Jujur, Jajar lan Jejer Manembah Gusti Ilahi

Duk Djaman Semono, Kandjeng Edjang Boeyoet Ing Klero nate paring wewarah,".. Djoedjoer Lahir Bathin Berboedi Bowo Leksono Adedhasar Loehoering Agomo, Djedjer Welas Asih Sasamoning Titah Adedhasar Jiwo Kaoetaman Lan Roso Kamanoengsan, Lan Djadjar Manoenggal Wajibing Patrap Bebrayan Agoeng Adedhasar Endahing Tepo Salira Manembah Ngarsaning Goesti Allah Ingkang Moho Toenggal, Ngrenggo Tjiptaning Koesoema Djati Rila Adedharma Mrih Loehoering Bongso, Agomo, Boedoyo, Lan Sasamining Titahing Gesang Ing Ngalam Donya, Ikoe Lakoening Moekmin Sadjati.." [Wewaler KRT. Hasan Midaryo,1999]

Rabu, 07 Juli 2010

KISAH PARA EYANG KITA

Kisah ini dirangkum dari bahan cerita yang dikumpulkan oleh Nyi Mumpuni Bagus Sulaemanhadi berdasarkan informasi, cerita-cerita yang dituturkan oleh eyang-eyang atau para pinisepuh kita saat beliau masih sugeng. Oleh Ki Bambang Trihariono pada Bagian III kisah ini ditambah/dimuat sebuah cuplikan cerita sejarah jaman Sultan Agung, karya Denys Lombard, yang meyebut nama Mangunarso.

Judul buku tersebut adalah Nusa Jawa: Silang Budaya. Tentu timbul pertanyaan, sejauh mana kebenaran kisah tersebut. Sementara pendam saja pertanyaan itu, lanjutkan membaca, dan nikmati kisahnya sampai selesai.


BAGIAN I
EYANG MANGUNARSO DAN BALE GRIYO BALEREJO


Episode I


Eyang Abdullatif, ayah Eyang Mangunarso, menjabat penghulu di Magetan. Saat itu Magetan merupakan daerah mancanegara brang wetan dari Surakarta. Eyang Mangunarso tidak ikut ayahnya di Magetan melainkan ikut eyangnya, Baelawi di Giripurna, mulai kecil sampai pindah ke Balerejo. Sebagai keturunan generasi pertama dan kedua dari kyai bin Umar, yaitu yang babad Banjarsari yang kemudian dijadikan tanah perdikan oleh Susuhunan Surakarta, maka hubungan Eyang Baelawi dan Eyang Abdullatif dengan kraton Surakarta menjadi erat.

Bahkan tatkala Perjanjian Gianti mengatur perpindahan penguasaan atas Giripurna dari Surakarta ke Yogyakarta dan dijadikan perdikan oleh Sultan Hamengku Buwono II, hubungan ini masih dipelihara. Maka tatkala Susuhunan VI menghadapi problem tentang islam, dia memanggil Eyang Baelawi. Karena berhalangan maka Eyang Mangunarso ditunjuk mewakilinya. Susuhunan begitu terkesan oleh makalah Eyang Mangunarso sehingga Susuhunan berniat untuk memberi hadiah kepada Eyang Mangunarso, berupa seorang puteri raja, yaitu puteri bungsu Susuhunan V yang bernama Bening Sundari.


Episode II


Tatkala Susuhunan V wafat, garwo paminggirnya, yaitu puteri Bupati Somarata, masih sangat muda usia. Dia didesak oleh Susuhunan VI untuk segera kawin lagi. Walaupun dengan rasa jengkel, akhirnya garwo paminggir ini mau dan memilih Kyai Tapsir Anom, Penghulu Kraton sebagai suaminya) Penghulu ini sudah tua, beristeri dan beranak, bahkan mungkin sudah bercucu. Layaknya pada triman puteri dari kraton, Kyai Tapsir Anom tidak boleh menolak.

