurriyyah” (keturunan), cucu dari anak perempuan tidak beda dengan cucu dari anak laki-laki; mereka sama-sama cucu yang akan dipanggil “anakku” oleh kakek yang sama. Apabila kakek mereka adalah orang shaleh maka mereka sama-sama masuk dalam daftar keturunan yang akan mendapat berkah dan syafa’at leluhurnya, sebagaimana firman Allah:

“Dan orang-orang yang beriman dan anak-cucu mereka mengikuti mereka dengan beriman, maka Kami gabungkan anak cucu mereka itu dengan mereka .. “ (Q.S. Ath-Thur : 21)

Jadi, madzhab mayoritas para Kiai adalah bahwa cucu dari garis perempuan dan dari garis laki-laki itu sama-sama cucu, kalau kakek mereka ulama shaleh maka -insyaallah- mereka sama-sama akan mendapat berkah. Termasuk anak cucu Rasulullah SAW, baik yang garis silsilahnya laki-laki semua hingga ke Fathimah binti Rasulillah SAW, maupun yang melalui garis perempuan.

Madzhab ini telah lama dianut oleh Kiai-kiai keturunan Walisongo, terbukti dengan banyaknya kiai-kiai yang menulis nasab mereka yang bersambung pada Walisongo melalui garis perempuan. Terbukti pula dengan yang dikenal oleh Kiai-kiai bahwa Syekh Kholil adalah cucu Sunan Gunung Jati, padahal nasab Syekh Kholil pada Sunan Gunung Jati melalui garis perempuan, sedangkan dari garis laki-laki bernasab pada Sunan Kudus.

Kembali ke bab kita, bahwa di Madura banyak terdapat keluarga-keluarga yang memiliki nasab pada Rasulullah, maka seperti di Madura, begitu pula yang terjadi di berbagai wilayah masyarakat Pesantren lainnya di Jawa. Maka bayangkan saja, betapa keturunan Rasulullah SAW telah memenuhi pulau Jawa, belum lagi di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan lain-lain. Ditambah dengan “jamaah habaib” yang memang sudah dikenal dengan “status menonjol” sebagai keturunan Rasulullah SAW.

Ini yang terjadi di Indonesia, dan demikian pula di negeri-negeri non Arab yang lain, seperti Malaysia, Brunei, Singapura, Thailand, Filipina, India, Pakistan, Afrika dan sebagainya. Banyak dari mereka yang sudah membaur dengan penduduk setempat sehingga mereka tidak lagi dikenal sebagai “Habib”, “Sayyid” atau julukan-julukan lainnya. Dalam kitabnya, “’Allimu Auladakum Mahabbata Aalin Nabi”, Syekh Muhammad Abduh Yamani mengatakan bahwa di Afrika banyak terdapat orang-orang kulit hitam yang ternayata memegang sisilsilah pada Rasulullah. Hal itu dikarenakan leluhur mereka berbaur dengan orang kulit hitam, bergaul dan menikah dalam rangka menjalin hubungan sebagai jembatan da’wah. Kenyataan ini menyimpulkan bahwa masih banyak keturunan Rasulullah SAW yang tidak terdata dan tidak dikenal. Itu adalah gambaran jumlah keturunan Rasulullah SAW yang keluar dari tanah Arab dan tidak lagi dikenal sebagai orang Arab. Jumlah yang amat besar ditambah dengan jumlah keturunan Rasulullah SAW yang di Arab.

Maka kenyataan ini membenarkan apa yang dinyatakan oleh Allah SWT dalam surat Al-Kautsar, bahwa Rasulullah SAW akan diberi karunia agung dengan memiliki keturunan yang amat banyak. Sehingga kalau saja beliau dan orang-orang sezaman beliau masih hidup saat ini, maka beliau akan memiliki keluarga terbesar yang tak tertandingi oleh yang lain. Bisa jadi, bila kita mengumpulkan semua keturunan Rasulullah SAW sejak zaman beliau hingga kini, kemudian kita mengumpulkan seratus orang dari sahabat-sahabat beliau beserta keturunan mereka hingga kini, maka jumlah keturunan beliau akan mengalahkan keturunan seratus orang sahabat beliau.


