Jujur, Jajar lan Jejer Manembah Gusti Ilahi

Duk Djaman Semono, Kandjeng Edjang Boeyoet Ing Klero nate paring wewarah,".. Djoedjoer Lahir Bathin Berboedi Bowo Leksono Adedhasar Loehoering Agomo, Djedjer Welas Asih Sasamoning Titah Adedhasar Jiwo Kaoetaman Lan Roso Kamanoengsan, Lan Djadjar Manoenggal Wajibing Patrap Bebrayan Agoeng Adedhasar Endahing Tepo Salira Manembah Ngarsaning Goesti Allah Ingkang Moho Toenggal, Ngrenggo Tjiptaning Koesoema Djati Rila Adedharma Mrih Loehoering Bongso, Agomo, Boedoyo, Lan Sasamining Titahing Gesang Ing Ngalam Donya, Ikoe Lakoening Moekmin Sadjati.." [Wewaler KRT. Hasan Midaryo,1999]

Kamis, 05 Agustus 2010

Djangan Sekali-kali Meloepakan Sedjarah


Pasukan Kuda Brigade VII dibawah komando KRT. Hasan Midayo sedang mengawal Ingkang Ngarso Dalem Sri Sultan Hamengku Buwana IX dalam acara protokoler penyambutan kedatangan Bung Karno di Jogjakarta, 5 Oktober 1946.


Bung Karno membalas penghormatan para Pejuang Republiken dibawah komando Kanjeng Ngarso Dalem Ingkang Sinuwun Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Bertindak sebagai komandan upacara penyambutan tersebut adalah KRT. Hasan Midaryo selaku perwira Kavaleri Brigade VII, 5 Oktober 1946.


Pengalaman Pertama Bung Karno Naik Kuda

Tahun 1946, setahun setelah proklamasi, masih banyak hal-hal aneh, unik, lucu, dan menggelikan terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Contoh, rakyat belum mengerti benar arti merdeka. Mereka ada yang mengartikan, merdeka adalah bebas naik kereta api. Jad, manakala kondektur memungut ongkos, mereka tersinggung, “Lho,” teriak rakyat, “kan kita sudah merdeka?”

Terhadap Bung Karno? Tak seorang pun memanggil Tuan Presiden, apalagi Paduka Yang Mulia sebagai sebutan formal. Mereka tetap saja menyebut “Presiden Bung Karno”, gabungan dari jabatan resmi dan panggilan akrab sehari-hari. Begitu Bung Karno menceritakan situasi awal-awal kemerdekaan kepada penulis biografinya, Cindy Adams.

Kejadian menarik juga menimpa Bung Karno ketika tanggal 5 Oktober 1946, Angkatan Perang kita (sekarang TNI) hendak merayakan ulang tahun yang pertama. Dalam salah satu tata cara upacara militer yang sudah direncanakan semegah-megahnya untuk ukuran negara berusia satu tahun, Presiden Republik Indonesia Sukarno, harus melakukan inspeksi pasukan… naik kuda!

Persoalannya adalah… Bung Karno tidak pernah naik kuda. Pergaulan Bung Karno dengan seekor kuda pada masa-masa sebelumnya, tak lebih dari sekadar menepuk-nepuk kuduknya. Demi mengetahui hal itu, Fatmawati, istrinya, ikut cemas. “Jadi, bagaimana caranya,” tanya Fatma. Bung Karno menjawab, “Pertama, aku hendak menghadapi kenyataan bahwa aku orang yang pelagak… Aku akan belajar naik kuda!”

Fatma belum hilang rasa cemasnya, “Kan pawainya besok?” Lalu Bung Karno menjawab, “Ya, aku akan belajar dalam satu hari.”

Akhirnya, [KRT. Hasan Midaryo] seorang perwira kavaleri tekun memberikan pelajaran berkuda kepada Presidennya. Dan di akhir sesi latihan, kepada [KRT. Hasan Midaryo] si perwira kavaleri itu, Bung Karno menyampaikan pesan dengan suara pelan… “Untuk pawai besok, berilah saya kuda yang paling lunak, paling tua, paling jinak dan hampir mendekati kematiannya….”

Tak bisa dimungkiri, Bung Karno sebenarnya memendam rasa cemas dan khawatir. Apa jadinya kalau dalam pawai inspeksi pasukan besok si kuda menjadi beringas dan tak terkendali? Bagaimana kalau ia kemudian terpental dari punggung kuda? Apa kata dunia?

Dan… [KRT. Hasan Midaryo] perwira kavaleri itu menjawab, “Tidak Pak. Tidak pantas untuk Bapak. Kuda yang disediakan harus yang muda dan garang. Dia harus memperlihatkan semangat tempur yang menyala-nyala, dan kuda yang terbaik dari seluruh kelompok.”

Bung Karno yang pelagak, tak berkutik dengan jawaban perwira kavaleri. Rasa cemas ia pendam dalam hati…. hingga, tibalah saat-saat yang dinanti. Terompet telah berbunyi, genderang berderam-deram, pasukan berdiri tegap, dan… Presiden menaiki kudanya. Binatang itu berjalan mengikuti irama musik… dan… menjadi liar. Bung Karno sedikit ciut, tapi ketika ia melihat pasukan yang berbaris rapi yang sedang ia inspeksi… muncullah sifat pelagaknya… Sorak-sorai dan teriakan gembira dari rakyat yang berjejal-jejal di lapangan pawai menghidupkan semangat.

Suasana itu membuat Bung Karno tenang dan sadar… hilang rasa cemas, dan muncul teori-teori berkuda yang telah diajarkan si perwira kavaleri kemarin. Maka, dengan sigap Bung Karno segera memainkan pegelangan, menguasai tunggangannya dengan baik. Bung Karno mengendalikan langkah kuda dengan begitu gagah, sehingga kuda berjalan dengan langkah tenang dan teratur seperti yang dikehendaki. Dan… kuda yang bagus itu tidak pernah menyadari bahwa tuannya lebih gentar menghadapi peristiwa itu daripada binatang itu sendiri.

(roso daras)


1 komentar:

  1. Assalaamu 'alaikum. Saya senang mengenal dan mendalami sejarah Indonesia, termasuk Wali Songo yang telah berda'wah dan membela Islam dan Tanah Air.


    Sayyid E. Marwanto bin Sayyid Sardiwan (Diwud) bin Sayyid Kastadja bin Sayyid Sarwan bin Sayyid Mujib, Setu , Kab. Bekasi, Jawa Barat

    BalasHapus