Isterinya yang pertama lalu menyandang status garwo paminggir, sedangkan puteri triman tadi menyandang status isteri utama. Akan tetapi anak perempuannya hasil perkawinannya dengan Susuhunan V, layaknya seorang puteri kraton, tetap tinggal di dalam kraton. Namanya, menurut cerita eyang-eyang adalah Bening Sundari. Sedangkan menurut wartawan Djudjuk dan Juyoto dalam Harian Kedaulatan Rakyat adalah Latifah Gambir Anom. Pada Episode III Bening Sundari ini akan dikisahkan lagi.


Episode III


Alkisah Eyang Mangunarso kita. Beliau menolak diberi hadiah puteri, dengan alasan karena beliau orang desa, golongan rakyat kecil, bagaimana mungkin bisa mengku paringan puteri raja. Penolakan ini merupakan hal yang luar biasa. Pada waktu itu seseorang yang diberi puteri triman (hadiah puteri) oleh raja tidak boleh menolak.

Mengetahui bahwa (1) alasan Eyang Mangunarso tersebut hanyalah akal-akalan, (2) Eyang mangunarso adalah keturunan dari Giripurna dan putera seorang Penghulu, maka langkah Susuhunan VI adalah sebagai berikut:
- Bening Sundari dikeluarkan dari keraton untuk ikut ibunya (yang telah menjadi isteri Kyai Tapsir Anom);
- Sebagai anak kwalon (tiri), maka Bening Sundari disisipkan dalam formasi sederetan anak-anak Kyai Tapsir Anom.
Dengan demikian tidak ada alasan lagi bagi Eyang Mangunarso untuk menolak triman tersebut, dan kawinlah beliau.


Episode IV


Sebagai menantu Susuhunan yang cukup terpandang (karena kepribadian dan kearifannya) maka Eyang Mangunarso mendapat pangkat, rumah, dan lungguh (jabatan) di Solo. Namun semua ini ditolak dan beliau memutuskan untuk memilih tinggal di Balerejo. Untuk melunakkan penolakannya Eyang Mangunarso lalu mengatakan: "semoga pangkat dan lungguh itu kelak bisa disandang oleh cucu-cucunya".
Sikap menolak ini dipegang secara konsekuen oleh Eyang Mangunarso. Tatkala beliau membangun Bale Griyo Balerejo, Kraton Surakarta mengirim:
- tukang-tukang;
- 8 saka guru;
- busana raja;
- pusaka raja.
Busana dan pusaka dikembalikan. Sedangkan 8 saka guru karena sudah terlanjur sampai dan terlalu berat untuk dikembalikan, diteruskan ke Madiun yang konon adalah yang saat ini berjajar di pendopo Kabupaten Madiun. Yang diterima adalah tukang-tukangnya saja.


Tentang Bale Griyo Balerejo.


Pasangan pengantin Mangunarso ketika ditengok utusan dari Kraton Surakarta ketahuan bahwa Eyang Putri Bening Sundari untuk keperluan sehari-hari mencari air ke belik dan juga ke kali, jauh berbeda dengan kehidupannya ketika di Kraton, maka Susuhunan VI memanggil Eyang Mangunarso untuk pulang ke Solo saja, karena di Solo beliau punya rumah dan kedudukan. Panggilan itu tidak dipenuhi, namun beliau berjanji akan membuatkan isterinya sebuah kadipaten, dan dibangunlah Bale Griyo Balerejo.


BAGIAN II
EYANG BAELAWI DAN PRAWIRODIRJO III


Episode I


Eyang Baelawi, putra ke tiga Kyai Bin Umar, Perdikan Banjarsari, meninggalkan Banjarsari untuk menetap di Giripurno, tidak diketahui motivasinya. Mungkin biasa, anak laki-laki dewasa meninggalkan orang tuanya untuk mencari pengalaman dan mandiri. Atau ada pertimbangan spiritual, misalnya kismo-edi (good earth), begitulah kira-kira dalam terminologi moderen.