Antara Robithoh Azmatkhan Dan Robithoh Alawiyah


Robithoh Alawiyah adalah ikatan keluarga Ahlul-bayt keturunan Al-Hasan dan Al-Husain putra Ali bin Abi Thalib dan Fathimah binti Rasulillah SAW. Robithoh Alawiyah sudah ada sejak masa khilafah Abbasiah, saat itu dikenal dengan istilah "Niqobah" dan penanggung-jawabnya disebut "Naqib". Sayyid Isa (ayah Sayyid Ahmad Al-Muhajir) dan ayah beliau (Sayyid Muhammad bin Ali Al-'Uradhi) termasuk yang bertanggung jawab atas Niqobah, makanya masing-masing mereka dijuluki An-Naqib.

Awalnyanya Robithoh Alawiyah merupakan lembaga resmi dibawah manajemen pemerintah karena berkaitan dengan masalah kuhumusul-khumus. Kini Robithoh Alawiyah telah menjadi ikatan keluarga yang mandiri dan lebih banyak bergerak dalam bidang koordinasi antar keluarga Alawiyyin. Di tiap negara dimana disitu terdapat Alawiyyin, disitu dibentuk perkumpulan Alawiyyin untuk menjalin silaturrahim, termasuk di Indonesia yang berpusat di Jakarta.

Sebagian orang menganggap bahwa sebagian perkumpulan Alawiyin ada yang saling tidak mengakui keabsahan nasab kelompok lain, baik antar kelompok dalam satu negara maupun lain negara. Maka perlu dipahami bahwa yang terjadi sebenarnya bukan tidak mengakui, melainkan tidak mengenal sehingga tidak bisa mengomentari. Hal ini sangatlah wajar, karena Alawiyyin berpencar ke penjuru dunia sejak belasan abad yang lalu.

Kalaupun memang benar ada kelompok yang menolak kelompok lain, seperti yang terjadi pada sebagian kelompok Alawiyyin Yordania yang tidak mengakui keabsahan nasab keluarga Ba'lawi (Hadhramaut), maka hal ini hanyalah suatu ketidakdewasaan yang terjadi pada sebuah kelompok kecil dan bukan mewakili cara berfikir ahlul-bayt pada umumnya. Apalagi masalah pengakuan nasab itu sudah dibahas oleh ulama fiqih dengan gamblang, bahwa ada aturan didalam mengaku dan menolak sebuah nasab.

Berkaitan dengan Robithoh Alawiyah, Robithoh Azmatkhan tidak termasuk dalam manajemen Robitoh Alawiyah, melainkan hanya membantu Robithoh Alawiyah didalam pendataan, karena sebenarnya pendataan keluarga Azmatkhan juga tugas Robithoh Alawiyah.

Dan didalam pendataan dan pengesahan nasab, Robithoh Azmatkhan memiliki standar yang berbeda dengan Robithoh Alawiyah, standar Robithoh Azmatkhan memiliki tiga istilah tingkatan.

1. Shahih : Silsilah garis laki-laki yang cukup untuk memenuhi standar Robithoh Alawiyah. Yaitu silsilah para Sultan yang diakui sejarah, silsilah keluarga yang dikenal keluarga kesultanan dan silsilah keluarga yang tertulis rapi secara turun temurun tanpa adanya riwayat berbeda. Robithoh Azmatkhan mengesahkan pemilik "Silsilah Shahih" untuk menggunakan nama belakang "Azmatkhan" dan dapat merekomendasikannya kepada Robithoh Alawiyah.

2. Hasan : Silsilah garis laki-laki yang tertulis rapi secara turun temurun, tapi ada beberapa riwayat berbeda yang tidak keluar dari jalur Azmatkhan. Robithoh Azmatkhan mengesahkan pemilik "Silsilah Hasan" untuk menggunakan nama belakang "Azmatkhan", namun tidak dapat merekomendasikannya kepada "Robithoh Alawiyah" sampai mendapatakan argumen yang mengukuhkan salah satu riwayat.

