Jujur, Jajar lan Jejer Manembah Gusti Ilahi

Duk Djaman Semono, Kandjeng Edjang Boeyoet Ing Klero nate paring wewarah,".. Djoedjoer Lahir Bathin Berboedi Bowo Leksono Adedhasar Loehoering Agomo, Djedjer Welas Asih Sasamoning Titah Adedhasar Jiwo Kaoetaman Lan Roso Kamanoengsan, Lan Djadjar Manoenggal Wajibing Patrap Bebrayan Agoeng Adedhasar Endahing Tepo Salira Manembah Ngarsaning Goesti Allah Ingkang Moho Toenggal, Ngrenggo Tjiptaning Koesoema Djati Rila Adedharma Mrih Loehoering Bongso, Agomo, Boedoyo, Lan Sasamining Titahing Gesang Ing Ngalam Donya, Ikoe Lakoening Moekmin Sadjati.." [Wewaler KRT. Hasan Midaryo,1999]

Rabu, 25 Agustus 2010

Sunan Geseng : Mubaligh Tanah Bagelen



“Clontang-clantung,
wong nderes buntute bumbung,
apa gelem apa ora?

(Clontang-clantung,
orang nderes ekornya bumbung/bambu,
apa mau apa tidak?)

Ini adalah tembangan berbau mantra yang selalu diucapkan oleh Ki Cakrajaya, tukang nderes nira kelapa sebelum memanjat pohon nira (aren). Hasil dari nderesan itu kemudian diolah menjadi gula.

Cakrajaya adalah seorang tukang nderes nira kelapa yang hidup miskin di tengah hutan. Dia tinggal di Desa Bedhug, Tanah Bagelen -saat ini Kecamatan Bagelen, Kabupaten Purworejo-, berada di bantaran aliran Sungai Watukura/Bagawanta. Karena saking miskinnya, dia juga dipanggil “Ki Petungmlarat”.

Meskipun demikian, orang mengenalnya sebagai seorang yang kuat bertirakat/tapa brata, sehingga menjadi luhur budinya dan sakti ilmunya. Karenanya, Ki Cakrajaya di-”tua”-kan di wilayahnya.

Suatu hari, ketika Ki Cakrajaya akan memanjat pohon nira -siap dengan mantranya, datanglah seorang yang pembawaannya sangat ‘alim menghampirinya.

“Kisanak, apa sebabnya setiap kali engkau memanjat batang aren selalu mengucapkan kalimat tadi?”

“Itulah mantra agar hasilnya melimpah”, jawab Ki Cakrajaya.

“Ah, apa yang Kisanak ucapkan itu salah dan kurang tepat”.

“Salah dan kurang tepat? Ah, anda rupanya belum kenal denganku. Akulah Ki Cakrajaya, tukang nderes sudah sejak masa kecilku. Itu merupakan ilmu warisan leluhurku dan mantra itupun bukan sembarang mantra!”

“Betul kata-katamu, Kisanak. Tapi aku mempunyai mantra yang lebih unggul, yang akan bisa menghasilkan lebih banyak dari mantramu itu”, kata lelaki ‘alim dengan perbawa mantap dan tegar.

“Buktikanlah, Kisanak!” pinta Cakrajaya.

“Baiklah, ijinkanlah aku melihat cara Kisanak mengolah legen (nira) itu”. Ki Cakrajaya lalu mengajak laki-laki tadi ke rumahnya, lalu mengajarinya. Sang tamu kemudian mencetal gula aren satu tangkap. Cetakan itu diserahkan pada Ki Cakrajaya dengan pesan agar jangan dibuka sebelum dirinya keluar dari Desa Bedhug.

Setelah laki-laki itu keluar dari desanya, Ki Cakrajaya segera membuka cetakan gula. Matanya terbelalak karena isinya bukan lagi gula, melainkan setangkap emas yang berkilauan. Ki Cakrajaya tersadar, bahwa tamunya tadi bukanlah orang sembarangan. Diapun mengejar sang tamu. Dia akhirnya berhasil juga mengejar dan menemukan laki-laki misterius itu, yang tidak lain adalah Sunan Kalijaga; anggota Wali Songo yang termasyhur di kalangan rakyat jelata.

Karena dibuat penasaran, Ki Cakrajaya minta diajarin “mantra sakti” dengan bersedia menjadi muridnya. Sunan Kalijaga kemudian mengajarkan syahadat. Sejak saat itu, Cakrajaya selalu diajak Sunan Kalijaga mengembara dari satu daerah ke daerah yang lain sambil menyebarkan dakwah Islam.

Suatu saat, Sunan Kalijaga pamit ingin sembahyang ke Mekkah -dalam riwayat yang lain dikatakan ke Demak/Cirebon. Cakrajaya diperintahkan untuk menunggu tongkatnya. Cakrajaya kemudian duduk bersila, penuh khidmat. Saking lamanya, tubuh Ki Cakrajaya ditumbuhi rumput belukar, bambu berduri. Tempat bertapanya itu pun berubah.