Sesuai dengan iklim rokhani waktu itu, Eyang Baelawi di Giripurno mendirikan pondok pesantren. Rupa-rupanya beliau orang yang arif dan bijaksana yang didatangi orang karena kearifannya. Salah seorang yang meguru (berguru) kepada beliau adalah kanjeng Ratu Maduretno, putri Hamengku Buwono II, yang adalah juga isteri Ronggo Prawirodijo III. Tidak menutup kemungkinan yang terakhir ini adalah murid beliau juga.
Setelah Maduretno memutuskan hubungan dengan ayahnya, Hamengku Buwono II, maka beliau memilih dimakamkan di Gunung Bancak, Giripurno.


Episode II


Prawirodirjo III adalah Wedono Bupati Brang Wetan daripada Yogyakarta. Beliau adalah senopati perang Hamengku Buwono II, buyut dari Kyai Ageng Drepoyudo, yaitu senopati Hamengku Buwono I tatkala yang terakhir ini memisahkan diri dari Surakarta. Beliau adalah cucu dari Prawirodirjo I, yang mengamankan daerah-daerah baru dari Yogyakarta untuk Hamengku Buwono I.

Setiap kali berhasil menundukkan suatu daerah, beliau selalu diangkat menjadi Bupati di daerah tersebut hingga pada akhirnya beliau diangkat menjadi Wedono Bupati Madiun, membawahkan bupati-bupati lainnya. Prawirodirjo II dan Prawirodirjo III mewaris jabatan Prawirodirjo I. Tidak diperoleh cerita tentang Prawirodirjo II, kecuali bahwa cucu perempuannya kawin dengan Kyai Perdikan Banjarsari Wetan I, dan buyutnya adalah Eyang Putri Mangunprawiro, ibu mbah Mangundiharjo.

Prawiridirjo III adalah tokoh yang militan. Beliau adalah sangat anti Belanda. Dalam hal ini beliau cocok dengan Hamengku Buwono II yang juga anti Belanda. Namun Surakarta saat itu bekerjasama dengan Belanda. Setelah perjanjian Gianti daerah timur Surakarta "pating dlemok", ada yang masuk Surakarta ada yang masuk Yogyakarta.
Dalam daerah-daerah Belanda ini policy Prawirodirjo III ini adalah gerilya dan bumi hangus. Beliau mempunyai pengikut yang bisa digerakkan untuk mengacaukan keadaan di daerah Kasunanan ketika beliau melintas dari Yogya ke Madiun, misalnya dengan menggerakkan para "blandong", yaitu penebang kayu di hutan yang dikuasai Belanda, untuk melakukan tebang liar.

Karena kemampuannya di bidang politik, Hamengku Buwono II sering membutuhkan kehadiran Prawirodirjo III di Yogyakarta. Mungkin karena perannya yang cukup menonjol itulah maka beliau masuk ke dalam cakupan fitnah Danurejo yang pro Belanda. Ketika Belanda menghendaki Prawirodirjo III hidup atau mati, maka Danurejo menyusun siasat untuk menangkapnya. Prawirodirjo memang tertangkap di daerah Kartosuro, dan kemudian dihukum mati oleh Hamengku Buwono II, jadi oleh mertuanya sendiri, dan dikebumikan di Imogiri.

Itulah sebabnya Maduretno, isterinya, tidak mau kembali ke Yogya dan mengembalikan busana raja kepada ayahnya. Ini berarti beliau memutuskan hubungannya dengan kraton dan kemudian memilih dimakamkan di Gunung Bancak seperti yang telah diceritakan sekilas di depan (pada tahun 1959 keturunan beliau memindahkan makamnya ke samping makam isterinya, Maduretno, di gunung Bancak).