3. Khu'ulah : Silsilah garis perempuan. Dalam standar keabsahan silsilah, khu'ulah sama dengan "Shahih" dan "Hasan", tergantung jenis riwayatnya. Bedanya, pemililik "Silsilah Khu'ulah" diharuskan mencantumkan kalimat "khu'ulah" apabila mau menggunakan nama belakang "Azmatkhan" dan dalam penulisan cukup ditulis "Kh." sehingga menjadi "Azmatkhan Kh.", hal itu untuk tidak mengacau istilah pernasaban yang berlaku dalam budaya Arab. Robithoh Azmatkhan tidak dapat merekomendasikan "Silsilah Hasan" kepada "Robithoh Alawiyah".

Yang dimaksud merekomendasikan pada Robithoh Alawiyah adalah mengusahakan untuk mendapatkan pengesahan resmi sebagai ahlul-bayt yang mendapatkaan hak semisal wakaf Alawiyyin dan khumusul-khumus.

Dalam hal pengakuan sebagai keluarga, Robithoh Azmatkhan sama sekali tidak membedakan antara pemilik Slilsilah Shahih, Silsilah Hasan dan Silsilah Khu'ulah, semua berhak mendapat kartu anggota dengan ketentuan yang ditetapkan dan silsilahnya akan ditulis dalam kartu.

Selebihnya, untuk sementara Robithoh Azmatkhan menyarankan agar anggotanya tidak meminta apalagi menuntut pengesahan dari Robithoh Alawiyah. Apabila nasabnya benar maka kelak di akhirat Rasulullah SAW akan mengakuinya sebagai cucu, tidak kurang dari ahlil-bayt yang telah disahkan oleh Robithoh Alawiyah.


Budaya Toleransi : Tokoh-Tokoh yang menjunjung Tinggi Toleransi


Sejarah mencatat betapa leluahur keluarga Azmatkhan yang tergabung dalam Walisongo sangat toleransi dan amat pandai beradaptasi. Seorang berbangsa Arab dapat duduk bersanding dengan orang-orang jawa, baik bangsawan maupun rakyat jelata Jawa, sementara orang-orang Jawa sendiri justru terkotak-kotak oleh ras yang selama itu mereka pahami. Kalau bukan karena karomah “pandai beradaptasi” serta “pandai menempatkan diri”, tentu mereka tidak akan diterima oleh kaum bangsawan ketika mereka diketahui dekat dengan kaum jelata, dan tentu kaum jelata akan menuhankan mereka karena mereka dapat menaklukkan para penguasa.

Toleransi dan adaptasi terhadap budaya dan lingkungan merupakan salah satu ajaran penting yang ditanamkan oleh leluhur keluarga Azmatkhan, karena mereka tahu bahwa masyarakat Jawa dan sekitarnya memiliki banyak ragam budaya dan kepercayaan, dan tujuan daripada mengedepankan adaptasi adalah untuk mendapatkan simpati. Tidak semua yang benar itu yang terbaik, suatu permasalahan bisa saja memiliki point-point sikap yang dapat dibenarkan, namun dari point-point itu terkadang ada satu saja yang sebaiknya atau bahkan seharusnya dipilih, dengan pertimbangan lebih memungkinkan orang lain bersimpati.

Toleransi dan adaptasi, itulah peninggalan penting ajaran leluhur keluarga Azmatkhan. Kini hal itu telah pudar dari segolongan muslimin yang mengaku penerus perjuangan jihad Walisongo, sehingga ke-kurang toleransi-an itu banyak menimbulkan keributan yang ujungnya justru menempatkan Islam pada target hujatan orang-orang non muslim. Hal itu bisa kita lihat dengan maraknya kasus teror yang kemudian ditemukan seorang muslim ‘fanatik’ sebagai pelakunya, maraknya keributan antar tokoh muslim yang dapat memberi kesan ke-tidak dewasa-an. Maka hendaknya kita telaah kembali sejarah keberhasilan Ulama Salaf Indonesia (tokoh-tokoh Walisongo), dimana kita akan menemukan mereka sebagai tokoh anti fanatisme, tokoh yang toleran dan menjunjung tinggi sikap beradaptasi.