Ketika Sunan Kalijaga teringat bahwa ia telah meninggalkan muridnya, maka datanglah dia ke tempat Ki Cakrajaya menunggui tongkatnya. Karena semak-belukar begitu rimbun dan rapat, maka dibakarlah rumpunan bambu berduri itu. Ajaibnya, Ki Cakrajaya tidak cedera sedikitpun. Hanya kulitnya saja yang berubah menjadi hitam. Karena hitam (Jawa=geseng), maka Sunan Kalijaga memanggil Ki Cakrajaya menjadi “Sunan Geseng“.

Menurut riwayat, proses pembakaran itu menghasilkan nama-nama daerah yang masih ada hingga kini. Misalnya, Muladan. Berasal dari kata ‘mulad‘ (berkobar-kobar). Daerah ini sekarang terletak di Kecamatan Dlingo, Kabupaten Bantul. Sunan Geseng terus diajak Sunan Kalijaga mengembara ke arah timur. Suatu ketika Sunan Kalijaga menancapkan tongkatnya, maka muncullah sumber air yang disebut ‘sendang‘ (Danau).

Oleh Sunan Kalijaga, Sunan Geseng diminta mandi dan membersihkan tubuhnya yang telah terbakar. Sungguh ajaib, Sunan Geseng pun sembuh. Tubuhnya kembali seperti semula. Kotoran hasil bersih-bersih badan itu kemudian terbawa hingga ke Sungai Kedung Pucung. Dan sendang tempat mandi itu kemudian disebut Sendang Banyu Urip.

Pengembaraan terus berlanjut. Sampailah di suatu daerah, Sunan Kalijaga memberikan wejangan tentang hidup dan ilmu-ilmu Tuhan. Maka daerah itu kemudian disebut Desa Ngajen -dari kata mengaji, yang saat ini berada di Kecamatan Dlingo, Kabupaten Bantul.

Menjadi pertanyaan, kapan Sunan Kalijaga berdakwah Islam di Tanah Bagelen?

Menurut “Babad Demak” (1906), peristiwa itu terjadi sebelum tahun 1518. Sebelum Demak menyerang Majapahit/Daha. Hal ini diketahui setelah Raden Patah, Ki Ageng Selo, Ki Patih Wanassalam dan Iman Semantri menemui Sunan Kalijaga di Pulau Upih. Sumber naskah lokal Bappeda Purworejo menyebutkan dakwah Sunan Kaijaga ke Bagelen itu terjadi di era Demak di bawah pimpinan Sultan Trenggono (1521-1545). Asumsi ini diperkuat juga oleh Slamet Suyoso dalam bukunya “Peranan Iman Puro” (1976).

Ketika berdakwah di wilayah Bagelen, Sunan Kalijaga (dan Sunan Geseng) telah mendirikan pondok pesantren di Dukuh Watu Belah, sekarang tepatnya di Desa Trirejo, Kecamatan Loano. Lalu Desa Dlangu, sekarang Kecamatan Butuh, Kabupaten Purworejo. Juga mendirikan mesjid Loano di Desa/Kecamatan Loano, Kabupaten Purworejo. Kemudian mesjid di Kauman Bagelen.

Catatan lain menyebutkan, pengislaman selatan Jawa Tengah sebelah timur Sungai Lukula dilakukan oleh Sunan Geseng. Di sebelah barat oleh Syekh Baridin, ulama dari Pucang Kembar. Sebelah barat Banyumas oleh Bupati Banyak Balanak dan Syekh Makdumwali (bergelar Senopati Mangkubumi).

Sunan Geseng dikarunia hanya satu anak laki-laki yang bernama Joko Bedhug yang juga disebut Nilasraba, yang kelak menjadi adipati pertama Bagelen bergelar Adipati Nilasraba I di era Demak -atau era Mataram menurut “Babad Tjakradjaja“.

Nilasraba I memiliki dua anak; Ki Bumi yang kemudian menjadi Adipati Arya Nilasraba II atau dikenal juga sebagai Ki Karta Menggala, dan adiknya Ki Mentosoro. Demikianlah riwayat tentang Sunan Geseng.

Buku ini menjadi sangat menarik -walaupun ada ketidakrelevanannya karena akan banyak persinggungan dengan buku-buku lain yang nanti akan saya resensikan, seperti: “Babad Demak“, karya Raden Suryadi. Kemudian “Sunan Kalijaga” karya Dr. Purwadi, dan masih banyak yang lain.


ti Gus Jhon Ciangsana

2 komentar:

  1. lain versi lain cerita tp slma msh ada benang merah yg penting hikmah dan tauladan dari sang tokoh yang wajib dipetik dan diambil dr kisahnya...

    BalasHapus
  2. matur nuwun, Raka Mas Bagus Ireng.. Pokoke Bhineka Tunggal Ika kemawon, sanadyan benteng-benten asal sumber riwayatipun hananging kalamun nenggih nunggal panggadang kajeng bathos, mugi sejarah para Leluhur lan Pepundhen ing Tanah Jawi mboten sirna saking peradaban..

    BalasHapus