Dengan kejadian ini Hamengku Buwono merasa terpukul dan mencari tahu latar belakangnya. Akhirnya terungkaplah pengkhianatan Danurejo, bahwa:
q Ada persekongkolan dengan Belanda;
q Danurejolah yang memerintahkan penangkapan Prawirodirjo III hidup atau mati guna memenuhi permintaan Belanda;
q Danurejo telah mencuri stempel Kraton Yogyakarta untuk mengeluarkan perintah penangkapan.

Oleh sebab itu maka Danurejo dihukum penggal di Kraton, yang kemudian dikenal sebagai "patih sedo kedaton".

Prawirodirjo III sendiri adalah cucu Hamengku Buwono I. Kecuali Maduretno (garwo padmi) beliau masih mempunyai isteri lain (garwo paminggir). Mbah Putri Sukimatun Mangundiharjo adalah keturunan kelima dari pasangan Prawiridirjo III dengan Maduretno ini. Sedangkan Alibasah Sentot Prawirodirjo adalah putra dari Prawirodirjo III dengan garwo paminggir tersebut.

Karena di gunung Bancak, Giripurno terdapat makam anak seorang raja maka Giripurno dijadikan Perdikan. Eyang Baelawi kemudian ditunjuk menjadi pengelola daerah Perdikan itu.


Episode III


Kelak kemudian, pengganti Eyang Baelawi selaku pengelola Perdikan Giripurno adalah putera laki-laki tertua, yang bernama Kyai Imam Hidayat, kakak Eyang Abdul Latip, jadi pakdenya Eyang Mangunarso. Cerita selanjutnya tidak begitu jelas, tetapi pimpinan atas tanah perdikan tersebut telah beralih tangan ke keturunan Alibasah Sentot Prawirodirjo. Alih pimpinan tersebut sempat menimbulkan kekacauan sampai terjadi pembakaran pondok. Para santrinya melarikan diri ke Balerejo minta perlindungan Eyang Mangunarso.

Selanjutnya pimpinan Perdikan Giripurno dipegang oleh menantu Alibasah Sentot Prawirodirjo, yaitu Ki Danuprawiro. Selanjutnya setalah beliau meninggal pimpinan dipegang oleh menantu kedua, yaitu Ki Sumoprawiro, dan di kelak kemudian hari setelah beliau meninggal pimpinan diteruskan oleh isterinya, yaitu Nyi Sumoprawiro.

Menampung santri-santri Giripurno, sesuai dengan pola "Langgar-Bale Grio Balerejo itu untuk anak cucu belajar mengaji" maka Eyang mangunarso membuatkan pondok bagi mereka yang letaknya di sebelah selatan tanah yang beliau berikan kepada putrinya, Sri Banun, yang diperistri Ki Kasan Tapsir, sepupunya .

Menurut cerita embah-embah kita, Eyang Mangunarso tidak pernah punya pondok, dan tidak memberi pelajaran sendiri. Beliau minta tenaga dari Banjarsari dan dikirimlah seorang tenaga yang andal, yaitu Haji Imam Gazali, menantu ki Tapsir Anom I, Kyai Pertama Perdikan Banjarsari Wetan, berasal dari Tuyuhan, Rembang. Beliau, lewat isterinya adalah misanan dari Eyang Mangunarso. Orang lain yang diminta mengajar oleh Eyang Mangunarso adalah Ki Imam Duryat. Beliau berasal dari Bagelen, Kedu, datang ke Balerejo semula untuk meguru pada Eyang Mangunarso, tapi kemudian menetap di Balerejo. Tidak lama setelah Eyang Mangunarso wafat, Ki Imam Duryat inipun wafat juga.

Eyang Gazali, yang sementara itu besanan dengan Eyang Mangunarso, dengan mengawinkan Eyang Mangunprawiro dengan putri Eyang Gazali, tak lama setelah itu beliau meninggalkan Balerejo karena diangkat menjadi Penghulu Landraad di Madiun. Maka setelah periode Imam Gazali dan Imam Duryat, pondokpun secara pelan-pelan menyusut kegiatannya dan kemudian bubar. Sangat nalar bila sebelum bubar kegitan pondok tersebut diteruskan oleh Ki Kasan Tapsir, menantu Eyang Mangunarso, bersama Ki Aulawi, saudara laki-lakinya. Ucapan/panggilan "santrine Kyai Kasan Tapsir" menunjuk ke arah itu.