Anti Fanatisme Golongan


Sayyid Abdul Malik mendapatkan gelar Azmatkhan setelah beliau hijrah ke India dalam rangka berda’wah, dan sejak itu keturunan beliau menggunakan “Azmatkhan” sebagai marga, namun mereka tidak suka dengan sikap fanatik masyarakat yang hanya mengedepankan garis keturunan, sehingga merekapun menanggalkan marga ke-sayyid-an agar mereka tidak dihormati lebih karena nasab mereka, mereka sengaja tidak memakai marga “Azmatkhan” atau “Ba’alawi” didalam memenyebut nama mereka, yang di India berbaur dengan orang-orang India bisa, demikian pula yang kemudian keluar dari India.

Maka satu hal yang ditekankan IKAZHI dengan menyuguhkan masalah ini, yaitu agar keluarga Azmatkhan, khususnya yang keluarga Kiai, lebih mengedepankan prestasi daripada trah.

Berangkat dari fanatik terhadap sebuah keluarga, fanatik terhadap sebuah golongan atau madzhab juga akan mendapatkan tempat di hati orang yang kurang wawasan. Fanatik terhadap pecahan golongan atau faham adalah merupakan suatu aib bagi golongan atau faham pada umumnya. Tidak jarang kita menangkap seorang pelaku teror dan si teroris dengan tenangnya menyatakan merasa tidak bersalah. Kefanatikan terhadap sebuah faham membuatnya enggan kompromi dengan faham lain.

Tidak jarang kita menemukan dua tokoh bertikai dan para pendukung mereka berkelahi, kemudian masing-masing menyatakan sama sekali tidak bersalah dengan ulah kekanak-kanakan, itu, karena kefanatikan terhadap seorang tokoh membuat mereka enggan menyimak penjelasan tokoh lain. Nah, ketika mereka yang fanatik dan “berulah” itu membawa nama golongan yang lebih besar, maka tentu saja banyak anggota “golongan yang lebih besar” itu menjadi dirugikan, karena orang diluar golongan mereka akan punya alasan untuk menilai golongan itu sebagai golongan yang tidak simpatik.

Leluhur keluarga Azmatkhan sangat menjunjung tinggi sikap toleransi. Kita semua tahu bahwa pendirian Kesultanan Islam Demak adalah atas prakarsa kelompok Wali Songo yang terdiri dari keluarga Azmatkhan dan waktu itu dipimpin oleh Sunan Ampel. Ketika pendirian Kesultanan Demak dimulai maka Sunan Ampel menunjuk murid beliau, Abdul Fattah (Raden Patah), untuk menduduki kursi kesultanan.

Semula Raden Patah menolak karena merasa ada yang lebih layak untuk menjadi Sultan, beliau memohon agar Sunan Ampel saja yang menjabat sebagai Sultan, namun Sunan Ampel tidak mau dan Raden Patah pun mau setelah Sunan Ampel menyatakan bahwa penunjukan itu adalah sebagai perintah seorang guru pada muridnya.

Dari kejadian itu kita dapat menangkap cara berfikir Sunan Ampel, bahwa beliau sangat toleransi dengan budaya Jawa, beliau tahu kalau semua bangsa memiliki kelompok yang di-bangsawan-kan. Maka Sunan Ampel sama sekali tidak melupakan hal itu walaupun beliau sendiri dan Wali-wali lain yang masih putra-putra dan keponakan beliau- adalah bangsawan-bangsawan Quraisy keturunan Rasulullah SAW, bahkan beliau sendiri adalah menantu keluarga Kerajaan Majapahit.

Sunan Ampel memilih Raden Patah karena beliau adalah orang ‘alim yang memiliki “darah biru” tertinggi menurut bangsa Majapahit, karena beliau adalah putra Prabu Brawijaya V. Sunan Ampel sama sekali tidak merubah tatanan budaya masyarakat Jawa dalam pengangkatan seorang Sultan pemimpim kaum muslimin.

Penyerbuan Demak terhadap Majapahit

Sebagian orang mengira bahwa dalam pertempuran antara Demak dan Majapahit adalah pertempuran antara anak (Raden Patah) dan orang tua (Brawijaya V). Adapun yang benar adalah cerita sebagai berikut.

Pada awal-awal berdirinya Kesultanan Demak, Raden Patah mengajukan pendapat pada Sunan Ampel untuk menaklukkan Majapahit, namun Sunan Ampel menolak dan menjelaskan bahwa bukan demikian cara menyebarkan Islam, tidak ada paksaan dalam Islam. Selama kaum muslimin tidak diserang maka Islam tidak membenarkan penyerangan terhadap non muslim.

Memang benar kata Sunan Ampel, menyerang adalah cara yang pernah dilakukan oleh Dinasti Umawi (Khalifa Mu’awiyah dan penerusnyanya). Mu’awiyah dan anaknya, Yazid, banyak merubah cara-cara Islam, mulai dari sistem Khilafah yang mereka rubah menjadi sistem Kerajaan, hingga cara menyebarkan Islam dengan halus yang mereka rubah menjadi dengan peperangan. Mereka memang berhasil menaklukkan banyak bangsa, namun cara itu sebenarnya tidak berhasil dengan baik, karena bangsa-bangsa yang takluk karena diserang tidak akan memeluk Islam dengan baik, terbukti banyak negeri taklukan Dinasti Umawi yang kemudian murtad atau kembali menjadi bangsa kafir.

Berkatalah seorang sejarahwan Jerman: “Seandainya Mu’awiyah tidak merubah cara Muhammad didalam berda’wah, seandainya ia tidak menyebarkan Islam melalui peperangan, niscaya hari ini penduduk Jerman telah menjadi bangsa muslim.

Kembali pada Kesultanan Demak. Setelah Sunan Ampel menolak untuk menaklukkan Majapahit maka Raden Patah tidak lagi berpikir untuk menyerang Majapahit. Namun setelah Sunan Ampel Meninggal, terjadilah penyerangan dari Kerajaan Kediri terhadap Kerajaan Majapahit, Majapahit pun jatuh ke tangan Kediri, Brawijaya V lari entah kemana. Maka seorang Panglima Kediri menduduki kursi singgasana Majapahit dan iapun menggunakan gelar “Brawijaya VI”. Kemudian Brawijara VI mengadakan perjanjian bersekutu dengan pasukan Portugis yang waktu itu telah menguasai Samudera Pasai, dengan maksud untuk menyusun kekuatan untuk menghadapi Demak.

Mengetahui bahwa “Majapahit Baru” telah bersekutu dengan bangsa asing, maka Sunan Giri, penasehat Raden Patah setelah Sunan Ampel, mengisyaratkan perang menyerang “Majapahit Baru”. Raden patah pun bersama pasukan menyerang dan menaklukkan “Majapahit Baru”, beliaupun merampas mahkota dan pusaka-pusaka yang lain milik Keraton Majapajit.

Maka dalam penyerangan Demak itu kita dapat menyimpulkan bahwa Sunan Giri mengisyaratkan perang melawan “Majapahit Baru” bukan dalam rangka merampas kekuasaan, melainkan untuk menyelamatkan bangsa Jawa pada umumnya, karena perjanjian “Majapahit Baru” dengan Portugis berarti menjual bangsa sendiri terhadap bangsa asing. Kemudian mengenai mahkota dan pusaka-pusaka Majapahit yang diambil Raden Patah adalah milik ayah beliau sendiri, justru dengan mengambil semua itu berarti beliau telah menyelamatkan harga diri ayah beliau, Brawijaya V”, karena berarti Mahkota dan pusaka-pusaka tidak jatuh ke tangan musuh, meliankan jatuh ke tangan anak sendiri, apalagi sebagian riwayat mengatakan bahwa Raden Patah sempat diangkat sebagai Putra Mahkota oleh Brawijaya V, maka berarti mahkota itu benar-benar jatuh pada orang yang berhak. Dari itu, sungguh tidak benar apa yang dikatakan sebagian orang bahwa Raden patah menyerah ayahnya sendiri, itu hanya salah paham saja.