Dengan gambaran cerita seperti itu maka menjadi jelas bahwa pondok tersebut secara fisik-langsung tidak pernah melibatkan Bale Griyo Balerejo dan Langgarnya.
Ada pendapat bahwa salah satu guru ngaji di pondok tersebut adalah Ki Abu Kasan Asngari, yang menurut cerita beliau adalah juga Penghulu Landraad Madiun, juga sepupu dan besan Eyang Mangunarso, ayah Ki Kasan Tapsir. Ki Abu Kasan Asngari memang akrab dengan Balerejo, akan tetapi tidak pernah berdomisili di situ, melainkan hanya sambang anak saja. Setelah wafat beliau dimakamkan di Balerejo karena memang ya familie yang dekat sekali.

Tentang mesjid yang ada di depan Pesarean (makam) itu tidak ada keraguan bawa yang membangun adalah Eyang Mangunarso. Kini mesjid tersebut menjadi milik desa.


Episode IV


Sesuai dengan pola lama, maka Eyang Mangunarso mengundurkan diri dari Bale Griyo Balerejo (seleh keprabon). Urusan Balerejo dipasrahkan pada Eyang Mangunprawiro. Beliau sendiri keluar dari Bale Griyo Balerejo, dan membangun rumah ukuran normal disebelah utara Pesarean, yang sekarang menjadi sawah. Jadi lokasi tersebut merupakan kompleks rumah Eyang Mangunarso yang baru, bukan kompleks pondok. Batas utaranya adalah sungai. Yang ikut menumpang di "rumah lor Pesarean" tersebut adalah Ki Imam Duryat. Terakhir beliau menempati langgarnya. Pembangunan Dalem Wetan oleh Eyang Mangundiharjo adalah juga merupakan persiapan beliau lengser dari Bale Griyo Balerejo, seperti yang dilakukan oleh Eyang Mangunarso ketika pindah ke "rumah lor Pesarean" tersebut.

Dilihat dari sudut spiritual, kegiatan Eyang Mangunarso di situ antara lain memproyeksikan doa bagi anak cucu untuk ditinggalkan di Pesarean. Adanya kebiasaan para keturunan (putro wayah) selalu berziarah ke kubur mendoakan yang mati, maka Eyang Mangunarso ganti mendoakan yang berziarah ke kubur. Isi doa antara lain: "keturunannya mengku negoro".

Doa yang melingkupi cipta kehendak/cita-cita terungkap dalam sebuah sarasehan yang diadakan di Bale Griyo Balerejo. Hadir kecuali Eyang Mangunarso sebagai tuan rumah adalah:
q Kyai Kedondong;
q Kyai Klorogan;
q Kyai Serutsewu;
q Eyang Reksoniti (Solo), adik Eyang Mangunarso.

Konsep negara yang dianut Eyang Mangunarso adalah Konsep Jawa, yaitu yang memerintah adalah pemerintah bersama rakyat merupakan satu kesatuan. Konsep ini beliau pegang ketika beliau menolak usulan Pemerintah Belanda untuk mendidik putra sulungnya, dengan mengatakan:

"ambillah anak saya Mangunatmojo untuk dididik menjadi pegawai pemerintah, akan tetapi anak saya yang ini, maksudnya Mangunprawiro, biar berada di pihak rakyat"

Mungkin karena proyeksi doa ini dua kali Bung Karno menimba kekuatan:
1. Tatkala akan diadili Belanda dan kemudian masuk Sukamiskin. Beliau retraite di Bale Griyo Balerejo dan Pesarean;
2. Pada tahun 1966.

Dalam sarasehan tersebut di atas yang dibicarakan dan dirumuskan adalah bagaimana bila mereka ini sudah pada meninggal.

Kyai Kedondong:
- tidak mempunyai kudangan (idaman) bagi anak keturunannya, terserah mereka sendiri;
- akan tetapi bagi anaknya yang ingin jadi priyayi tidak akan mendapat restu.

Kyai Klorogan:
- anak putu kabeh mengku pondok.

Kyai Serutsewu:
- cilik-cilik mengku langgar.

Eyang Reksoniti:
Beliau tinggal di Solo (sebagai Kliwon) karena tidak mempunyai babadan di Balerejo, oleh sebab itu keturunannya kelak supaya menjadi punggawa kraton.

Eyang Mangunarso: anak putuku dak kudang bisoa mengku negoro;
Agama: Islam. Islam yang jalankan oleh Eyang Mangunarso adalah Islam yang vergeestelijkt dan verenerlijkt, dihayati dan tidak hanya dilaksanakan tata tahirnya saja. Hal tersebut juga diucapkan oleh Eyang Mangunarso: "dadio santri ning aja semantri santri".


BAGIAN III

CATATAN SEJARAH DALAM BUKU NUSA JAWA:
SILANG BUDAYA OLEH DENYS LOMBARD )


Alkisah, pada tahun 1635, ketika itu daerah Giri dikepung oleh balatentara Sultan Agung di bawah pimpinan Pangeran Pekik. Sunan Prapen yang memerintah daerah Giri terpaksa menyerah dan ditawan oleh tentara Sultan Agung, kemudian dibawa ke Mataram. Sementara ketiga anaknya, dua laki-laki yaitu Jayengresmi dan Jayengsari, dan seorang putri yaitu Rancangkapti, berhasil meloloskan diri. Keturunan wangsa Giri yang yang tersohor yang merupakan pewaris-pewaris terakhir dari kerajaan pesisir itu terus dikejar-kejar oleh wakil kekuasaan pusat, agen-agen rahasia Sultan Agung. Mereka harus mencari perlindungan di luar kerajaan.

Kisah Perjalanan Jayengresmi.

Diiringi kedua abdinya (punokawan) yaitu Gatak dan Gatuk, ia mengunjungi situs-situs kerajaan kuno di Jawa, mulai dari reruntuhan kerajaan Mojopahit, Candi Penataran, Tuban, Gunung Kendeng sampai situs lama Medang Kamulan dan mendatangi sumber air asin di Kuwu, Sela, Gunung Merapi, Demak, Gunung Muria, Pekalongan, Gunung Slamet, tempat Syekh Sekardalima mengajarkan makrifat dan berbagai suluk kepadanya.

Selanjutnya ia meneruskan perjalanan ke barat, yaitu Gunung Ceremai, Tampomas, sampai ke daerah Bogor untuk mengunjungi reruntukan bekas Kraton Pejajaran dan membangun pertapaan di Gunung Salak. Cerita selanjutnya, beliau mengakiri pengembaraannya di Gunung Telamaya, di utara Gunung Merbabu.

Kisah Perjalanan Jayengsari dan Rancangkapti.

Diiringi seorang abdi bernama Buras, mereka melarikan diri ke timur. Rombongan kecil itu berhenti di Pasuruan, lalu mengunjungi candi-candi Singhasari, Sanggariti, Tumpang dan Kidal, dan kemudian ke arah dataran tinggi Tengger. Di sana mereka bertemu dengan Resi Satmaka yang mengajari mereka suatu sinkretisme dari Budhisme dan Hinduisme.

Perjalanan diteruskan ke Klakah dan Lumajang dan mendaki Gunung Argopura tempat Syekh Wahdat mengajarkan dua puluh sifat Tuhan kepada mereka. Perjalanan mereka teruskan ke Gunung Raung dan sampai ke daerah Banyuwangi dan mengunjungi sisa -sisa istana Menak Jingga.