PERINSIP DAN DASAR PENDIRIAN ROBITHOH AZMATKHAN


Mengingat keturunan Sayyid Abdul Malik Azmatkhan banyak tersebar di Indonesia melalui sebagian besar anggota Walisongo, sedangkan kebanyakan mereka tidak saling mengenal keluarga dari jalur lain, maka didirikanlah Robithoh Azmatkhan pada tahun 2005 di Pesantren Tattangoh Pamekasan dan dikukuhkan pada hari ahad tanggal 16 syawal 1428 / 28 Oktober 2007 di Pesantren Zainul Hasan Genggong Probolinggo Jawa Timur.

Robithoh Azmatkhan didirikan untuk tujuan-tujuan penting sebagai berikut:

1. mengamalkan sabda Rasulullah SAW:

لَيْسَ الْوَاصِلُ بِالْمُكَافِئِ وَلكِنَّ الْوَاصِلَ إِذَا انْقَطَعَ رَحِمُهُ وَصَلَهُ

“Bukanlah orang menyambung keluarga itu yang saling membalas, melainkah orang yang apabila ada keluarga yang terputus maka iapun menyambung keluarga itu.”

2. Memanfaatkan hubungan keluarga untuk mempererat hubungan para Kiai dan tokoh Indonesia yang kebanyakan masih keturunan Walisongo. Harapannya, kebersatuan mereka akan membawa kebaikan untuk ummat.

3. Mendata seluruh keluarga keturunan Azmatkhan untuk diketahui kondisi agama dan ekonominya, untuk kemudian diadakan pembinaan pada keluarga yang kurang pengetahuan agamanya dan lemah ekonominya, karena tidak sedikit keluarga yang menyimpan silsilah dengan rapi tapi agama dan ekonominya memperihatinkan.

4. Mensosialisasikan ajaran dan manhaj leluhur, khususnya kepada generasi muda keluarga keturunan Azmatkhan, agar meneladani leluhur, khususnya ajaran dan manhaj Walisongo.


Susunan Pengurus Pusat Robithoh Azmatkhan Maktab Indonesia
Periode (Masa Bakti 2008-2013)

Majlis Ta'sisi / Pendiri:

1. KH. Ahmad Ridho bin Shonhaji Azmatkhan (Pesantren Tengginah Tattangoh Pemekasan Madura)

2. KH. Ali bin Badri Azmatkhan (Lembaga Dakwah & Pesantren Al Furqon, Cirebon)

3. KH. Drs. MH. Mutawakil Alallah bin Hasan Saifour Rizal Azmatkhan, MM (Pesantren Zainul Hasan Genggong Probolinggo).

4. KH. Abdul Bar bin Hasan Saifour Rizal Azmatkhan, MM (Pesantren Zainul Hasan Genggong Probolinggo).

5. KH. Saiful Islam bin Saifour Rizal Azmatkhan (Pesantren Zainul Hasan Genggong Probolinggo).

6. KH. Tb. Fathul Adhim bin Ahmad Khotib Azmatkhan (Yayasan Khazanah Kesultanan Banten)

7. KH. Dr. Burhanul Arifin Azmatkhan. (Pesantren Terpadu Sabilul Huda Batu & Dosen Unisma Malang).

8. KH. Hasan bin Abu Bakar Azmatkhan (Pesantren Benda Kerep Cirebon.

9. KH. Fawa’id bin As’ad Azmatkhan (Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Situbondo Jatim).

10. KH. Tb. Ahmad Zen bin A Junaidi Azmatkhan, (Pesantren Manarul Huda Sukabumi Jawa Barat).

11. KH. Mas’udi bin Busyiri Azmatkhan, Lc (Pesantren An Nur I Bululawang Malang).

12. KH. Tb. Saifuddin bin Abdullah Azmatkhan (serang Banten)

Majlis Mustasyar:

Ketua : KH. MH. Mutawakil Alallah Azmatkhan, MM (Pesantren Zainul Hasan Genggong Probolinggo)

Wakil Ketua : KH. Tb. Fathul Adhim Khatib Azmatkhan (Yayasan Khazanah Kesultanan Banten)

Anggota :

1. KH. Dr. Burhanul Arifin Azmatkhan. (Pesantren Terpadu Sabilul Huda Batu/Dosen Unisma Malang)

2. KH. Saiful Islam bin Saifur Rijal Azmatkhan (Pesantren Zainul Hasan Genggong Probolinggo)

3. KH. Hasan bin Abu Bakar Azmatkhan (Pesantren Benda Kerep Cirebon Jawa Barat)

4. KH. Fawa’id bin As’ad Azmatkhan (Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Situbondo Jawa Timur)

5. Sultan Raja Emiruddin (Keraton Kanoman Cirebon)

6. Sulthan Raja Abdul Ghani Natadiningrat (Keraton Kacirebonan Cirebon)

7. Pangeran Nur Hidayat Prabuningrat (Keraton Kacirebonan).


Majlis Niqobah / Pengurus Harian :

Ketua Umum : KH. Ahmad Ridho bin Shonhaji Azmatkhan (Pesantren Tengginah Tattangoh Pemekasan Madura)

Ketua I : KH. Isma’il bin Muhtadi Azmatkhan (Pesantren Benda Kerep Cirebon Jawa Barat)

Ketua II : Tubagus H. Dedi Zainuddin Azmatkhan (Serang Banten Banten)

Ketua III : KH. Mas’udi Busyiri Azmatkhan, Lc (Pesantren Al-Azhar An Nur I Bululawang Malang)

Sekretaris Umum : KH. Ali bin Badri Azmatkhan (Lembaga Dakwah & Pesantren Al-Furqan, Cirebon Jawa Barat)

Wakil Sekretaris : Kyai Muhammad bin Hasan Azmatkhan (Pesantren Bendakerep Cirbon).

Bendahara : KH. Ahmad bin Hasan AzmatKhan (Pesantren Bendakerep Cirbon)

DEPUTI-DEPUTI :

Bidang Statistik, Penelitian dan Pendataan Silsilah Keluarga

KH. Ali bin Badri Azmatkhan (Cirebon)

KH. Abdul Bar bin Hasan Saifour Rizal Azmatkhan (Pesantren Zainul Hasan Genggong Probolinggo).

Kyai Jazuli bin Zuhdi Azmatkhan (Sampang Madura)

KH. Romli bin Ma’mun Azmatkhan (Nazhir Makam Maulana Yusuf Banten)

KH. Abdul Hannan Nawawi Azmatkhan (Pesantren Darul Fatwa, Kuanyar Bangkalan Madura)

Bidang Da'wah, Organisasi dan Kaderisasi

KH. Tb. Syaifuddin Abdullah Azmatkhan (Serang Banten)

KH. M. Mushthofa Agil Azmatkhan (Pesantren Kempek Cirebon)

KH. Abdul Mu'iz Tirmidzi Azmatkhan (Pesantren Sayyid Muhammad Al-Maliki - Koncer Bondowoso Jawa Timur)

Bidang Ekonomi, Koperasi, Kewirausahaan dan UKM

KH.Tb. Ahmad Zen Azmatkhan (Pesantren Manarul Huda Suka Bumi Jawa Barat)

Bidang Investasi, pengembangan Usaha dan Penggalian dana

Tubagus H. Edi Kusnadi Azmakhan, Jakarta

Drs.H.Eman Suryaman, MM ( Cirebon )


Sumber dari : http://azmatkhanalhusaini.com