Di sana mereka berkenalan dengan seorang nahkoda kapal dagang, Ki Hartati yang menjadi pelindung mereka dan membawanya berlayar sampai ke Pekalongan. Rombongan kecil ini kemudian melanjutkan perjalanannya menuju ke dataran tinggi Dieng. Dari sana mereka menuju ke barat daya dan akhirnya tiba di Sokayasa di kaki Gunung Bisma dan disambut dengan tangan terbuka oleh Akadiat yang saleh dan istrinya. Karena anak Akadiat sedang melakukan perjalanan lama, maka dengan senang hati Akadiat mengangkat Jayengsari dan adik perempuannya sebagai anaknya.

Singkat cerita.

Anak Akadiat, bernama Cabolang, yang sedang mengembara bersama empat orang kawannya, akhirnya pulang ke Sokayasa. Disini Cabolang bertemu dengan Jayengsari dan dengan senang hati mengangkatnya sebagai saudara, sedang Rancangkapti menjadi isterinya.
Karena ada berita akan datangnya mata-mata dari Sultan Agung, mereka kembali melarikan diri sampai ke Gunung Lima, dan oleh Syekh Hercaranu, seorang pembangkang terhadap rezim Sultan Agung, mereka disarankan untuk ganti nama.

Jayengsari menjadi MANGUNARSO, dan abdinya Buras menjadi Montel, sedang Cabolang menjadi Anggungrimang. Bagaimana dengan Jayengresmi. Untuk keselamatannya ia juga mengganti nama menjadi Syekh Amongrogo, sedangkan kedua abdinya Gatak dan Gatuk menjadi Jamal dan Jamil.

Singkat cerita, Syekh Amongrogo sudah merintis kesepakatan dengan Sultan Agung untuk menggabungkan Wangsa Giri dengan Wangsa Mataram. Disetujui dengan suatu proses mistik, Amongrogo nanti akan menitis pada anak Sultan Agung yang akan menjadi Amangkurat I, sedang istrinya Tambangraras yang sudah ganti nama menjadi Selabrangti menitis sebagai anaknya Pangeran Pekik (perempuan) yang di kemudian hari dinikahkan dengan Amangkurat I, yang akan menurunkan Amangkurat II.

Cerita di atas adalah sebagian dari kisah perjalanan wangsa Giri akibat dikejar-kejar tentara Sultan Agung. Sambil melarikan diri mereka menimba kawruh (ilmu) untuk sampai pada kesempurnaan hidup.

Cuplikan cerita di atas disarikan dari Bagian Ketiga buku Nusa Jawa: Silang Budaya, yang ceritanya menyangkut seorang yang bernama Mangunarso.

[1] Konon ceritanya, garwo paminngir ini karena didesak terus akhirnya menjawab dengan jengkel bahwa ia mau kawin dengan pemilik suara itu. Waktu itu sedang ada orang mengaji. Tatkala ditelusuri, ternyata pemilik suara itu adalah Kyai Tapsir Anom, Penghulu Kraton yang tua itu.

[2] Profesor Denys Lombard adalah pengajar bidang sejarah Asia Tenggara di Paris. Telah tigapuluh tahun beliau meneliti sejarah kebudayaan Indonesia. Salah satu karyanya adalah buku Nusa Jawa: Silang Budaya, yang diterbitkan oleh PT.Gramedia Pusaka Utama.

2 komentar:

  1. Sebuahkarya tulis penelusuran sejarah tokoh Jawa dengan gaya dan budaya Jawa sedrta philosofi kejawen, dikemas rapi dan runtut sehingga enak di baca,

    BalasHapus
  2. assalamualaikum, selamat malam. saya hanya ingin mengetahui latar belakang tahun terjadinya itu semua, dan kapan Mangunarso itu hidup. Karena, setelah membaca kisahnya, sangat inspiratif sekali. trimakasih

    BalasHapus